Langsung ke konten utama

Pesantren Baruga dan Baruga Pesantren

Catatan di Balik Penolakan Proyek Pembangunan Embung Baruga Majene (3)  
Perjuangan belum usai. Dua hari kemudian KH. Nuhun (Imam Segeri) sengaja datang menemui Fatani Tayyeb. Setelah mendengar penjelasan terkait pertemuan sebelumnya, Imam Segeri ini datang memberi semangat untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut. “Setiap orang yang ingin memperjuangkan kebaikan dan ajaran Islam, pasti akan menghadapi banyak tantangan atau rintangan,” pesan KH. Nuhun kala itu.
 
Mendengar nasehat Imam Segeri tersebut, semangat berapi-api yang hampir padam dalam diri para pemerakarsa akhirnya kembali berkobar. Begitu kuat dan bulatnya tekad untuk mendirikan MAI, hingga dalam waktu singkat terkumpullah dana Rp116 yang diperoleh dari hasil pengedaran les sumbangan yang dialukan oleh Jalaluddin (Jalunding).
 
Dari dana yang telah berhasil terkumpul itu, kemudian diserahkan kepada Hasan (Pua Raehang) dan KH. Nuhun untuk membiayai perjalanan keduanya menuju Mangkoso sebagai utusan yang ditunjuk para pemrakarsa dengan maksud menyambangi langsung KH. Abdurrahman Ambo Dalle.
 
Tujuannya, untuk membicarakan keinginan masyarakat Baruga mendirikan MAI di Baruga sekaligus memohon restu dan bantuan tenaga pengajar dari kalangan santri beliau. Saat di Mangkoso, keduanya sengaja bermalam di kediaman KH. Abdurrahman Ambo Dalle selama 2 malam untuk membicarakan maksud tersebut.
 
Berselang beberapa waktu setelah kepulangan 2 utusan tersebut, murid Ambo Dalle yang diutus ke Toli-Toli untuk berda’wah diperintahkan untuk ‘transit’ di Baruga. Mereka menyampaikan pesan bahwa pada bulan Ramadhan nanti akan datang seorang utusan bernama Abdul Rasyid. Sang penghafal al-Qur’an 30 juz. Momentum kehadiran kedua utusan dari Mangkoso untuk Toli-toli yang singgah di Baruga ternyata tak disia-siakan. Masyarakat Baruga kemudian berkumpul di masjid untuk mendengarkan ceramahnya.
 
Singkat cerita, setelah bulan Ramadhan, masyarakat Baruga kembali mengutus 2 orang untuk menemui Gurutta Ambo Dalle, yaitu H. Syarif dan Hasan (Pua Raehang). Hasil dari pertemuan itu, diutuslah dua orang utusan ke Baruga, yaitu Sufyan Toli-toli sebagai guru bantu dan Muhammad Shaleh Bone sebagai kepala sekolah yang dimandat langsung oleh Gurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle yang diantar oleh Muhammad Nasir. Kedatangan utusan MAI Mangkoso tersebut menandai berdirinya MAI di Baruga secara resmi sebagai cabang dari MAI Mangkoso.
 
Menurut Sudirman (2008), murid MAI Baruga di antaranya, KH. Ahmad Ma’ruf, H. Zainuddin Muhammad, Hj. Sulaehah Imran, Abdullah (Wewerang Flores), Shiddiq (Pua Rasnah), Salama’ (Pua Sakir), Abdullah Nuh (Anak dari Imam Segeri), Zainuddin Nuh (Anak dari Imam Segeri), Abdul Rahim (Imam Segeri kedua), Muhammad (Imam Segeri ketiga), Abdullah (Pua Rajang), Umar Gani (Imam Simullu), Sanamba (Kakak Umar Gani) dan Hamidi.
 
Enam bulan lamanya proses kegiatan belajar-mengajar di MAI Baruga berjalan lancar, hingga terjadinya peristiwa korban 40.000 jiwa di seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Salah satu kekejaman yang dilakukan oleh Belanda di bawah komando Westerling yang sangat meremukkan hati rakyat Sulawesi.
Di tanah Mandar peristiwa tersebut dikenal dengan istilah pembantaian Galung Lombok pada tahun 1947. Dalam peristiwa ini, para tokoh pencetus berdirinya MAI Baruga, di antaranya; KH. Nuhun (Imam Segeri), KH. Ma’ruf dan Abdul Waris beserta kedua guru yang ditugaskan oleh KH. Abdurrahman Ambo Dalle gugur sebagai syuhada.
 
Setelah wafatnya kedua utusan dari Mangkoso dalam peristiwa pembantaian Galung Lombok, MAI Baruga pun menjadi fakum. Alias tak ada aktivitas proses belajar mengajar. Hingga kembalinya Kiai Abd. Rahim bersama KH. Abdul Hafidz (Guru Papi), KH. Abdul Hafidz Imran dan guru-guru lainnya yang selamat dari peristiwa pembantaian tersebut. Merekalah yang kemudian kembali melanjutkan dan mengembangkan MAI Baruga.
 
Dalam rentang waktu yang terus bergerak, MAI berubah menjadi ormas tersendiri yang disebut dengan Darud Dawah wal Irsyad (DDI). Dari dinamika perubahan itu, tercetuslah mufakat untuk membentuk Pengurus Cabang DDI Baruga sebagai upaya membuka kemungkinan menjadikan kedua madrasah Aliyah dan Tsanawiyah menjadi Pondok Pesantren.
 
Dalam rapat Pengurus Cabang DDI Baruga tanggal 1 Januari 1985 M./ 9 Rabiul Akhir 1405 H, lahirlah kesepakatan bersama untuk memekarkan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah menjadi Pondok Pesantren. Adapun untuk penentuan namanya diserahkan sepenuhnya kepada PB. DDI untuk menentukan. 

Sejumlah nama pun diajukan ke Pengurus Besar DDI. Yaitu; Ar-Rahman, Al-Mubarak, Al-Barakah, Darurrahman dan Ihyaul Ulum. Rupanya pilihan Pengurus Besar DDI jatuh pada nama yang terakhir yaitu Ihyaul Ulum. Nama ini bagi Gurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle berangkat dari nafas pengembaraan spiritual Imam Al-Ghazali yang termaktub dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin.
 
Pengurus Besar DDI selanjutnya mengeluarkan Surat Keputusan PB DDI, Nomor: PB/ B-II/ 26/ IV/ 1985 tertanggal 25 April 1985 M./ 5 Sya’ban 1405 H., maka resmilah berdirinya Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Addariyah DDI Baruga atas restu Rais Majelis A’la PB DDI KH. Abdurrahman Ambo Dalle.
 
Atas pijakan dimensi historis itu, terasa sulit untuk memisahkan antara Pesantren Baruga dan Baruga Pesantren. Artinya, untuk mengenal Baruga, kenalilah Pesantrennya. Sama takarannya jika ingin mengenal Pesantren Ihyaul Ulum, kenalilah Baruga, Mandar Kabupaten Majene. Kendati mungkin kesimpulan ini terlampau sederhana untuk disebut sebagai Identitas, dari dulu hingga kini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa