Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Potret Masyarakat Post Truth

Revolusi Indistri telah melahirkan kekuatan 4.0. Terdapat perubahan teknologi yang datang silih berganti. Dahulu, manusia mengandalkan tenaganya, kini tergantung pada siapa  yang berduit. Dahulu, kita mengandalkan otot. Lalu berubah dengan mengandalkan mesin yang dapat digerakkan.  Pergeseran itu terus bergerak. Saat ini, sejumlah jenis pekerjaan lenyap, lalu tergantikan dengan kecanggihan yang mengandalkan tombol, sandi, dan kode rahasia lainnya. Pastinya, dengan kecanggihan itu, pola kehidupan umat manusia pun ikut terpengaruh di dalamnya.  Jika dahulu, jarak geografis sangat terasa menggerus waktu. Namun kelebihannya, jejaring kemanusiaan berlangsung dalam kehidupan penuh kehangatan. Namun ketika teknologi merajai sistem kehidupan umat manusia, segalanya berubah.  Kita dibuat takluk pada satu objek genggaman untuk sekian banyak tugas dan beban kerja. Smartphone yang ada dalam genggaman kita masing-masing benar-benar telah menegaskan diri, bahwa dunia memang sudah dalam

Kematian Agama di Hadapan Sosialita

Fenomena sosial masa kini adalah dengan hadirnya satu identitas sosial baru yang diistilahkan dengan Wanita Sosialita. Ia menciptakan kelas sosial baru, pembeda bagi identitas sosial lainnya.  Dalam Jurnal Empati Volume 5/2016, Nova Pramuditha Yusara menukilkan, sosialita saat ini sedang marak dibicarakan oleh masyarakat karena merupakan sebuah fenomena sosial yang berkaitan dengan sebuah komunitas. Sosialita ialah sebuah predikat yang disematkan kepada wanita-wanita atau ibu-ibu dengan kriteria tertentu.  Sesuai dengan asal katanya, Sosial dan Elite, kelompok sosialita ini diramaikan oleh perempuan dengan latar belakang orang kaya, orang berpengaruh, isteri-isteri pejabat, dan atau anak orang kaya.  Warna kehidupannya dihisasi oleh gaya hidup glamour, wara-wiri arisan, memakai barang-barang mewah beloved, dengan penampilan yang serba mewah. Dalam menentukan pakaian misalnya. Mereka akan sakit hati ketika dalam sebuah perkumpulan, jika tiba-tiba di hadapannya muncul sosok

Covid 19, Benturan Sains dan Agama?

Prahara Virus Covid 19 ini benar-benar memporak-porandakan dimensi kehidupan kita. Ia hadir bagaikan musuh yang menyerang membabi buta tanpa menunjukkan dimana ia berada. Tak peduli orang miskin atau kaya, rakyat atau pejabat dan lain sebagainya. Wal hasil, Corona terus menjadi objek perbincangan publik. Mulai dari yang serius hingga dibuat serba menertawakan. Bayangkan, hadirnya Virus ini turut menggoyang kemapanan beragama selama ini. Dahulu, Imam, pemimpin Shalat, disunnahkan berseru; Luruskan dan Rapatkan Shaf. Saat Corona datang menghampiri, jaga jarak justeru diutamakan.  Dahulu, kita dianjurkan memakmurkan masjid. Namun kini, untuk sementara waktu, masjid, pengajian, majelis taklim dan kegiatan keagamaan lainnya, untuk sementara waktu ditiadakan.  Pembatasan yang berlangsung itu cukup membuat para elit Agama Islam mengalami proses dinamika yang terus berkembang. Mereka dituntut untuk mencetuskan Ijtihad yang mengedepankan fungsi-fungsi pencegahan melebihi dari hasra

Benih Fundamentalisme Agama

Persoalan Fundamentaslime Agama telah lama menjadi momok besar bagi dunia. Di berbagai belahan bumi porak-poranda sebagian dipicu oleh sentimen fundamentalisme Agama. Bagi Syekh Yusuf Qardhawi, Fundamentaslime itu dipicu oleh beberapa faktor.  Pertama,  Pemahaman hibrid terhadap konsep agama yang diyakininya. Seorang fundamentasli tak mampu menemukan jatidirinya untuk mendisiplinkan diri terhadap kepatuhannya pada apa yang diyakini. Di saat yang sama, punya kesanggupan menerima hal-hal yang berbeda dari dirinya.  Untuk mendeteksi benih-benih fundamentalis itu, boleh jadi juga menghinggapi para agen pemberangus fundamentalisme. Dimana tandanya? Ada pada ketidaksiapan menerima perbedaan sebagai keniscayaan hidup.  Tak hanya sampai disitu saja, ketidaksiapan menerima opsi yang berbeda kadang mengantar pada kesimpulan bahwa orang tersebut adalah lawan dan musuh abadi kehidupan kita. Dalam makna yang seluas-luasnya.  Kedua, fundamentalisme juga ditemukan dalam hal memahami

Perencanaan Agama dalam Pembangunan

Untuk tema yang satu ini, kita kerucutkan term Agama dalam dua konteks. Yakni Sosial dan Sistem Nilai. Bukan pada tataran ritualitas. Penegasan ini penting, sebab Agama hari ini terlanjur simpang siur. Utamanya ketika disentuhkan dengan pola pengambilan kebijakan Pemerintah.  Agama di ruang eksekutif birokrasi di daerah, berada dalam dua kamar berbeda. Sebagian di bawah tanggung jawab Kesbang, sebagian lainnya berada di lingkup sekretariat melalui biro kesra dan keagamaan. Atau jika di tingkat Kabupaten di bawah komando seorang Kepala Bagian Kesra.  Nah dengan dua kamar birokrasi ini, tak jarang sering memunculkan kesimpulan sederhana. Bahwa wajah Agama di dunia birokrasi hanya dua. Yaitu, stabilitas dan bantuan sosial.  Nah di sinilah, titik persoalannya mengapa kita tak pernah sampai pada makna hakiki dalam menjadikan agama sebagai etika publik. Sementara di sisi lain, pembangunan di sektor agama teramat prematur untuk dicaplok sebagai bagian dari keberhasilan pemerintah

Akrobat Dakwah Halal-Haram

"Di masa kami, banyak ulama namun sedikit pendakwah. Tapi akan muncul suatu masa dimana pendakwah sngat banyak, namun sulit ditemukan ulama" Demikian pesan menukik dari Khalifah Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib. Pesan di atas cukup relevan di masa sekarang ini dengan mencermati fenomena dakwah cenderung bergerak liar. Dikatakan demikian, sebab untuk menjadi seorang Da'i, tidak mesti melalui sebuah proses seleksi yang ketat. Atau setidaknya memiliki standarisasi yang jelas.  Untuk masa sekarang ini, menjadi da'i hanya butuh model dan kostum saja. Soal berapa lama anda menekuni agama, kepada siapa silsilah pendalaman keilmuan anda, semuanya tidak dibutuhkan. Sebab yang terpenting, cukup berdiri di atas mimbar, mencomot satu dua ayat serta hadis, jadilah anda sebagai da'i.  Secara bebas, mimbar menjadi panggung popularitas dan medium untuk menyulut emosi umat beragama. Adapun soal penalaran beragama, cukup diabaikan. Apa argumentasinya? Bahwa kita

Hijrah; Konservatisme dan Peluang Pasar

Tren Gerakan Hijrah sedang digandrungi kelompok anak muda milenial. Mereka dominan berasal dari kalangan yang berlatar belakang pendidikan Umum, lebih khusus lagi bidang eksakta. Mereka secara terbuka tampil dengan membawa nuansa yang realtif berbeda dengan pakem Keislaman yang selama ini diusung oleh NU dan  Muhammadiyah. Terma Hijrah secara harfiah berarti, 'berpindah', dengan rujukan historis pada hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah. Di Indonesia sendiri, istilah Hijrah tak lagi berdiri sendiri. Hijrah telah menjelma menjadi sejenis asosiasi atau perkumpulan dengan mengusung ide dan gagasan yang sama. "Hadirnya doktrin hijrah relatif gampang menjangkiti kelas menengah urban yang frustrasi dan haus inspirasi kesalehan," kata Munirul Ikhwan, Dosen pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menurutnya, ada cara pengemasan yang unik antara kajian keislaman dan praktik manajemen bisnis. Jadi, ada semacam perjumpaan narasi kesalehan yang cend

Riya' dan Impresi Sosial

Bukan hal yang jarang terjadi dalam menyikapi celah perbedaan antara Riya' dan Syi'ar. Keduanya hanya berjarak setipis benang. Namun implikasi gerak batinnya sunguh-sungguh berbeda 180 derajat.  Dalam Ilmu Komunikasi, kita mengenal istilah Impresi Sosial. Yakni sebuah pola untuk membuat orang lain memahami kesan atau citra diri yang kita 'rekayasa'. Jadi, dengan impresi sosial, seseorang dapat membentuk kesan di hadapan publik sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Untuk kelihatan cerdas misalnya, anda cukup mengunduh foto di media sosial sambil memegang buku tebal berbahasa asing. Pasti netizen akan menyimpulkan kesan bahwa anda orang cerdas. Atau agar anda disegani sebagai orang penting, sering-seringlah meminta foto dengan para pejabat. Kendati harus dilakukan dengan cara agak memaksa para pejabat untuk berswafoto dengan anda. Jika dalam sebuah perbincangan yang melibatkan beberapa orang, sampaikanlah bahwa anda dekat dengan seorang politisi besar dari p

Hiperrealitas Pemimpin Agamis

Dalam beberapa peristiwa politik, kepemimpinan di semua tingkatan, acapkali dikaitkan dengan tindakan-tindakan religiusitas. Tentu bukan hal mengagetkan. Sebab sejumlah lembaga survey seringkali mencantumkan aspek religius sebagai salah satu faktor tinggi rendahnya tingkat ketenaran, kesukaan dan pilihan publik.  Memang diakui, dalam diskursus relasi Agama dan Politik, keduanya tak benar-benar dapat dipisahkan secara ekstrim. Agama menjadi penyokong hadirnya iklim politik yang sehat, santun dan berkeadaban. Pun dengan Politik, memiliki peran penyokong dalam agenda pencerahan umat, menuju keselamatan dunia dan akhirat.   Problemnya kemudian adalah, ketika kepemimpinan itu mendapatkan polesan agamis. Alias tidak benar-benar agamis. Atau agamis karena tunduk pada momentum situasional. Sebab satu hal yang pasti, menyeret ruang agama dalam kepentingan politik pragmatis, selamanya hanya akan mengorbankan agama, berikut para penganutnya. Betapa tidak, di tengah kepolosan publik d

Milenial dan Semangat Takfiri

Pew Research Center merilis definisi baru generasi milenial. Generasi milenial dalam definisi ini memiliki rentang waktu yang sedikit lebih pendek. Ukuran baru menyatakan mereka yang terlahir antara tahun 1981 sampai 1996 adalah generasi milenial. Generasi milenial selama ini dianggap sebagai generasi yang paling tidak dapat dipahami. Sulit untuk menentukan siapa saja yang termasuk generasi milenial, meskipun ada stereotip tertentu yang muncul di permukaan. Misalnya; mereka lebih suka menghabiskan uang untuk piknik, daripada membeli rumah. Demikian halnya dengan gaya beragama kaum Milenial. Terbilang unik, bahkan menggelitik. Sebab kehadirannya telah disambut oleh kecanggihan sains dan teknologi. Berbeda dengan dua lapis generasi di atasnya, hadir di tengah sains dan teknologi sedang berkecambah menuju fungsinya yang kelak benar-benar menjadi sandaran hidup umat manusia.  Mari kita mencermati sejumlah sajian data. Sebuah survei yang dilakukan oleh CSIS (2017) bahwa kaum mu

Di Tanah Haram Bertaubat, Di Tanah Air Berdosa

Suatu hari, saya berjumpa dengan seorang pria yang kira-kira usianya antara 45-50 tahun. Awalnya, dia bercerita tentang dinamika dunia kerja, yang menurutnya sulit melepas diri dari sikap dan tindakan salah. Ia terus menggerutu akan banyaknya penyimpangan yang dipandang 'bersih' oleh pihak pemeriksa. Namun suara batinnya tak sanggup mendustakan peristiwa sebenarnya. Di tengah ketidaksanggupan berlari dari kebiasaan-kebiasaan buruk itu, si Bapak ini mengaku kehabisan akal. Ia tak punya jurus lain untuk membenahi profesi yang menurutnya memang sulit dilepaskan, dari ragam praktek dosa. "Sudah terstruktur, sistematis dan masif," katanya. Pelariannya hanya satu; Agama. Ia termasuk satu di antara beberapa orang yang sangat percaya dengan pahala dan penghapusan dosa berkali lipat, jika ditunaikan di Dua Kota Suci. Yakni Makkah al Mukarramah dan Madinah.  Ia percaya, sebanyak apapun tumpukan dosa yang diperbuatnya, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi adalah dua per

Karnaval Agama

Dimensi agama itu, kata Dr. Mulyadhi Kertanegara, ibarat dua sisi tampilan rumah. Sisi pertama disebut rumah rendah, dan sisi kedua disebut rumah tinggi.  Pada sisi rumah rendah, sebagai simbol kulit luar agama. Dalam istilah Nurcholish Madjid disebut sebagai eksoterisme. Adapun rumah tinggi sebagai simbol hakikat, atau ruh beragama alias esoterisme.  Kekuatan ruh beragama, memiliki peran vital untuk mencairkan yang beku, melembutkan yang keras, menguatkan yang lemah, menyakinkan yang ragu, bahkan menghidupkan yang mati. Kekuatan Ruh juga menjadi medium utama proses interaksi hamba dengan Tuhannya.  Namun sayang, kebanyakan manusia lebih mengurusi rumah rendah dari pada rumah tingginya. Ia sibuk memberi aksesoris semewah mungkin. Ia ramaikan dengan pesta dan beragam atraksi yang menakjubkan pandangan manusia.  Tengoklah betapa banyaknya hari ini, potret kegiatan religi yang tak ubahnya sebatas arak-arakan atau karnaval semata. Bahkan tak tanggung-tanggung, ia disorot s

Puasa di Era Corona

Kehadiran puasa kali ini berbeda. Sungguh berbeda. Jika di tahun-tahun sebelumnya, bayang-bayang kehadiran bulan suci Ramadhan diramaikan oleh iklan Syrup di televisi, perusahaan Sarung jadi sponsor utama acara religi, dan produksi musik religi seketika naik daun. Kini tak semeriah itu lagi. Dunia sekarang sedang berduka. Wabah Virus Covid 19 alias Corona datang menghantam lebih dari separuh jumlah negara di dunia, termasuk di Indonesia. Awalnya, disinyalir hanya akan menimpa sejumlah negara maju kelas papan atas. Tapi rupanya virus itu tak kenal kelas. Ia melakukan aksi pukul rata tanpa pandang bulu. Terhadap orang salah ataupun orang saleh, semuanya sama. Di Indonesia sendiri, sejumlah upaya dilakukan untuk menekan jumlah korban keganasan Corona. Pesan untuk rajin Cuci Tangan, Jaga Jarak, hingga berdiam di rumah menjadi kalimat-kalimat bijak, mengalahkan kearifan yang jamak kita simak selama ini. Puasa di Era Corona ini, setidaknya akan mengubah sejumlah pola hidup dan k

Keberagamaan Yang Tergerus

Generasi tua, boleh saja bangga dengan kisah manisnya di masa lalu. Tinggal di desa, menikmati kicau burung dan dinginnya alam. Selepas zhuhur, sudah berada di rumah Guru ngaji. Pulang mengaji, bisa langsung bermain di lapangan bola.  Saat maghrib tiba, sekumpulan anak-anak yang beranjak remaja berebutan jadi muazzin di Masjid. Sementara yang lain memilih mengambil sapu, membersihkan lantai masjid.  Tapi, cerita di atas nyaris tak menarik dikisahkan untuk generasi masa kini. Eranya sungguh berbeda. Jika dahulu kala, kehidupan kampung sangat akrab dengan semangat saling berbaur dan menjunjung nilai-nilai subtantif agama, kini, gaya menyorotnya mesti berbeda.  Apa yang dihadapi generasi masa kini, terlanjur dikuasai oleh kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi. Sebut saja media sosial. Alat telekomunikasi dalam genggaman itu menjanjikan kehidupan serba simpel. Tak terkecuali dengan gaya hidup menangkap pesan-pesan agama. Agama yang dipahami hari ini ibarat sebuah layar

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa

Tentang Rumah yang Rusak

Tiangnya keropos, dindingnya lapuk, atapnya bocor lagi berkarat. Kerjaan kepala rumah tangga selama ini hanya memoles dengan cat warna setiap tahun.  Belum lagi keadaan anak dan istri yang tak terurus dengan baik. Kepala rumah tangga hanya tahu bahwa anaknya sekolah. Tapi tidak mau tahu soal capaian anaknya di sekolah.  Ia juga tahu jika istrinya kian khawatir menginjak lantai dapur. Perasaan harap-harap cemaa terus menyelimuti dirinya setiap waktu.  Hari demi hari, makin banyak tetangga yang menyarankan agar rumah itu dibenahi dengam baik. Tiangnya diganti, dindingnya diperbaharui, atapnya pun diganti.  Namun, apa daya, sang Kepala Keluarga dengan percaya diri menampik semua itu. Ia berdalih sederhana. Bahwa rumahnya tidak apa-apa. Hanya butuh polesan untuk tampil cantik, menyaingi rumah tetangga. Ia lupa. Bahwa jika tiang, dinding dan atap yang bermasalah, jalan keluarnya bukan dengan berdalih kesana-kemari. Sebab yang lebih penting adalah mengganti semua itu.