Langsung ke konten utama

Malu Jika Korupsi, Masih Adakah?

Sejatinya, budaya itu tercelup dalam sanubari setiap manusia. Tak hanya menjadi ornamen yang dibanggakan sejarah. Melainkan karena mampu terurai dalam sikap dan laku.

Sikap dan laku itu memunculkan tindakan yang dapat ditangkap sebagai cara seseorang memandang kehidupan. Makin dalam kesadaran akan nilai budaya yang dijunjungnya, makin deras pula energinya untuk menggerakkan kehidupan agar makin bernilai.

Sikap malu salah satunya. Dalam tradisi Mandar disebut dengan Siriq. Mengenal terma ini, sosok Baharuddin Lopa menjadi cerminan yang melegenda hingga saat ini. Dari jejak kehidupan Lopa, Siriq adalah prinsip hidup yang mesti dijunjung sampai kapan pun.

Di Jepang, kita juga mengenal sikap malu yang kerap berujung bunuh diri. Pilihan ini menurut tradisi Jepang, budaya malu begitu dijunjung. Sedikit saja lepas dari kendali diri, bagi orang Jepang, melepas nyawa jauh lebih berharga dari sekedar berjalan di muka bumi tanpa rasa malu. Pantas saja jika dalam Islam, sikap Malu dianggap sebagai salah satu ajaran agama (al-haya min al-iman).

Namun, agaknya kesadaran untuk merawat budaya malu kini makin memudar. Syahwat kepentingan sedemikian mudah menggulung pesan-pesan kearifan, lalu berubah dalam wujud keberingasan. Di sini, kita dapat menarik alasan mengapa pejabat kita makin percaya diri untuk korupsi. Di sini pula, kita makin akrab dengan berbagai modus kepentingan, lalu memeras pihak lain.

Saat ini, lingkar kekuasaan sedang dirundung petaka atas ulah pejabat yang makin tak malu menggerakkan kewenangannya untuk memuluskan kepentingan pihak dan kroninya. Mereka makin amnesia untuk membuka ruang kesadaran atas sebab-musabab mengapa hari ini kekuasaan itu berpihak kepadanya. Makin beringas lagi, karena pemerasan itu pun akhirnya dilazimkan, dilanggengkan, dilestarikan, walau mereka tahu bahwa sikap itu makin menjelaskan bahwa dirinya tak punya rasa malu secuil pun.

Ulah tak tahu malu ini boleh saja lepas dari tangkapan hukum positif di Indonesia. Cukup anda berkelit, loloslah anda dari jeratan jeruji besi. Tapi, dalih ini sesungguhnya makin membuktikan betapa kita terlampau senang dengan senandung kemunafikan. Padahal di luar sana, ratapan kemiskinan itu terus saja menganga dan suara pemberontakan sayup-sayup kian terdengar keras.

Namun sekali lagi, kita masih harus mengelus dada. Sebab kemarahan dalam bentuk apa pun, bagi orang yang tak punya malu, tetap saja tak punya arti yang membekas. Tetap saja, sikap beringas, memakan sesama, dan dan membenarkan kebiasaan itu akan terus dilestarikan. Syahwat mendulang keuntungan dari kekuasaan yang disandangnya itu terus menyokong agar tak berhenti menjadi makhluk biadab.

Maka jangan heran, sikap malu jika korupsi itu bakal menjadi pepesan kosong saja. Jangan pula tercengang, jika bangsa ini masih harus bergerak dalam amuk kemarahan atas ulah pejabatnya yang makin berani untuk melepaskan rasa malu dari dirinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui