Langsung ke konten utama

'Meragukan' Budaya di Mandar

Ada hal menarik dalam sebuah dialog kebudayaan yang digagas oleh Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol-Linmas) Sulbar, Jumat, (22/11) lalu. Pertemuan itu digelar atas sebuah keresahan bersama. Bahwa budaya, khususnya Mandar kini makin terpinggir dalam cangkang kehidupannya. Pemerintah rupanya turut merasakan pergeseran dan pergesekan itu.

Sesungguhnya amatlah awam di saat wacana kebudayaan itu lalu dipertautkan dalam alam pemikiran saya. Namun ketika Ketua Dewan Kebudayaan Mandar, Muhaimin Faisal mengungkap bahwa budaya di Mandar mesti diseriusi untuk dibicarakan, di sinilah_bagi saya_ titik yang tepat untuk membaca budaya dalam perspektif yang lebih lentur.

Dialog yang dimoderatori anggota KPU Sulbar, Adi Arwan Alimin terus saja memantik pikiran kritis seolah membenarkan ajakan Muhaimin itu. Belum lagi di saat budayawan, Abd. Rasjid Kampil membincang soal Mandar dan Mamuju dalam perspektif yang sedemikian dikotomis.

Sebatas catatan dari pertemuan ini, terdapat persoalan paradigmatik yang cenderung terlewatkan selama ini. Budaya kerap dinikmati hanya dalam lapisan kulit luar. Sebatas pertunjukan usik dan teater, ataupun penelusuran jejak-jejak sejarah saja. Sementara di sisi lain pemerintah terlampau larut dalam cengkeraman kacamata keseragaman.

Pertama, Dalam perspektif paradigmatik, ini merupakan hal yang bakal tak pernah bertemu pada stasiun pemikiran manapun. Adalah hal yang semu ketika budaya dipaksakan masuk ke dalam sebuah kepentinga mendapatkan identitas kebudayaan nasional.

Sebuah identitas kebudayaan Nasional itu sungguh-sungguh tak akan ditemukan dalam bentuknya yang sama dengan bentuk kebudayaan tiap-tiap daerah di manapun, tak terkecuali di tanah Mandar. Kebudayaan Nasional itu hanya akan ditemukan di saat perspektif pemerintah itu digeser seradikal mungkin untuk memahami budaya dalam bentuknya yang bernaeka rupa. Selama itu pula, keseragaman jangan pernah dipaksakan kehadirannya.

Kedua, bicara kebudayaan Mandar mengharuskan kita untuk membongkarkembali beberapa bangunan tentang kemandaran itu. Acap kali para budayawan menyuguhkan ragam pendekatan yang serba kontradiktif. Di satu sisi, Mandar disebut sebagai identitas yang sangat terbuka, menerima ‘yang lain’. Sementara di sisi lain, seketika Mandar dibelokkan dalam kepentingan bahwa Sulbar ini mesti dibangun di bawah kendali orang-orang Mandar. Apakah ini bukan sebuah pemikiran yang ambigu? Apakah ini yang bakal terwariskan bagi generasi yang serba instan hari ini?

Sebelum larut dalam kegusaran pendapat di atas, agaknya yang paling urgen adalah bagaimana Mandar ini dibaca, didekati dan dikemasi.

Mungkin sudah saatnya Mandar itu tak melulu dibaca, didekati dan dikemasi secara historis. Pun tak harus selalu meneropongnya dalam garis teritori Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga. Yang lebih penting hari ini adalah pewarisan Mandar sebagai Nilai. Itu yang penting!

Tawaran ini bagi saya jauh lebih mendekati kepentingan bersama bahwa Sulbar ini mesti konsisten berpijak pada lanskap Malaqbi. Santun dalam tutur kata, sifat dan sikap.

Ketiga,_ dan ini yang paling menggusarkan_peran aktor kebudayaan di Sulbar sesungguhnya berada pada titik nadir yang cukup mengkhawatirkan. Budaya di Mandar nyaris sebentuk perempuan yang berdiri tegak di ujung jurang.

Mengapa? Kritik pedas ini mestilah dibicarakan. Bahwa aktor-aktor kebudayaan di Sulbar nyaris tak satupun dapat bertahan dalam identitasnya sebagai perawat kebudayaan. Mereka telah masuk dalam pusaran kepentingan politik maupun jabatan organ-organ politik.

Di sinilah titik sublim mengapa budaya itu makin meragukan untuk ditemukan secara orisinal. Ada peran-peran yang serba kontradiktif. Politik mengedepankan kepentingan, sementara kebudayaan mengharuskan keluhuran. Politik berkibar karena kemenangan, sementara kebudayaan tegak karena kebenaran.

Maka jangan heran ketika budaya itu terwariskan dalam irisan yang serba sensitif. Akhirnya, ketika kebudayaan itu dibincangkan_walau berulang kali_tetap saja diragukan.

(Telah diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui