Catatan Dari Diskusi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) (I)
Membincang seputar Demokrasi nyaris disebut tak berujung. Pasalnya, ketika disentuhkan dengan tingkat pemahaman terhadap Demokrasi, boleh jadi akan memunculkan beragam fenomena sosial, khususnya di level daerah. Di tengah anggapan publik yang minus kekuatan Ideologis, Demokrasi berjalan dengan sejumlah temuan-temuan unik di lapangan. Namun acap kali, sejauh ini tak dijamah dalam tinjauan yang lebih serius.
Hal inilah yang mendorong lahirnya gagasan untuk mengurai pergerakan Demokrasi secara faktual. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) merupakan langkah memahami lanskap pusaran berdemokrasi, tak terkecuali di Sulawesi Barat.
Secara konseptual, IDI disusun sebagai alat ukur kuantitatif untuk melihat tingkat kemajuan demokrasi di Indonesia. “Pengukuran kemajuan demokrasi ini didasarkan pada relaitas pelaksanaan dan tingkat perkembangan pada tiga aspek. Yakni, kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi,” ujar Kepala BPS Sulbar, Setianto saat menjadi pembicara pada Forum Group Discussion (FGD) Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), Rabu (23/04) di Hotel d’Maleo, Mamuju, kemarin.
Kata Setianto, IDI memiliki urgensi representatif untuk kepentingan Nasional. Dalam konteks itu, Demokrasi akan ditemukan lebih variatif, sembari menunjukkan sisi keragaman penerapan demokrasi di tiap-tiap wilayah dalam lingkup NKRI. “Sebaliknya juga akan diketahui faktor-faktor yang menjadikan nilai-nilai demokrasi mengalami penurunan,” tambahnya.
Dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), ujarnya, teridir dari 3 aspek, 11 variabel serta28 indikator. Pertama, Aspek Kebebasan Sipil. Aspek ini mengurai seputar kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, serta kebebasan dari cengkeraman diskriminasi.
Kedua, Hak-hak Politik. Di sini, IDI akan mengemukakan hasil tangkapan terhadap perkembangan politik suatu daerah dengan melihat variabel Hak memilih dan dipilih, serta partisipasi politik antara pengambil kebijakan dan pengawasan pemerintah.
Ketiga, Institusi Demokrasi. Item ini lebih dalam mengupas soal pemilu yang bebas dan adil, Peran DPRD, Peran Partai Politik, Birokrasi serta kualitas lembaga peradilan Independen.
Hal unik dari kegiatan IDI ini, dikarenakan metode pengumpulan datanya yang menggunakan koding Surat Kabar. Jenis media yang satu ini dianggap relevan digunakan. Pasalnya, sajian sebuah media selalu menyajikan narasi yang tertuang dari beragam fakta-fakta ssoail yang berkembang dalam setahun. “Kebetulan kita sudah masuh tahun 2014, ya kita akan review perkembangan Demokrasi ini di tahun 2013 lalu,” tandas Setianto.
Tentu tak hanya menggunakan dokumen pemberitaan. IDI juga melakukan komparasi dengan data maupun dokumen seperti Perda, Pergub serta dokumen penunjang lainnya. Dari dua tahapan pengumpulan data tersebut, lalu dilanjutkan dengan gelaran FGD.
“Di sini kita lakukan kroscek ulang. Apakah pemberitaan yang berlangsung selama setahun itu menunjukkan tren demokrasi yang positif atau tidak. Sehingga, pengujian ulang melalui bentuk diskusi dilakukan. Agar datanya benar-benar valid,” jelas Fasilitator IDI, Soman Wisnu Darma.
Pilihan menggunakan metode kuantitatif ini menggunakan pola skoring terhadap perkembangan Demokrasi setiap tahunnya. Jika suatu daerah hanya mampu berada pada skor 60 ke bawah, itu pertanda wajah demokrasi cukup suram. Jelas ini membutuhkan perhatian khusus. Sedangkan jika skor berada di antara 60-80, itu berarti dalam tingkatan sedang. Sementara jika berada pada skor 80-100, maka demokrasi disimpulkan dalam kategori berbobot alias tinggi.
Hal inilah yang mendorong lahirnya gagasan untuk mengurai pergerakan Demokrasi secara faktual. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) merupakan langkah memahami lanskap pusaran berdemokrasi, tak terkecuali di Sulawesi Barat.
Secara konseptual, IDI disusun sebagai alat ukur kuantitatif untuk melihat tingkat kemajuan demokrasi di Indonesia. “Pengukuran kemajuan demokrasi ini didasarkan pada relaitas pelaksanaan dan tingkat perkembangan pada tiga aspek. Yakni, kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi,” ujar Kepala BPS Sulbar, Setianto saat menjadi pembicara pada Forum Group Discussion (FGD) Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), Rabu (23/04) di Hotel d’Maleo, Mamuju, kemarin.
Kata Setianto, IDI memiliki urgensi representatif untuk kepentingan Nasional. Dalam konteks itu, Demokrasi akan ditemukan lebih variatif, sembari menunjukkan sisi keragaman penerapan demokrasi di tiap-tiap wilayah dalam lingkup NKRI. “Sebaliknya juga akan diketahui faktor-faktor yang menjadikan nilai-nilai demokrasi mengalami penurunan,” tambahnya.
Dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), ujarnya, teridir dari 3 aspek, 11 variabel serta28 indikator. Pertama, Aspek Kebebasan Sipil. Aspek ini mengurai seputar kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, serta kebebasan dari cengkeraman diskriminasi.
Kedua, Hak-hak Politik. Di sini, IDI akan mengemukakan hasil tangkapan terhadap perkembangan politik suatu daerah dengan melihat variabel Hak memilih dan dipilih, serta partisipasi politik antara pengambil kebijakan dan pengawasan pemerintah.
Ketiga, Institusi Demokrasi. Item ini lebih dalam mengupas soal pemilu yang bebas dan adil, Peran DPRD, Peran Partai Politik, Birokrasi serta kualitas lembaga peradilan Independen.
Hal unik dari kegiatan IDI ini, dikarenakan metode pengumpulan datanya yang menggunakan koding Surat Kabar. Jenis media yang satu ini dianggap relevan digunakan. Pasalnya, sajian sebuah media selalu menyajikan narasi yang tertuang dari beragam fakta-fakta ssoail yang berkembang dalam setahun. “Kebetulan kita sudah masuh tahun 2014, ya kita akan review perkembangan Demokrasi ini di tahun 2013 lalu,” tandas Setianto.
Tentu tak hanya menggunakan dokumen pemberitaan. IDI juga melakukan komparasi dengan data maupun dokumen seperti Perda, Pergub serta dokumen penunjang lainnya. Dari dua tahapan pengumpulan data tersebut, lalu dilanjutkan dengan gelaran FGD.
“Di sini kita lakukan kroscek ulang. Apakah pemberitaan yang berlangsung selama setahun itu menunjukkan tren demokrasi yang positif atau tidak. Sehingga, pengujian ulang melalui bentuk diskusi dilakukan. Agar datanya benar-benar valid,” jelas Fasilitator IDI, Soman Wisnu Darma.
Pilihan menggunakan metode kuantitatif ini menggunakan pola skoring terhadap perkembangan Demokrasi setiap tahunnya. Jika suatu daerah hanya mampu berada pada skor 60 ke bawah, itu pertanda wajah demokrasi cukup suram. Jelas ini membutuhkan perhatian khusus. Sedangkan jika skor berada di antara 60-80, itu berarti dalam tingkatan sedang. Sementara jika berada pada skor 80-100, maka demokrasi disimpulkan dalam kategori berbobot alias tinggi.
Komentar