Langsung ke konten utama

Mengenal Baruga Lebih Dekat

Catatan di Balik Penolakan Proyek Pembangunan Embung Baruga Majene (1)

Dilihat dari jumlah penduduk, jelas tak seberapa. Juga hanya memiliki kekuatan yang minus bargaining. Dari data kelurahan Baruga, jumlah penduduk saat ini hanya mencapai kisaran 2060 jiwa saja. Jika dibagi berdasarkan jenis kelamin, laki-laki berjumlah 1017 jiwa. Sementara perempuan sebanyak 1043 jiwa.
 
Jika menggunakan kendaraan ojek, anda cukup merogoh uang Rp5000 bertolak dari jantung kota Majene. Saat ini, kampung Baruga berdiri sendiri sebagai satu kelurahan yang terdiri dari 4 lingkungan saja. Yaitu Lingkungan Baruga, Simullu, Tanete dan Baruga Barat. Dilihat dari irisannya, kelurahan Baruga berbatasan dengan Desa Baruga Dhua di sebelah utara. Kemudian di sebelah timur beririsan dengan Kelurahan Galung. Di sisi Selatan berbatasan dengan Desa Pamboboran. Adapun di sebelah Barat berbatasan dengan ujung Kecamatan Pamboang. Tepatnya Desa Simbang.

Untuk menyambangi kampung ini, biasanya menggunakan kendaraan ojek. Dimana hingga era tahun 2000-an kendaraan yang paling laris manis adalah dokar. Kampung ini sesungguhnya memiliki corak kultur yang sangat khas. Untuk lebih mudah mengenalnya, Baruga akrab dengan suasana religius. Bahkan bicara seputar sumber daya manusia (SDM) di bidang keagamaan, Baruga cukup memiliki sumbangsih signifikan, khususnya di Majene.
 
Menurut salah seorang tokoh masyarakat, KH. Nur Husain penamaan kampung Baruga tak sama dengan penamaan objek lainnya. “Baruga yang ada di kampung kami ini selain nama, juga karena zat-nya. Artinya bukan penamaan yang dibuat-buat,” katanya saat disambangi di kediamannya beberapa waktu lalu.
 
Di tempat ini pula, dikenal sejumlah sosok yang menjadi rujukan banyak warga. Bukan hanya Majene. Tapi juga dari berbagai wilayah seperti Polman, Mamuju, Pinrang Makassar, Jakarta hingga Papua. Mengapa? Sebab dari zaman dahulu kala, kerap bermumculan sosok yang dipandang mustajab dalam doa-doanya.
 
Menyebut nama almarhum KH. Abdul Hafidz misalnya, sontak membuat banyak pihak terkenang dengan sejumlah karamah keulamaan yang dimilikinya. Sebab ulama yang satu ini terbukti memiliki kekuatan spiritual yang tak tanggung-tanggung. Kepada penulis, sosok yang lebih akrab disapa Guru Papi ini bernah bertutur: “Saya punya kitab yang kalau dipedomani dengan baik serta diamalkan tata caranya, kita bisa memahami isyarat alam semesta,” katanya.
 
Bahkan juga disampaikan, dengan kitab itu, sangat mudah menjadi alat pandu untuk memahami tanda-tanda yang terjadi di alam semesta. “Kalau ada yang datang, saya bisa tahu siapa yang jujur dan siapa yang berbohong. Saya juga bisa tahu bahwa besok akan ada kejadian luar biasa. Kita lihat-lihat saja bagaimana burung terbang. Bagaimana pohon-pohon itu bergoyang,” ujarnya kepada penulis saat duduk bersila dalam wajah ketundukan, simbol kerendah hatiannya sekian tahun silam.
 
Pun dengan sosok KH. Ahmad Ma’ruf. Jika Guru Papi dikenal sebagai seorang jebolan santri terbaik dari Sengkang sekaligus sosok Ulama penghafal alQuran 30 juz, maka KH. Ahmad Ma’ruf (kini telah almarhum) punya karamah keulamaan yang mampu memberi takwil. Baik dengan urusan jodoh, mencari hari terbaik, hingga permintaan pemasangan jimat keperkasaan hingga usaha perdagangan di pasar.
 
Sebelumnya, ia pernah menjadi bagian dari tim pembimbing spiritual Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno. Wajar ketika terjadi lelang kopiah alias songkok Soekarno, KH. Ahmad Ma’ruf terbilang paham dengan kronologisnya. Dikisahkan, suatu saat beliau turut serta mendampingi Bung Karno menyambangi sebuah rumah di Jakarta. Saat hendak menyeruput secangkir teh, sontak KH. Ahmad Ma’ruf menunjuk cangkir itu sembari berucap: “Jangan minum air itu. Ada racunnya”. Seusai melarang, terbelahlah cangkir itu, kemudian memunculkan pecahan kaca serta butiran bersi berkarat.
 
Tak cukup sampai di situ. Dari sisi historis, Baruga kemudian dikenal punya catatan pilu akibat kekejaman Raymond Paul Pire Westerling pada tragedi pembantaian Korban 40.000 jiwa di Galung Lombok, Kecamatan Tinambung Polewali Mandar. Di tempat ini, pernah terbentuk kelompok perlawanan yang disebut Gabungan Pemberontak Rakyat Indonesia (GAPRI) 5.3.1. Lembaga ini didirikan pada bulan Januari 1946 silam oleh sejumlah tokoh penting. Seperti: Raden Ishak alias Slamet, Muhammad Saleh Banjar, Kanjuha, Mustafa, Haji Basong, Guru Badu, Hj. Maemunah, Muhammad Djud Pance, Abdul Wahab Anas, Halim Ambo Edo, serta H. Muhammad Syarif.
 
Dalam catatan Idham Khalid Bodi (2010), GAPRI 5.3.1 menunjukkan isyarat religiusitas yang sangat kental. Bahkan untuk melawan gempuran Westerling, semangat nasionalisme dibangun dari sebuah pesan spiritual yang apik. Bahwa mempertahankan NKRI adalah segalanya. Jika pun nyawa taruhannya, Tuhan tak pernah membutakan diri atau sekedar abai dengan segala pengorbanan hamba-hambaNya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa