Bukan hal yang jarang terjadi dalam menyikapi celah perbedaan antara Riya' dan Syi'ar. Keduanya hanya berjarak setipis benang. Namun implikasi gerak batinnya sunguh-sungguh berbeda 180 derajat.
Dalam Ilmu Komunikasi, kita mengenal istilah Impresi Sosial. Yakni sebuah pola untuk membuat orang lain memahami kesan atau citra diri yang kita 'rekayasa'. Jadi, dengan impresi sosial, seseorang dapat membentuk kesan di hadapan publik sesuai dengan apa yang dikehendakinya.
Untuk kelihatan cerdas misalnya, anda cukup mengunduh foto di media sosial sambil memegang buku tebal berbahasa asing. Pasti netizen akan menyimpulkan kesan bahwa anda orang cerdas. Atau agar anda disegani sebagai orang penting, sering-seringlah meminta foto dengan para pejabat. Kendati harus dilakukan dengan cara agak memaksa para pejabat untuk berswafoto dengan anda.
Jika dalam sebuah perbincangan yang melibatkan beberapa orang, sampaikanlah bahwa anda dekat dengan seorang politisi besar dari partai besar. Bila perlu, perlihatkan foto bersama dengan politisi itu. Jika mereka belum percaya, beranikanlah menelpon politisi itu sembari menekan tombol speaker. Agar tak ada keraguan lagi bagi mereka.
Dalam bentuk lain, impresi sosial juga dapat digunakan dengan cara melakukan kontra persepsi dengan orang-orang penting. Rumusnya sederhana, untuk menjadi orang terkenal, biasakanlah melawan arus berpikir orang besar. Ini juga bagian dari model impresi sosial.
Hal paling mudah dalam menerapkan jurus impresi sosial adalah dengan menggunakan simbol-simbol agama. Agar anda disebut sebagai orang yang tak pernah lepas dari zikir kepada Allah dimana pun dan kapanpun, biasakanlah bertasbih tanpa henti pada setiap perkumpulan publik.
Agar anda disebut sebagai orang shaleh, dalam setiap jeda perbincangan, biasakanlah menyebut kalimat pujian pada Tuhan. Seperti, Subhanallah, Masya Allah, Astaghfirullah dan lain-lain. Atau jika anda tampil berpidato, mulailah dengan muqaddimah yang sangat mengedepankan kefasihan tajwid. Agar audiens tahu bahwa anda memang benar-benar orang shaleh. Sekali lagi itu, impresi sosial. Sebuah usaha membentuk kesan di hadapan publik.
Belakangan ini, Keislaman itu tak cukup jika hanya bersyahadat. Anda harus menyampaikan kepada umat bahwa hidayah telah datang menghampiri anda. Untuk menyakinkan bahwa hidayah itu benar-benar telah diraih, anda butuh kostum yang merk-nya berbahasa arab. Ini juga masuk dalam kategori impresi sosial.
Saat memimpin Shalat, anda harus membaca surah-surah yang panjang ayatnya. Agar anda dikenal sebagai hafidz yang nantinya akan bergelar hafidzahullah. Adapun di rumah, anda cukup membaca surah-surah pendek.
Dimana letak kesalahannya? Impresi sosial bukan hal yang salah. Itu lumrah. Namun sebuah kekeliruan besar ketika ritualitas yang sifatnya privat, hanya ditujukan kepada Allah swt, justeru dikemas sebagai agenda meraih citra publik.
Shalat misalnya, adalah jenis ibadah yang ditujukan hanya untuk Allah (lillahi rabbil alamin). Namun karena terlena dengan kedahsyatan impresi sosial, anda rela meruntuhkan penghambaan kepada Tuhan.
Lalu bagaimana membedakan antara impresi sosial dan riya? Tanya hatimu!
Komentar