Langsung ke konten utama

Nasionalisme Sebagai Ekspresi Sosial dan Budaya

Catatan dari Dialog Kebangsaan di Topoyo Mamuju Tengah (4-selesai)

Sepanjang sejarah Nasionalisme dibicarakan. Semasa itu pula telah melewati fase pergulatan wacana dengan lintasan perspektif yang saling berganti. Pertama, wajah Nasionalisme ditampilkan sebagai wacana politik yang dianggap mampu menjadi benteng perekat identitas kebangsaan dalam menghadapi bangsa-bangsa lain. Pola ini memberikan dampak yang tidak kecil terhadap berbagai bentuk kebijakan internal bangsa Indonesia. Setidaknya, nafas heroik dari suntikan cinta mati untuk Ibu Pertiwi ini telah memunculkan semangat rela berkorban dari segenap warga bangsa.
 
Namun sayangnya, rasa cinta tanah air itu tampaknya tak berbalas. Pola pembangunan sentralistik yang hanya menguntungkan area pusaran sedemikian mencolok. Sementara wilayah yang berada di pinggiran tampak dikesampingkan. Hal inilah yang membuat pendekatan politik dalam wacana Nasionalisme kandas dengan sendirinya, di saat kemajuan bangsa ini sangat terasa jauh dari nilai-nilai kesamarataan, khususnya dalam hal peningkatan kesejahteraan rakyat.
 
Kedua, Nasionalisme juga dipadupadankan dengan pendekatan stabilitas. Sebaliknya, sangat menghindari dinamika sosial secuil pun. Di sini, atau pada fase ini, istilah Nasionalisme direkatkan lebih dekat pada aspek kepatuhan warga terhadap seluruh kebijakan yang masuk dalam ranah stabilitas.
Pola ini agaknya juga memberi kesan pengekangan terhadap warga. Nilai dan cita-cita demokrasi sulit tumbuh dalam sebuah pusaran kolektivitas yang mengunggulkan keseragaman. Bukan keragaman. Melihat keadaan itu, dipandang sangat penting untuk meninjau kembali semangat Nasionalisme dalam pendekatan lain.
 
Untuk itulah, menurut Perwira Penghubung (Pabung) 1418 Mamuju, ARH. Wahyu Wibowo, konsep Nasionalisme hendaknya menjadi cerminan dari perilaku keseharian seluruh warga Negara Indonesia. Dalam artian, kesadaran Nasionalisme sedapat mungkin memiliki terjemahan terhadap pola pikir dan pola laku warga negara.
 
“Misalnya, sikap gotong royong. Perilaku ini sebenanrnya merupakan bagian dari Identitas sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Ini menarik, karena di dalamnya terdapat isyarat bahwa untuk membangkitkan sebuah kebersamaan, dibutuhkan ketulusan,” katanya yang saat itu tampil membawakan materi.
 
Hal lain yang juga perlu untku dicermati adalah penanaman nilai-nilai kecintaan terhadap bangsa Indoensia, bermula dari rumah tangga, pola pendidikan anak serta rekayasa lingkungan yang cinta terhadap negaranya.
 
Itu bermakna bahwa gagasan Nasionalisme telah menemukan titik sentuhan lain yang lebih mudah digerakkan. Bukan dalam pendekatan politik, bukan pula dalam lingkup wacana stabilitas. Melainkan lebih menyentuh aspek sublim; budaya masyarakat Indonesia. Sekali lagi bukan sebagai tuntutan untuk menyeragamkan. Tapi terus menyuntikkan semangat merawat nilai-nilai keragaman.
 
Sementara sisi dalam budaya dipertautkan satu sama lain. Sikap ketulusan, gotong royong, kesamaan di sisi Tuhan, merupakan sederet pembuktian betapa mudahnya untuk merajut ulang nasionalisme bangsa Indonesia.  
 
Dengan demikian, nasionalisme menjadi arena ekspresi sosial dan budaya masyarakat yang demokratis. Inilah modal dasar dalam rancang bangun masa depan bangsa Indonesia. Dengan mgikuti alur pemikiran Gus Dur, menjadi nyata bahwa kita sesungguhnya memiliki sumber daya kultural yang cukup untuk mendorong kemajuan bangsa ini.
 
Mudahnya menemukan kata mufakat di tengah-tengah warga demi kepentingan umum misalnya, memungkinkan kita untuk merajut ulang wawasan dasar pembangunan itu sendiri. Di situlah kita memulai tumbuh dan kerkembangnya etos sosial yang benar-benar berwatak membangun.
 
Sebaliknya, gagasan Nasionalisme yang hanya berbasis pada penguatan politis hanya akan menjadi rumusan yang sebatas diadiluhungkan oleh sekelompok pihak yang diuntungkan oleh konsep tersebut. Demikian halnya ketika isu Nasionalisme hanya ditrekatkan pada semangat dan militansi satu arah yang berkebalikan dengan konteks kesejahteraan yang terlampau senjang. Selamanya akan berujung pada ambivalensi semata. Rakyat dituntut cinta pada tanah air. Sementara soal kesejahteraan, sama sekali masih sering menjadi domain perbincangan tanpa kesimpulan yang menggembirakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa