Langsung ke konten utama

Kontemplasi Politik Menuju Lingkar Pandang Demokrasi

Catatan Dialog Penegakan Hukum di Tahun Politik (Bag III-Selesai)
Musuh bebuyutan terdekat di alam demokrasi ada money politic. Praktik ini tak lagi dianggap sebagai perilaku kesesatan. Kini telah menjelma dalam perilaku kelaziman. "Saat ini makin parah karena masyarakat makin menciptakan pasar money politic," kata anggota Bawaslu Sulbar, Muhammad Yunus.

Perilaku buruk itu kemudian diperparah dengan postur regulasi yang berjalan setengah hati. Pasalnya, kata Yunus, hingga kini pemberian sanksi hanya berlaku bagi pemberi saja. "Sementara penerima, tidak mendapat sanksi apa-apa," tambahnya.

Di tengah kondisi yang tak begitu sehat itu, kondisi masyarakat makin takut diintimidasi. Padahal katanya, bila ada pelapor, Bawaslu punya tugas menyembunyikan identitas pelapor.

Bagi Ketua Dewan Kebudayaan Mandar (DKM), Muhaimin Faisal, perilaku tak mengenakkan itu sesungguhnya tak boleh ditanggapi gegabah. Sebab baginya, hal itu hanyalah virus. "Ini hanya pemilu, dan hanya angka-angka saja," ujar Muhaimin.

Untuk mengurai masalah tersebut, Ketua Dewan Rakyat ini menegaskan bahwa perilaku money politic berasal dari adanya peraktik korup. "Dan itu terjadi di tahun politik. Ya, karena memang korupsi untuk kepentingan politik," tegasnya.

Sedangkan bagi Usman Suhuriah, ketua KPU Sulbar, diperlukan upaya kontemplatif untuk membenahi wajah demokrasi yang kian hari kian sakit ini. Usman rupanya sadar betul bahwa demokrasi yang sehat hanya akan mewujud jika penggunanya memiliki keadaran eskatologis yang mumpuni. Sehingga jalan hidupnya tak hanya meniti di atas kertas dan noktah yang tak bersuara. Melainkan segalanya terlahir dari kesadaran samawi. "Kalau begini jadinya, sekarang kita tak lagi punya alamat masa depan demokrasi," kata Usman.

Selebihnya, untuk memoles wajah demokrasi yang berwibawa, tak cukup jika masih harus berangkat dari satuan-satuan sudut pandang saja. Dengan meminjam istilah Muhaimin, demokrasi sedang menantikan lingkaran pandang. Agar harmoni kesadaran itu benar-benar masyhur untuk dibincangkan semua pihak. Masyhur membincangkan masa depan demokrasi. Lebih dekat lagi, masyhur untuk menegaskan kembali bahwa money politic adalah musuh bersama dalam lingkaran pandang. Bukan dalam satuan-satuan sudut pandang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa