Catatan FGD Pengembangan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Sulbar Menuju Pemilu 2014
"Bicara demokrasi itu bukan soal urusan hidung dan ingus. Sebab itu hanyalah hal yang terlihat dari sebuah sistem kekebalan tubuh yang sedang bermasalah," demikian kata Ketua Dewan Kebudayaan Mandar, Muhaimin Faisal saat memberikan tanggapan terkait pemolesan masa depan demokrasi di Sulawesi Barat, kemarin.
Penegasan ini penting dicermati. Sebab ada banyak dilema yang kerap dihadapi alam nyata, alam pergumulan sosial budaya. Analogi demokrasi yang ditarik dari hubungan hidung dan ingus itu memberikan potret selintas soal cara pandang yang selama ini keliru mendudukkan porsi demokrasi. Di titik ini pulalah, kata Muhaimin banyak pihak yang cenderung tak siap menerima terpaan demokrasi.
Menelisik atas gambaran di atas, sesungguhnya penataan demokrasi di Indonesia membutuhkan sentuhan khusus atau masyhur disebut khas Indonesia. Mengapa? Sebab pengejawantahan demokrasi sangat tergantung pada lokus dan tempusnya. Di alam demokrasi, keseragaman tergantikan oleh keragaman. Sehingga, dalam konteks Indonesia, menu demokrasi itu semestinya bercita rasa Indonesia.
Jika ditarik dalam satu muara, tugas awal itu ada pada penataan sistem politik yang baik. Dari sanalah mestinya lebih awal dipancangkan alas pikir mengapa demokrasi mesti diurapi dengan pengetahuan yang memadai. Makin luas wawasan seseorang, makin terbuka peluang baginya untuk bersikap demokratis. Sebaliknya, semakin sempit cakrawal berpikirnya, makin pelik pula cara dia memandang nilai-nilai yang dikandung oleh semangat demokrasi.
Di Sulbar sendiri, hasil kajian Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menyimpulkan bahwa secara kelembagaan, wajah demokrasi itu makin berbinar. Artinya trennya semakin positif. Namun sangat mencengangkan, ketika bicara soal hak-hak politik, Sulbar justeru menjadi provinsi yang penduduknya masih terkungkung dalam belikat yang serba bungkam. Tersakiti sekalipun.
Ironisnya, keterkungkungan itu juga disokong oleh oknum pejabat bereselon yang gagal tafsir terhadap demokrasi itu sendiri. Pernyataan yang sensitif SARA tak jarang diperdengarkan secara vulgar. Di saat yang sama, persepsi terhadap kekuatan civil society dipandang sebagai aktivitas yang layak diberangus atas nama gerakan provokasi maupun separatis.
"LSM itu kan kadang kala suka memprovokasi masyarakat. LSM itu rupanya tidak senang melihat pemerintah dan rakyat menjalin hubungan yang baik," kata Sekretaris Daerah Sulbar, Ismail Zainuddin, saat memberikan sambutan pada acara FGD IDI, Rabu (18/12) lalu.
LSM dianggap sebagai organ yang tak rela menyimak keharmonisan antara rakyat dan pemimpinnya. Pun dengan kehadiran media yang juga dianggap terlampau mendramatisir setiap fakta yang diberitakan. Anggapan-anggapan ini dengan sendirinya telah menjadi cerminan betapa Demokrasi sedemikian dipahami dalam wujudnya yang sangat melantai.
Kendati demikian, di tingkat horizontal juga tak dapat dinafikan. Di level ini, ego sektoral kerap didapati berjalan dalam lanskap tanpa pelita pemahaman yang mendasar. Contoh sederhananya, soal memahami Mandar sebagai Identitas budaya baik nilai maupun zona teritori. Untuk hal yang satu ini, hingga kini tetap saja muncul riak-riak yang justeru tak membangkitkan semangat kebersamaan. Hemat penulis, kita gagal memaknai identitas budaya, sekaligus gagal melahirkan organ perawat nilai budaya. Budaya yang dipahami makin menumbuhkan ego masing-masing. Sementara organ perawat budaya tercebur dalam pusaran kepentingan politik.
Alasan yang lain, penyemaian nilai demokrasi dalam budaya juga mengalami hambatan disebabkan kecenderungan menciptakan tafsir tunggal terhadap mandar itu sendiri. Bagi penulis, kini sudah saatnya penonjolan aspek nilai jauh lebih mendesak digetarkan dari pada sekedar terburu-buru mengkanalisasi sisi historis. Pertanyaannya, akankah kesadaran sublim ini mampu diartikulasikan oleh mereka yang sedang berburu kuasa pada pemilu 2014 mendatang?
Agaknya masih harus disangsikan kembali. Jawaban yang terburu-buru ini masih saja kukuh menyandarkan diri pada anggapan bahwa partai politik saat ini belumlah serius menebarkan benih pendidikan politik kepada masyarakat. Pola komunikasinya tetap menggunakan pendekatan manipulatif, penuh intrik dan polesan pesona, serta mendepankan stimulus psikologis. Cukup menjanjikan proyek, soal peran dan fungsi wakil rakyat tetap saja dipinggirkan.
Kandasnya nilai demokrasi ini menjadikan pemilu makin tak diminati. Jangan heran jika praktik politik kini tak ubahnya sebagai industri dengan laba melimpah. Adapun soal visi, misi dan program masa depan parpol, bakal terus tersimpan dalam kotak pandora, tanpa sentuhan kritis sama sekali.
Jika demikian jadinya, mungkinkah demokrasi dapat berdiri di atas panggung peradaban dengan jubah yang berwibawa? "Yang jelas hakekat demokrasi itu ada pada keinginan kuat untuk mengusung kepentingan rakyat. Demokrasi harus mempertimbangkan amanat rakyat," demikian pesan peneliti Bappenas, Dr. Mulyadi Saleh, pria kelahiran Tinambung, Polewali Mandar.
Artinya, jika hakekat di atas tidak maujud, pastikanlah demokrasi telah kandas untuk ke sekian kalinya di Sulawesi Barat.
"Bicara demokrasi itu bukan soal urusan hidung dan ingus. Sebab itu hanyalah hal yang terlihat dari sebuah sistem kekebalan tubuh yang sedang bermasalah," demikian kata Ketua Dewan Kebudayaan Mandar, Muhaimin Faisal saat memberikan tanggapan terkait pemolesan masa depan demokrasi di Sulawesi Barat, kemarin.
Penegasan ini penting dicermati. Sebab ada banyak dilema yang kerap dihadapi alam nyata, alam pergumulan sosial budaya. Analogi demokrasi yang ditarik dari hubungan hidung dan ingus itu memberikan potret selintas soal cara pandang yang selama ini keliru mendudukkan porsi demokrasi. Di titik ini pulalah, kata Muhaimin banyak pihak yang cenderung tak siap menerima terpaan demokrasi.
Menelisik atas gambaran di atas, sesungguhnya penataan demokrasi di Indonesia membutuhkan sentuhan khusus atau masyhur disebut khas Indonesia. Mengapa? Sebab pengejawantahan demokrasi sangat tergantung pada lokus dan tempusnya. Di alam demokrasi, keseragaman tergantikan oleh keragaman. Sehingga, dalam konteks Indonesia, menu demokrasi itu semestinya bercita rasa Indonesia.
Jika ditarik dalam satu muara, tugas awal itu ada pada penataan sistem politik yang baik. Dari sanalah mestinya lebih awal dipancangkan alas pikir mengapa demokrasi mesti diurapi dengan pengetahuan yang memadai. Makin luas wawasan seseorang, makin terbuka peluang baginya untuk bersikap demokratis. Sebaliknya, semakin sempit cakrawal berpikirnya, makin pelik pula cara dia memandang nilai-nilai yang dikandung oleh semangat demokrasi.
Di Sulbar sendiri, hasil kajian Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menyimpulkan bahwa secara kelembagaan, wajah demokrasi itu makin berbinar. Artinya trennya semakin positif. Namun sangat mencengangkan, ketika bicara soal hak-hak politik, Sulbar justeru menjadi provinsi yang penduduknya masih terkungkung dalam belikat yang serba bungkam. Tersakiti sekalipun.
Ironisnya, keterkungkungan itu juga disokong oleh oknum pejabat bereselon yang gagal tafsir terhadap demokrasi itu sendiri. Pernyataan yang sensitif SARA tak jarang diperdengarkan secara vulgar. Di saat yang sama, persepsi terhadap kekuatan civil society dipandang sebagai aktivitas yang layak diberangus atas nama gerakan provokasi maupun separatis.
"LSM itu kan kadang kala suka memprovokasi masyarakat. LSM itu rupanya tidak senang melihat pemerintah dan rakyat menjalin hubungan yang baik," kata Sekretaris Daerah Sulbar, Ismail Zainuddin, saat memberikan sambutan pada acara FGD IDI, Rabu (18/12) lalu.
LSM dianggap sebagai organ yang tak rela menyimak keharmonisan antara rakyat dan pemimpinnya. Pun dengan kehadiran media yang juga dianggap terlampau mendramatisir setiap fakta yang diberitakan. Anggapan-anggapan ini dengan sendirinya telah menjadi cerminan betapa Demokrasi sedemikian dipahami dalam wujudnya yang sangat melantai.
Kendati demikian, di tingkat horizontal juga tak dapat dinafikan. Di level ini, ego sektoral kerap didapati berjalan dalam lanskap tanpa pelita pemahaman yang mendasar. Contoh sederhananya, soal memahami Mandar sebagai Identitas budaya baik nilai maupun zona teritori. Untuk hal yang satu ini, hingga kini tetap saja muncul riak-riak yang justeru tak membangkitkan semangat kebersamaan. Hemat penulis, kita gagal memaknai identitas budaya, sekaligus gagal melahirkan organ perawat nilai budaya. Budaya yang dipahami makin menumbuhkan ego masing-masing. Sementara organ perawat budaya tercebur dalam pusaran kepentingan politik.
Alasan yang lain, penyemaian nilai demokrasi dalam budaya juga mengalami hambatan disebabkan kecenderungan menciptakan tafsir tunggal terhadap mandar itu sendiri. Bagi penulis, kini sudah saatnya penonjolan aspek nilai jauh lebih mendesak digetarkan dari pada sekedar terburu-buru mengkanalisasi sisi historis. Pertanyaannya, akankah kesadaran sublim ini mampu diartikulasikan oleh mereka yang sedang berburu kuasa pada pemilu 2014 mendatang?
Agaknya masih harus disangsikan kembali. Jawaban yang terburu-buru ini masih saja kukuh menyandarkan diri pada anggapan bahwa partai politik saat ini belumlah serius menebarkan benih pendidikan politik kepada masyarakat. Pola komunikasinya tetap menggunakan pendekatan manipulatif, penuh intrik dan polesan pesona, serta mendepankan stimulus psikologis. Cukup menjanjikan proyek, soal peran dan fungsi wakil rakyat tetap saja dipinggirkan.
Kandasnya nilai demokrasi ini menjadikan pemilu makin tak diminati. Jangan heran jika praktik politik kini tak ubahnya sebagai industri dengan laba melimpah. Adapun soal visi, misi dan program masa depan parpol, bakal terus tersimpan dalam kotak pandora, tanpa sentuhan kritis sama sekali.
Jika demikian jadinya, mungkinkah demokrasi dapat berdiri di atas panggung peradaban dengan jubah yang berwibawa? "Yang jelas hakekat demokrasi itu ada pada keinginan kuat untuk mengusung kepentingan rakyat. Demokrasi harus mempertimbangkan amanat rakyat," demikian pesan peneliti Bappenas, Dr. Mulyadi Saleh, pria kelahiran Tinambung, Polewali Mandar.
Artinya, jika hakekat di atas tidak maujud, pastikanlah demokrasi telah kandas untuk ke sekian kalinya di Sulawesi Barat.
Komentar