Langsung ke konten utama

Tugas Pemimpin, Menggetarkan Kebaikan

Ada yang menarik dari pernyataan mantan wakil presiden, Jusuf Kalla dalam sebuah acara di TV swasta belum lama ini. Kata JK, sapaannya, selain menyelenggarakan pemerintahan, pemimpin juga punya tugas memengaruhi kebaikan. Dicontohkan, saat bangsa ini gandrung dengan gaya hidup pejabat yang senang berjas serta dasi yang mengikat di leher, dia malah memilih menggunakan pakaian batik.

Hasilnya, batik terjual laku keras, penggunaan AC-pun dapat menghemat listrik negara. Itu tugas pemimpin, kata ketua Palang Merah Indonesia (PMI) ini.

Pesan JK sungguh-sungguh menyiratkan sebuah konstruksi kesadaran kolektif berbangsa dan bernegara. Bahwa untuk menata kembali martabat ke-Indonesia-an, dibutuhkan gerakan keteladanan dari atas ke bawah. Sementara dari bawah ke atas, diperlukan ruang kontrol yang kritis dan berkelanjutan.

Keteladanan ini, memang terasa agak menjauh dari ruang-ruang permenungan kita. Bahkan lebih dari itu, untuk menggerakkan kebaikan justeru kerap terlahir dari mereka yang relatif tak punya akses dengan kekuasaan. Itu berarti, daya dobraknya relatif tak menggetarkan.

Lebih ironis, tak jarang kita menemukan ada persepsi yang mencoba menggiring agar kebaikan cukup dihamparkan di rumah-rumah ibadah. Sementara di ruang publik lainnya, biarlah berjalan dengan bebas nilai.

Penegasan agar transmisi pesan kebaikan terlahir dari para pemimpin mensyaratkan munculnya kepemimpinan yang konsisten menggabungkan antara energi positif dengan attitude-nya sehari-hari.

Sejauh ini amat terasa bahwa benih-benih kebaikan itu masih saja berserakan dan hanya sebatas perilaku individu. Bukan itu saja, peran-peran kebaikan nyaris dianggap sebatas perilaku personal tanpa harus ada upaya mewujudkannya di ruang-ruang komunal. Efeknya, kehidupan manusia kian individualis, sementara aroma kebatilan merasuk ke dalam sukma tanpa perlawanan berarti.

Tahun ini adalah tahun politik. Tahun ini bangsa Indonesia sedang diajak untuk mempertaruhkan masa depannya lima tahun ke depan melalui pemilu. Lewat pemilu nantinya, kita mendambakan lahirnya para pemimpin, wakil-wakil rakyat yang mampu membawa pengaruh perubahan ke arah yang lebih baik. Bukan sebaliknya, makin melanggengkan kehadiran sang jubir rakyat yang punya rekam jejak serba korup.

Jika hal itu melulu terjadi, bukan hal aneh jika bangsa ini masih saja dilumuri rasa kecewa serta amuk amarah yang tak bertepi. Menetaskan kebaikan tak mesti menunggu jeda hingga berakhirnya keburukan. Melainkan mendesakkan ambisi agar kebaikan mampu menerabas seluruh tembok kebatilan.

Di sanalah kita akan menguji seberapa kuat keinginan kita sebagai bangsa yang bermartabat untuk menjadi bagian dari kelompok yang menginginkan kebaikan bersama. Tanpa itu, kebaikan akan tetap dibincangkan saja, sebatas dikhotbahkan, diimpikan, diratapi, dan seterusnya kita hanya sampai pada titik berandai-andai saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui