Langsung ke konten utama

Polman Dulu, Bukan Polman Sekarang

Catatan Khusus Pelantikan AIM-Benar

Hari ini, tepatnya 7 Januari 2014 bakal menjadi tonggak sejarah politik bagi Polewali Mandar dan Sulawesi Barat umumnya. Juga sebagai detik pembuka dimulainya babak baru pemerintahan di bawah komando Andi Ibrahim Masdar-M. Natsir Rahmat.

Keduanya saat berkampanye akrab diseru AIM-Benar. Mereka dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati, menggantikan Andi Ali Baal Masdar-Nadjamuddin Ibrahim. Perjuangan menuju kursi kepemimpinan di Polman itu diraih setelah berhasil memenangkan pertarungan pada Pemilukada 8 Oktober 2013 lalu. Pasangan ini dipilih mayoritas warga Polman serta dianggap paling pas menduduki jabatan sebagai kepala pemerintahan di Bumi Tipalayo.

Pada momen pelantikan ini sejatinya tak sebatas penuntasan agenda formil. Tapi mesti menegaskan bahwa ke depan, harus ada yang lebih baik dari sebelumnya.

Kita telah mafhum bersama, Polman merupakan salah satu Kabupaten di Sulawesi Barat dengan segudang kelebihan yang disandangnya. Kampung besar ini punya peradaban yang dapat diterawang secara gamblang. Di sektor pertanian, Polman tampil sebagai Jawara dalam menyuplai beras di Sulbar setiap tahunnya.

Di bidang kebudayaan, Polman layak disebut sebagai kabupaten yang sangat kukuh merawat nilai budaya. Ini terlihat jelas ketika berbagai perhelatan kebudayaan digelar, sejumlah aktivis kebudayaan itu dominan berasal dari Polman.

Di bidang politik, aktor politisi asal Polman selalu punya taring bersuara nyaring. Bahkan disadari atau tidak, perbedaan partai politik di kalangan politisi Polman seketika mengecil, tergantikan oleh kepentingan bersama menyuarakan apa yang dibutuhkan warga Polman.

Tak terkecuali di bidang pendidikan, daerah ini mampu mencetak stok sumber daya manusia yang cerdas lagi berani. Mereka punya basis pengetahuan yang jitu, sekaligus punya nyali beradu jotos.

Keunggulan-keunggulan itu selama ini telah mulai ditata sejak kepemimpinan S. Mengga hingga Ali Baal. Apa artinya? Bahwa ke depan, kepemimpinan pasangan AIM-Benar punya tanggung jawab besar untuk berbuat lebih dari sekadar mempertahankan keberhasilan pendahulunya. Jika dinarasikan lebih tegas, pasangan AIM-Benar tak cukup jika populer di masa kampanye saja. AIM dan Natsir punya kewajiban besar untuk menjadi cermin dari tindakan benar. Seterusnya terejawantahkan dalam setiap pengambilan keputusan nantinya.

Pada posisi ini, kebanggaan demi kebanggan yang disandang Polman sebelum periode AIM-Benar hendaknya didudukkan dalam frame yang lebih progresif. Bahwa Polman dulu bukan Polman sekarang. Beda zaman beda pemimpin, beda tantangan beda pula jalan keluarnya.

Keberhasilan AIM-Benar saat pemilukada lalu telah melecut ekspektasi publik yang cukup besar untuk meniscayakan realitas pembangunan yang lebih baik lagi faktawi. Sebab sejauh mata memandang, pembangunan di Polman akhir-akhir ini sedemikian rumpang jika tak ingin disebut berjalan apa adanya.

Pemerataan pembangunan hingga ke pelosok pegunungan bakal menjadi tantangan tersendiri ke depan. Puang Bram, sapaan AIM tentu lebih paham dengan kondisi masyarakat pegunungan setelah bertahun-tahun menyusuri wilayah yang nyaris tak terjamah itu.

Di bidang ekonomi, Bram dan Natsir punya tanggung jawab besar menggerakkan Polman dalam takaran yang serba berkeadilan. Sehingga lebih awal mesti ditegaskan agar tak silau dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi karena telah masyhur kerap meminggirkan kepentingan kaum lemah. Munculnya pusat-pusat perbelanjaan, khususnya di Polewali dan Wonomulyo mesti ditinjau ulang; apakah kehadirannya dapat menjawab kebutuhan akan kesejahteraan atau semakin memiskinkan penduduk setempat?

Tantangan demi tantangan dalam kepemimpinan AIM-Benar lebih awal disampirkan agar semua pihak lebih cermat memahami alat pembeda antara pemimpin dan penguasa.  Sekaligus agar tak ada satu pun kroni tim sukses yang merasa paling 'berkeringat' selama pemilukada.

Salah satu tantangannya adalah menjawab apa yang telah menjadi janji-janji kampanye selama ini. Mulai dari perbaikan infrastruktur hingga janji menyejahterakan rakyat mengharuskan agar tak bermain-main secuil pun dengan sumpah yang diucapkan di bawah kitab suci. Bukan sebaliknya, malah berlagak amnesia dengan aneka rupa dalih pembenaran.
Ingat, saat kampanye telah tercetus berulang kali bahwa kepemimpinan pasca ABM bakal menggelontorkan anggaran Rp600 juta per Desa setiap tahun serta trik khusus mewujudkan jalan mulus ekonomi bagus. Dan itu mutlak menjadi ingatan kolektif kita sebagai rakyat untuk terus menagih janji pemimpinnya.

Tantangan lainnya adalah menjawab keraguan publik bahwa pasangan politisi-birokrat ini mampu berdiri tegak dan tegas menerapkan aturan main di lingkar birokrasi. Dudukkanlah pejabat sesuai dengan kapasitasnya, selenggarakan proses tender proyek dengan cara-cara yang bermartabat. Sembari melakukan tera ulang terhadap pejabat dan rekanan yang amat terbiasa meremehkan wibawa birokrasi.

Akhirnya, kita ucapkan selamat atas pelantikan ini. Selamat karena sukses memenangkan pertarungan politik. Sekaligus selamat untuk menandai babak baru pemerintahan Polman yang bersih dari korupsi.

Kepada siapa pun yang menghendaki Polman dulu bukan Polman sekarang, mari berucap Bismillah, sembari mengawasi langkah kepemimpinan AIM-Benar. Semoga terlahir roda pemerintahan dengan cara-cara yang benar. Bukan karena dibenarkan! 

(Telah diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa