Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2014

SIPBM; Berkah Bagi Generasi Taan

Catatan dari Program SIPBM Kegembiraan tampak jelas di wajah para ibu ketika (19/09) lalu, warga Desa Taan Kecamatan Tapalang Mamuju berbondong-bondong mengantar putera dan puteri mereka masuk di lembaga Pengembangan Anak Usia Dini Holistik dan Integratif (PAUD–HI). Atau dalam masyarakat Mamuju dikenal dengan sebutan “SIOLA”. Kegembiraan ini terjadi karena penantian panjang para ibu akan sebuah fasilitas pelayanan anak usia dini (0-6 tahun), dapat hadir di dusun mereka akhirnya terwujud. Lembaga SIOLA ini didirikan sejumlah Ibu-ibu setelah mereka mendapatkan hasil pendataan Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat (SIPBM), yang disosialisasikan oleh Tim SIPBM Provinsi Sulawesi Barat yang digawangi Yohanis Piterson, staf Bappeda Sulbar. Program SIPBM ini merupakan Kerjasama Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dengan Pemerintah Kabupaten Mamuju, Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan serta Unicef untuk tahun 2013 – 2015. “Kegiatan sosialisasi SIPBM ini dikemas dalam bentu

Perlawanan Virtual

Dunia maya dewasa ini terus menunjukkan eksistensinya yang berdiri sendiri. Terpisah dari entitas sosial lainnya. Beraneka rupa disajikan, mulai dari facebook, twitter, we chat, WhatsApp, LINE hingga Kakao Talk. Ajaibnya, pengguna layanan virtual itu kerap menjadi member atas seluruh menu media sosial di layanan virtual. Eksistensi media sosial juga kian percaya diri untuk disematkan predikat sebagai pilar kelima demokrasi. Setelah ekskutif, legislatif, yudikatif dan Pers. Dengan berkaca dari layanan itu, ada banyak limpahan informasi bernada gugat, gusar, gurih, dan renyah. Semuanya teramu dari seluruh susunan wall dengan daya tampung komentator dengan kapasitas berlipat ganda. Irisan wilayah privasi pun nyaris kian terhimpit. Para pegiat spin doctor , juga kerap menjadikannya sebagai media pencitraan bagi kandidat tertentu. Mulai dari calon Presiden, hingga calon Kepala Desa. Pola ini dianggap efektif baik dari sisi pertimbangan finansial, maupun dalam sudut pandang strategi memen

Tentang Kehancuran Para Pembesar

Setiap zaman memiliki tokoh berpengaruh. Sebagaimana halnya setiap kehadiran tokoh juga tak lepas dari 'kecocokan' zaman yang dihadapinya. Ini bukan dalam pahaman sebagai pakem yang tak tersentuh wilayah rasio. Atau sekadar menyatakan bahwa ini sudah menjadi isyarat alam (saja). Melainkan bagaimana sisi ideal tokoh berpengaruh itu mampu memerankan diri dengan cara-cara yang tepat. Sekujur tubuh tulisan ini menegaskan terma Pembesar sebagai pilihan paling akrab untuk memahami bagaimana pengaruh ketokohan sang politisi. Mula-mula seorang pembesar hadir dalam sebuah kumpulan yang seirama dalam ide maupun gagasan dengan orang lain. Mereka punya cita-cita besar merebut kekuasaan sembari menyiapkan segala ihwal pelengkapnya. Di sini jiwa dan semangat egaliter dihembuskan sebagai nafas bersama. Narasi perjuangan hingga suka duka yang melingkupinya terus disuarakan agar makin menggerus badai simpati dari segala penjuru. Membayangkan akan satu hal ini, kita akan terbawa pada kesimpul

Jangan Ada Intimidasi Gaya Orde Baru !

Catatan di Balik Penolakan Proyek Pembangunan Embung Baruga Majene (5)   Sisi lain dari rencana pembangunan Proyek Embung yang akan dikerjakan oleh PT. Indah Seratama di Lingkungan Baruga Barat tak kalah heroiknya. Pasalnya dalam beberapa kali pertemuan, pemerintah selalu datang lengkap dengan laskar bersenjata.  Bagi warga Baruga, kehadiran aparat keamanan makin menunjukkan ada upaya penundukan dengan gaya militeristik. Persis dengan gaya orde baru. Tokoh Masyarakat Baruga, KH. Nur Husain mengaku keberatan dengan sikap pemerintah tersebut. Baginya, itu merupakan perilaku yang tak mencerminkan sikap mengayomi. “Ada apa ini? Kenapa selalu bawa-bawa aparat keamanan? Kok pemerintah kita ini terkesan memaksakan kehendak,” katanya kepada Rakyat Sulbar.  Bahkan, menurut Abdul Mannan, salah seorang pemilik lahan yang akan terkena imbas Proyek itu membeberkan, dalam setiap aktivitas pembangunan Proyek itu, pelibatan aparat keamanan tak pernah absen. “Biasa kalau mereka datang selalu

Proyek Janggal Bisa Diganjal

Menyoal Pembangunan Bendungan Batu Empat Papalang Mamuju   Proses pembangunan bendungan sungai Papalang di Desa Batu Empat kini sedang dipantau oleh pihak DPRD Sulbar. Pasalnya proyek ini telah mengalami 2 kali penganggaran. Tahun 2013 lalu telah dianggarkan sebanyak Rp1,8 Miliar. Namun dalam pelaksanaannya, pihak CV. Sederhana selaku pemenang tender rupanya tak sanggup menuntaskan pembangunannya. Bahkan serpihan-serpihan yang ditinggalkan menunjukkan bahwa besteknya memang tak sesuai dengan kebutuhan pembangunan sebuah bendungan. Wajar jika CV. Sederhana masuk dalam salah satu temuan BPK RI di Sulawesi Barat. Selanjutnya, pada tahun 2014, kembali dianggarkan dengan besaran anggaran Rp6,8 Miliar. Dalam proses lelang, CV. Citra Putra Latarang dinyatakan sebagai pemenangnya. “Kami bekerja sejak tanggal 16 Juni 2014, Pak,” kata Koordinator Teknis Lapangan, Muslimin. Persoalannya pun belum usai. Pasca dibangunnya bendungan tersebut, sejumlah warga mulai harap-harap cemas. Pasalnya, ar

1,2T

Pasca kedatangan Presiden RI Joko Widodo di Sulawesi Barat ternyata cukup memberi arti penting akan banyak hal. Kelaziman-kelaziman yang selama ini dipertontonkan oleh para pejabat tersulap habis, tergantikan dengan tampilan serba sederhana. Tak ada penyambutan mewah maupun kendaraan mewah yang terlintas hari itu. Semuanya melebur dalam satu isyarat ala Jokowi; kinerja lebih penting dari sekedar retorika belaka. Presiden ketujuh ini juga hadir dengan kabar segar. Kucuran dana untuk menyokong program Gernas Kakao dilontarkan dengan jumlah yang sangat bombastis. Sebanyak Rp1,2 triliun rencananya akan ‘ditransfer’ oleh pemerintah, khusus untuk mempercepat program Gernas Kakao.  Dengan sokongan yang sangat besar itu, harapannya tentu agar tak lagi terdengar bahwa pemerintah hanya menggoreskan rencana tanpa ditopang oleh kebijakan anggaran yang nyata. Mendahului seluruh kegirangan itu, kita mesti benar-benar berpikir lapang untuk mendudukkan ‘marwah’ Rp1,2 Triliun ini pada urgensi mendas

Nasionalisme Sebagai Ekspresi Sosial dan Budaya

Catatan dari Dialog Kebangsaan di Topoyo Mamuju Tengah (4-selesai) Sepanjang sejarah Nasionalisme dibicarakan. Semasa itu pula telah melewati fase pergulatan wacana dengan lintasan perspektif yang saling berganti. Pertama, wajah Nasionalisme ditampilkan sebagai wacana politik yang dianggap mampu menjadi benteng perekat identitas kebangsaan dalam menghadapi bangsa-bangsa lain. Pola ini memberikan dampak yang tidak kecil terhadap berbagai bentuk kebijakan internal bangsa Indonesia. Setidaknya, nafas heroik dari suntikan cinta mati untuk Ibu Pertiwi ini telah memunculkan semangat rela berkorban dari segenap warga bangsa.   Namun sayangnya, rasa cinta tanah air itu tampaknya tak berbalas. Pola pembangunan sentralistik yang hanya menguntungkan area pusaran sedemikian mencolok. Sementara wilayah yang berada di pinggiran tampak dikesampingkan. Hal inilah yang membuat pendekatan politik dalam wacana Nasionalisme kandas dengan sendirinya, di saat kemajuan bangsa ini sangat terasa jauh da

Benturan Kesadaran Nasionalisme; Barat vs Timur

Catatan dari Dialog Kebangsaan di Topoyo Mamuju Tengah (3) Dalam perspektif melihat dari bawah ini Benedict Anderson (1991) melihat nasionalisme sebagai sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan, imagined communities. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial.   Pandangan konstruktivis yang dianut Anderson menarik karena meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun batas antara kita dan mereka. Sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya melalui kapitalisme percetakan, bukan semata-mata fabrikasi ideologis dari kelompok dominan.   Keunikan konsep Anderson dapat ditarik lebih jauh untuk menjelaskan kemunculan nasionalisme di negara-negara pasca kolonial. Bukan kebetulan jika konsep Anderson sebagian b

Identitas Peradaban

Catatan dari Dialog Kebangsaan di Topoyo Mamuju Tengah (2) Membangun epistemologi nasionalisme berawal dari dua pertanyaan fundamental. Pada titik sejarah mana fenomena nasionalisme muncul dan apa yang menjadi materi dasar pembentuknya? Satu pendekatan yang digunakan beberapa sarjana menjawab pertanyaan ini adalah dengan melacak jejak-jejak etnik suatu bangsa ke masa sebelum nasionalisme berbentuk seperti sekarang. Jejak-jejak etnik itu dalam paparan Radhar Panca Dahana (2013) disimpulkan dalam sebutan Identitas Adab Maritim. Bentuk hubungan itu meniscayakan sifat-sifat utama dari peradaban maritim. Yakni, keterbukaan, egalitarianisme, kebebasan fakultatif, dan proses akulturasi yang luwes dan dinamis sebagai bahan dasar terbentuknya masyarakat atau bangsa yang plural serta multikultural.   Bila realitas arkeologis dan primordial dipahami dan dijalani secara teguh dan intens, maka problem yang menciptakan konflik abadi di negara-negara dengan peradaban kontinental seharusnya tidak

Menerjemahkan Kembali Nasionalisme

Catatan dari Dialog Kebangsaan di Topoyo Mamuju Tengah (1) Ada yang selalu unik setiap kali kata Nasionalisme itu dikemukakan dalam beragam forum formal maupun informal. Sisi unik itu acap kali tampak di tengah penampilan kusam dari sekujur wacana Nasionalisme itu sendiri. Untuk tak menyebut bahwa gagasan itu hanya sekadar pengulangan saja. Begitulah respon awal ketika gagasan ini kembali dibincangkan di Aula Kantor Camat Topoyo, pada Seminar Wawasan Kebangsaan dengan Tema Peran dan Partisipasi Pemuda dalam membangun semangat Nasionalisme, di Kabupaten Mamuju Tengah, Kamis 26 Juni 2014 lalu.   Dari setiap lontaran kata, amat terasa bahwa selama ini konsep Nasionalisme sedemikian menjulang ke langit kaum elit. Sebaliknya teramat jarang menjuntai ke bumi. Jangan heran ketika level grass root diajak untuk membicarakan hal ini, nyaris segalanya bakal direspon kaku. Toh, sejak awal, Nasionalisme hanya diajarkan dalam defenisi sederhana. Cinta tanah Air. Titik. Ini final, jangan dibica

Tanggung Jawab Tokoh Masyarakat, Jangan Berhenti...

Catatan di Balik Penolakan Proyek Pembangunan Embung Baruga Majene 6 (selesai)   Penolakan pembangunan Proyek Embung atau Waduk yang akan menggunakan anggaran sekira Rp12 Miliar itu kini kian menggantung. Ada dilema di dalamnya. Jika dipaksakan, warga bakal menolak. Jika tak direalisasikan, meniscayakan anggaran itu dikembalikan ke kas negara. “Proyek ini kalau ditolak tanpa alasan masuk akal akan berdampak pada anggaran yang harus dikembalikan ke Negara. Bukan proyek Embung saja. Termasuk juga proyek lainnya,” ujanr anggota DPRD Majene, Adi Ahsan via telepon seluler, Minggu (24/5) lalu. Bagi KH. Nur Husain, awal mula persoalan ini karena tidak ada sosialisasi sebelumnya. Jika diistilahkan, ini sama halnya dengan urusan ‘salah kamar’. Hendak melakukan yang terbaik, namun dengan cara-cara yang tak lazim. Warga pun kaget.  “Tapi saya katakan, untuk urusan ini sebaiknya kita tanya langsung kepada masyarakat yang akan terkena dampak Embung itu. Karena kalau betul akan terlaksa

Dari Karamah Hingga Amarah

Catatan di Balik Penolakan Proyek Pembangunan Embung Baruga Majene (4)   Waktu berlalu, zaman pun berubah. Kampung Baruga sontak mengalami suasana lain. Seolah citra kesantunan yang terlampau mendarah daging itu lepas dari sangkarnya. Nilai-nilai Karamah yang diwariskan sejumlah ulamanya seakan lenyap dalam hikayat masa silam saja.  Sebaliknya, cerita tentang rencana proyek pembangunan Embung di Lingkungan Baruga Barat merupakan titik balik kemunculan amarah warga setempat. Kesan berhadap-hadapan dengan pemerintah telah menjalar sebagai kekecewaan bersama atas kebijakan yang dipandang tak menimbang sisi manusiawi.  Penolakan ini mengingatkan kita perlawanan warga hutan Amazon Brazil di-era 1980-an. Hingga dibuatkan film khusus berjudul Chico Mendes untuk mengingatkan dunia betapa pentingnya memetik pelajaran dari Tragedi Amazon itu. Mereka berusaha mempertahankan eksistensi dari hutan karet sebagai ladang untuk mempertahankan hidup warga Chacoeira yang bekerja sebagai penyadap

Pesantren Baruga dan Baruga Pesantren

Catatan di Balik Penolakan Proyek Pembangunan Embung Baruga Majene (3)   Perjuangan belum usai. Dua hari kemudian KH. Nuhun (Imam Segeri) sengaja datang menemui Fatani Tayyeb. Setelah mendengar penjelasan terkait pertemuan sebelumnya, Imam Segeri ini datang memberi semangat untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut. “Setiap orang yang ingin memperjuangkan kebaikan dan ajaran Islam, pasti akan menghadapi banyak tantangan atau rintangan,” pesan KH. Nuhun kala itu.   Mendengar nasehat Imam Segeri tersebut, semangat berapi-api yang hampir padam dalam diri para pemerakarsa akhirnya kembali berkobar. Begitu kuat dan bulatnya tekad untuk mendirikan MAI, hingga dalam waktu singkat terkumpullah dana Rp116 yang diperoleh dari hasil pengedaran les sumbangan yang dialukan oleh Jalaluddin (Jalunding).   Dari dana yang telah berhasil terkumpul itu, kemudian diserahkan kepada Hasan (Pua Raehang) dan KH. Nuhun untuk membiayai perjalanan keduanya menuju Mangkoso sebagai utusan yang ditunjuk para

Dari Pesantren Untuk Pesantren

Catatan di Balik Penolakan Proyek Pembangunan Embung Baruga Majene (2)   Bagi warga Baruga, pendidikan bukan hanya berurusan dengan hajat hidup duniawi. Tapi juga sebagai terjemahan penting lagi faktawi atas masa depan ukhrawi. Wajar jika Kampung ini identik terhadap dua aspek sekaligus. Yaitu Penguatan Pendidikan dan Pembinaan Keagamaan.  Dua hal ini tampaknya menjadi alur paling mudah untuk mengurai tentang bagaimana sesungguhnya memahami cara pandang warga di sana. Di tempat ini, juga menjadi embrio munculnya sejumlah Muballigh/ Da’i yang piawai mendakwahkan pesan-pesan agama. Jika dilihat alurnya, pendidikan di Baruga dibangun di atas basis kepesantrenan. Sehingga, corak Islam santri_ meminjam istilah Azyumardi Azra_ sedemikian kental dirasakan. Buktinya di kampung ini telah terbangun Pondok Pesantren sejak puluhan tahun silam.   Jaringan keulamannya berangkat dari dua muara. Pertama, dari jaringan Sengkang, Pare-Pare dan Mangkso yang dimotori oleh KH. Muhammad As’ad, KH. Ab

Mengenal Baruga Lebih Dekat

Catatan di Balik Penolakan Proyek Pembangunan Embung Baruga Majene (1) Dilihat dari jumlah penduduk, jelas tak seberapa. Juga hanya memiliki kekuatan yang minus bargaining. Dari data kelurahan Baruga, jumlah penduduk saat ini hanya mencapai kisaran 2060 jiwa saja. Jika dibagi berdasarkan jenis kelamin, laki-laki berjumlah 1017 jiwa. Sementara perempuan sebanyak 1043 jiwa.   Jika menggunakan kendaraan ojek, anda cukup merogoh uang Rp5000 bertolak dari jantung kota Majene. Saat ini, kampung Baruga berdiri sendiri sebagai satu kelurahan yang terdiri dari 4 lingkungan saja. Yaitu Lingkungan Baruga, Simullu, Tanete dan Baruga Barat. Dilihat dari irisannya, kelurahan Baruga berbatasan dengan Desa Baruga Dhua di sebelah utara. Kemudian di sebelah timur beririsan dengan Kelurahan Galung. Di sisi Selatan berbatasan dengan Desa Pamboboran. Adapun di sebelah Barat berbatasan dengan ujung Kecamatan Pamboang. Tepatnya Desa Simbang. Untuk menyambangi kampung ini, biasanya menggunakan kendar

Pemimpin Tanpa Huruf 'n'

Konsep kepemimpinan yang bergerak dinamis kerap tak sejurus dengan apa yang terjadi di lapangan. Mengapa? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita dapat mengambil sebuah statement Prof. Hamid Awaluddin. Katanya, masyarakat saat ini sedang dilanda oleh proses evolusi sosial. Ditandai dengan menggumpalnya basis masyarakat level tengah. Beliau mengistilahkan dengan sebutan mansyarakat menengah baru. Kelompok menengah baru ini cukup efektif memengaruhi sebuah proses 'menjadi' seorang pemimpin. Karena kecakapannya untuk tak silau dengan hitungan angka-angka. Serta kesadaran tak tertipu pada setiap trend pencitraan. Kemunculan generasi menengah baru ini cukup unik. Sebab secara politik, boleh jadi tak punya bargaining apa-apa. Namun di sisi lain, daya kritisnya tak tanggung-tanggung. Karena posisinya yang berada di level tengah tersebut, membuat dua level lainnya, atas dan bawah sedemikian mudah digoyang. Arus ke bawah dikencangkan melalui isu kesadaran pentingnya menguliti berbagai kebi

Gairah Industri Teks

Produksi teks dalam deret aksara tak lepas dari cangkang sosial maupun kultural. Demikian halnya dengan peluang cengkeraman ekonomi. Jika ditautkan dalam kerangka kepentingan pengetahuan, jelas butuh perbincangan yang lebih serius. Dalam artian bahwa sejauh ini produksi pengetahuan cenderung mengalami trend menurun sekaligus makin tumpul membentuk jati diri manusia.  Dalam gumpalan kegusaran ini, terasa mendesak untuk mengurai kembali dari mana muara produksi teks-teks hingga menuju hilir, yakni pembaca itu sendiri. Pertanyaan yang kelak muncul adalah sejauh mana pusaran produksi teks dewasa ini? Akankah masih dalam lingkaran kepentingan penguatan pengetahuan. Ataukah telah bergeser ke arah yang lebih kapitalistik. Bahwa bicara produksi pengetahuan yang berbasis teks hari ini telah makin dikuasai oleh kepentingan ekonomi belaka. Jika dahulu, pertarungannya ada pada perebutan kuasa antara penulis dan pembaca. Kini telah terjelma dalam kutukan keras bahwa sang penulis telah berbuat

Mengukur Kebebasan Sipil di Sulbar

Catatan Dari Diksusi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) (II-Selesai)   Bicara pada aspek kebebesan sipil, tampilan demokrasi di Sulawesi Barat cukup menggembirakan. Pasalnya, selama tahun 2013 tak ditemukan satu pun peristiwa maupun dokumen yang mengarah kepada potensi perusakan demokrasi. Dari data aspek ini, sebanyak 88,67 persen skoring kebebasan sipil di Tanah Mandar. Demikian halnya dengan variabel kebebasan berpendapat, ditemukan 67,77 persen data IDI yang menunjukkan bahwa sepanjang 2013 berjalan datar-datar saja alias sedang. Adapun soal kebebasan berkeyakinan, indeks demokrasi relatif berjalan baik dengan tingkat persentase 89,89 persen. Kendati demikian, menurut Direktur Yayasan Karampuang, Arie Aditya, aspek kebebasan sipil tak serta merta dapat dicermati dalam tangkapan empirik. Sebab dalam dimensi sosial, pertimbangan psikologis kerap digunakan untuk melakukan langkah-langkah kekerasan. “Kekerasan fisik mungkin saja tak ditemukan. tapi jangan kira boleh jadi justeru mengg

Mengukur Demokrasi

Catatan Dari Diskusi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) (I)   Membincang seputar Demokrasi nyaris disebut tak berujung. Pasalnya, ketika disentuhkan dengan tingkat pemahaman terhadap Demokrasi, boleh jadi akan memunculkan beragam fenomena sosial, khususnya di level daerah. Di tengah anggapan publik yang minus kekuatan Ideologis, Demokrasi berjalan dengan sejumlah temuan-temuan unik di lapangan. Namun acap kali, sejauh ini tak dijamah dalam tinjauan yang lebih serius. Hal inilah yang mendorong lahirnya gagasan untuk mengurai pergerakan Demokrasi secara faktual. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) merupakan langkah memahami lanskap pusaran berdemokrasi, tak terkecuali di Sulawesi Barat. Secara konseptual, IDI disusun sebagai alat ukur kuantitatif untuk melihat tingkat kemajuan demokrasi di Indonesia. “Pengukuran kemajuan demokrasi ini didasarkan pada relaitas pelaksanaan dan tingkat perkembangan pada tiga aspek. Yakni, kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi,” ujar Kepala B

Menggugat Dugaan Kecurangan Pemilu

Catatan dari Diskusi Lintas Partai dan Organisasi Pro Demokrasi   Jika pemilu 2009 lalu dianggap amburadul, justeru pemilu tahun 2014 ini jauh lebih kacau balau. Disinyalir, kekacauan itu berlangsung terencana serta massif. Hingga nyaris tak ada celah yang dapat dilakukan untuk meninjau ulang berbagai modus pelanggaran yang terjadi. Demikianlah asumsi ini terbangun dalam benak sejumlah peserta diskusi lintas Partai dan Organisasi Pro Demokrasi yang berlangsung di Warkop Paceko, Mamuju, Sabtu (19/04) lalu. Dari sejumlah calon anggota legilatif yang hadir, semuanya bertemu alur pikir pada argumen yang sama; bahwa pemilu kali ini benar-benar dipadati oleh beragam kecurangan yang terstruktur. Lalu Syamsul Rijal, caleg dari Partai Gerindra mengutarakan, sejak awal indikasi kecurangan itu telah terpajang rapi di depan mata. "Bapak bisa bayangkan, hampir semua petugas PPS itu kan PNS. Ya anda taulah bagaimana birokrasi itu dijalankan," ujarnya dalam diskusi yang dipandu Ketua Dew

Belajar Kerukunan dari Salupangkang

Bangsa Indonesia patut berbangga. Aneka ragam Suku, Agama, Ras dan Adat-istiadat tumbuh dalam setiap komunitas warga dari Sabang sampai Merauke. Ragam ini diikat dalam berbagai pesan simbolik lagi padat nilai kearifan. Tak keliru jika Indonesia menjadi kiblat kerukunan bangsa-bangsa lain. Tengoklah lebih dekat untuk membuktikan kebanggaan itu. Di Desa Salupangkang, Topoyo Kabupaten Mamuju Tengah, dapat disebut sebagai miniatur harmoni kehidupan umat beragama. Ada Islam, Kristen, Hindu dan agama lainnya dengan berbagai latar belakang budaya. Di sini, nuansa kerukunan itu amat terasa. Wajar saja, jika istilah konflik horizontal telah disepakati sebagai kemustahilan di tengah-tengah kehidupan mereka. Desa yang dipadati penduduk transmigran dari berbagai penjuru Nusantara ini tampak sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan kearifan lokal masing-masing. "Kami di sini sangat merawat pesan-pesan yang kami bawa dari kampung kami," kata salah seorang tokoh masyarakat berdarah Bali, M

Mengenal Zona Sengketa Politik di Sulbar

Catatan dari Rakor Pengawas Pemilu 2014 se-Sulbar (II selesai)  Fokus pada Sengketa pemilu 9 April 2014 jelas merupakan sebuah keniscayaan. Di tengah tampilan wajah demokrasi yang masih mengedepankan sisi transaksi, kualitas pemilu menjadi taruhannya.  Untuk Sulawesi Barat, seluruh Kabupaten memiliki tipikal potensi pelanggaran yang berbeda-beda. Di Kabupaten Polewali Mandar misalnya, Kecamatan Matangnga, Tutar dan Alu merupakan zona potensi pelanggaran pemilu. "Faktor utamanya karena akses ke wilayah tersebut tidak mudah," ucap Ketua Panwas Polman, Murtaji Anwar. Hal serupa terjadi di Kabupaten Mamasa. Ketua Panwas Mamasa, Samuel menuturkan, Kecamayan Mambi, Tabang dan Mehalaan dianggap cukup urgen diawasi lebih khusus. "Detailnya, ada 55 Desa yang perlu diberi perhatian khusus. Karena di sana itu, setiap pemilu, surat suara selalu habis. Dan itu tidak masuk akal," jelasnya.   Selain terkendala akses transportasi, kelengkapan bagi awak pengawas juga perl

Bawaslu Jangan Hanya Menunggu Bola

Catatan dari Rakor Pengawas Pemilu 2014 se-Sulbar (I) Pemilu 9 April 2014 kian dekat menghampiri kita. Momentum ini telah menjadi perhatian publik yang terangkum dalam kesimpulan bersama. Bahwa tahun ini layak disebut tahun politik. Di mata Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulbar, kualitas pemilu merupakan taruhan yang begitu mahal harganya. Sementara nyaris dipastikan, proses penyelenggaraan pemilu mustahil lepas dari lingkaran pelanggaran.   "Pemilu yang berkualitas itu bukan berarti lepas seutuhnya dari pelanggaran apa saja. Sehingga kami menyimpulkan bahwa sebenarnya di Sulbar ini, semua wilayah adalah rawan sengketa pemilu," ujar pimpinan Bawaslu Sulbar, Muhammad Saleh saat tampil berbicara pada Rapat Koordinasi Pengawas Pemilu 2014 se Sulbar di Hotel d'Maleo, 23-25 Februari 2014 lalu.   Motif paling mendasar, dikarenakan seluruh jenis-jenis pelanggaran pemilu tercipta dari beragam praktik yang telah lama direncanakan. Lalu disebutlah sebagai kejahatan pemilu