Tampilan seorang politisi masa kini sesungguhnya sangat ditentukan oleh tingkat obsesinya dalam memenangkan persepsi positif di benak publik. Dalam era kepemimpinan demokratis, sistem kepemimpinan tak lagi ditentukan sepenuhnya oleh subjek yang bakal menyandang jabatan itu. Namun lebih dari itu juga sangat tergantung pada aktor di balik layar dalam mengemas figur yang ditampilkannya.
Sehingga, permainan gestur di depan publik menjadi urgen. Yasraf Amir Piliang merupakan akademisi yang cukup serius ketika persoalan ini dibicarakan. Katanya, Gestur mempertegas apa yang tak dapat ditegaskan melalui ucapan, meyakinkan kita tentang apa yang tak dapat diyakinkan melalui bahasa. Karena itu, gestur bersifat "yang etis" sekaligus "yang politis" (the political).
Akan tetapi, di dalam politik abad informasi, fungsi gestur politik kini telah beralih dari memperkuat bahasa politik menjadi kekuatan politik itu sendiri. Gestur politik kini tak memperkuat makna dan pesan politik. Tetapi mendistorsinya, dengan menampakkan dirinya lebih esensial ketimbang ide, makna, dan ideologi politik itu sendiri.
Inilah gesturisasi politik, yang melencengkan gestur sebagai penguat wacana politik, menjadi bagian substansialnya. Tak keliru jika menganggap urgensi penerapan mekanisme gestur dalam politik telah menggusur aspek esensial dalam politik.
Kemasan gestur akhirnya kerap membunuh setiap ihwal yang sesungguhnya urgen dalam politik. Pada diktum yang sama pula, gestur tampil menjadi aspek yang lebih dipentingkan tinimbang yang lain. Apa artinya semua ini? Akankah semakin memapankan kesimpulan kolektif bahwa politik selamanya tercelup dalam kolam dutsa dan kepalsuan?
Bagi mereka yang awam dalam memahami bagaimana subtansi politik itu digelindingkan, tentulah sangat mudah terjebak dalam praktik kedustaan permanen. Sebaliknya, untuk menakar kepiawaian seseorang dalam politik, gestur justru hadir sebagai peristiwa etis yang dapat menyambungkan gagasan politiknya dengan tidak menafikan aspek ruang dan waktu dimana gagasan itu dicetuskan. Dengan meminjam konsep Ferdinand de Saussure, kita diantar untuk memahami hal-hal simbolik. Bukan normatif.
Dengan demikian, memahami alam bertingkah para politisi tak cukup hanya menyimak dari apa yang dikemukakan. Sebab boleh jadi anda bakal tertipu untuk menentukan kesimpulan apakah sedang bersungguh-sungguh ataukah sedang membual.
Tapi yang lebih penting adalah soal bagaimana ia menyatakan deret kalimat demi kalimat yang terlontar dari rongga mulutnya. Karena itu, sikap cermat dan teliti sangatlah diperlukan. Agar tetap berdiri tegak
dalam nalar kritis lagi merdeka, bukan krisis nalar lagi terbungkam!!!
Sehingga, permainan gestur di depan publik menjadi urgen. Yasraf Amir Piliang merupakan akademisi yang cukup serius ketika persoalan ini dibicarakan. Katanya, Gestur mempertegas apa yang tak dapat ditegaskan melalui ucapan, meyakinkan kita tentang apa yang tak dapat diyakinkan melalui bahasa. Karena itu, gestur bersifat "yang etis" sekaligus "yang politis" (the political).
Akan tetapi, di dalam politik abad informasi, fungsi gestur politik kini telah beralih dari memperkuat bahasa politik menjadi kekuatan politik itu sendiri. Gestur politik kini tak memperkuat makna dan pesan politik. Tetapi mendistorsinya, dengan menampakkan dirinya lebih esensial ketimbang ide, makna, dan ideologi politik itu sendiri.
Inilah gesturisasi politik, yang melencengkan gestur sebagai penguat wacana politik, menjadi bagian substansialnya. Tak keliru jika menganggap urgensi penerapan mekanisme gestur dalam politik telah menggusur aspek esensial dalam politik.
Kemasan gestur akhirnya kerap membunuh setiap ihwal yang sesungguhnya urgen dalam politik. Pada diktum yang sama pula, gestur tampil menjadi aspek yang lebih dipentingkan tinimbang yang lain. Apa artinya semua ini? Akankah semakin memapankan kesimpulan kolektif bahwa politik selamanya tercelup dalam kolam dutsa dan kepalsuan?
Bagi mereka yang awam dalam memahami bagaimana subtansi politik itu digelindingkan, tentulah sangat mudah terjebak dalam praktik kedustaan permanen. Sebaliknya, untuk menakar kepiawaian seseorang dalam politik, gestur justru hadir sebagai peristiwa etis yang dapat menyambungkan gagasan politiknya dengan tidak menafikan aspek ruang dan waktu dimana gagasan itu dicetuskan. Dengan meminjam konsep Ferdinand de Saussure, kita diantar untuk memahami hal-hal simbolik. Bukan normatif.
Dengan demikian, memahami alam bertingkah para politisi tak cukup hanya menyimak dari apa yang dikemukakan. Sebab boleh jadi anda bakal tertipu untuk menentukan kesimpulan apakah sedang bersungguh-sungguh ataukah sedang membual.
Tapi yang lebih penting adalah soal bagaimana ia menyatakan deret kalimat demi kalimat yang terlontar dari rongga mulutnya. Karena itu, sikap cermat dan teliti sangatlah diperlukan. Agar tetap berdiri tegak
dalam nalar kritis lagi merdeka, bukan krisis nalar lagi terbungkam!!!
(Telah diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)
Komentar