Catatan Hasil Survey KPK Terhadap Pemerintah Kabupaten Mamuju
Korupsi itu, musuh bersama. Dengan korupsi, siklus kehidupan manusia mengalami patahan-patahan serius. Sistem yang dibangun seluruhnya runtuh seketika oleh budaya korupsi. Anehnya, hajatan bersama menumpas perilaku kotor itu tak sepenuhnya diseriusi. Baik dari penyelenggara layanan publik maupun penerima layanan. Keduanya mengalami dilema moral, sepakat membenci korupsi, saat yang sama juga sepakat untuk tidak menutup celah korupsi sepenuhnya.
Persoalan suap-menyuap misalnya, hingga kini tetap saja direspon permisif. Dari hasil survey Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, kondisi penataan birokrasi di Kabupaten Mamuju, masih diramaikan oleh perangkap korupsi. Terbukti, sebanyak 5.62 persen responden menyatakan bahwa petugas layanan memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap praktik gratifikasi alias suap-menyuap itu. Di sisi lain, pengguna layanan pun masih berada di angka 5,57 persen.
“Ini artinya, petugas dan penerima layanan masih memiliki anggapan permisif yang cukup tinggi terhadap praktik gratifikasi,” kata Bupati Mamuju, Suhardi Duka, kemarin.
Dari survey yang dipaparkan, Nilai Potensi Integritas yang di bawah standar minimal (6,00) menunjukkan bhwa terdapat indikator dan sub indikator yang nilainya rendah. Nilai indikator yang rendah itu adalah Perilaku Individu (5,80) dan Pencegahan Korupsi (3,53).
Sementara nilai sub indikator yang masih rendah terdiri dari Kebiasaan Pemberian Gratifikasi (5,04), Pemanfaatan Teknologi Informasi (5,64), Ekspektasi Petugas Terhadap Gratifikasi (5,62), Perilaku Pengguna Layanan (5,57) Tingkat Upaya Anti Korupsi (2,76), dan Mekanisme Pengaduan Masyarakat (5,84).
Sehingga, kata Suhardi, Peningkatan pelayanan publik harus terus dilakukan. Demi tercapainya agenda good governance. “Salah satunya melalui upaya perbaikan terhadap indikator dan sub indikator yang memiliki nilai rendah,” paparnya.
Kepada Rakyat Sulbar, Bupati Dua Periode ini mengemukakan, penataan birokrasi yang bersih hanya akan tercapai jika sistem pelayanan ikut serta ditata dengan baik. Tanpa upaya itu, semuanya hanya bakal sebatas wacana saja.
“Sebaik apapun SDM yang kita punya, atau mengimpor dari manapun SDM-nya, kalau sistem tidak dibenahi, tetap saja akan menimbulkan perilaku korup. Dan itu hanya akan terwujud jika leader (pemimpin, red) punya keinginan kuat untuk memperbaiki keadaan,” tegasnya.
Korupsi itu, musuh bersama. Dengan korupsi, siklus kehidupan manusia mengalami patahan-patahan serius. Sistem yang dibangun seluruhnya runtuh seketika oleh budaya korupsi. Anehnya, hajatan bersama menumpas perilaku kotor itu tak sepenuhnya diseriusi. Baik dari penyelenggara layanan publik maupun penerima layanan. Keduanya mengalami dilema moral, sepakat membenci korupsi, saat yang sama juga sepakat untuk tidak menutup celah korupsi sepenuhnya.
Persoalan suap-menyuap misalnya, hingga kini tetap saja direspon permisif. Dari hasil survey Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, kondisi penataan birokrasi di Kabupaten Mamuju, masih diramaikan oleh perangkap korupsi. Terbukti, sebanyak 5.62 persen responden menyatakan bahwa petugas layanan memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap praktik gratifikasi alias suap-menyuap itu. Di sisi lain, pengguna layanan pun masih berada di angka 5,57 persen.
“Ini artinya, petugas dan penerima layanan masih memiliki anggapan permisif yang cukup tinggi terhadap praktik gratifikasi,” kata Bupati Mamuju, Suhardi Duka, kemarin.
Dari survey yang dipaparkan, Nilai Potensi Integritas yang di bawah standar minimal (6,00) menunjukkan bhwa terdapat indikator dan sub indikator yang nilainya rendah. Nilai indikator yang rendah itu adalah Perilaku Individu (5,80) dan Pencegahan Korupsi (3,53).
Sementara nilai sub indikator yang masih rendah terdiri dari Kebiasaan Pemberian Gratifikasi (5,04), Pemanfaatan Teknologi Informasi (5,64), Ekspektasi Petugas Terhadap Gratifikasi (5,62), Perilaku Pengguna Layanan (5,57) Tingkat Upaya Anti Korupsi (2,76), dan Mekanisme Pengaduan Masyarakat (5,84).
Sehingga, kata Suhardi, Peningkatan pelayanan publik harus terus dilakukan. Demi tercapainya agenda good governance. “Salah satunya melalui upaya perbaikan terhadap indikator dan sub indikator yang memiliki nilai rendah,” paparnya.
Kepada Rakyat Sulbar, Bupati Dua Periode ini mengemukakan, penataan birokrasi yang bersih hanya akan tercapai jika sistem pelayanan ikut serta ditata dengan baik. Tanpa upaya itu, semuanya hanya bakal sebatas wacana saja.
“Sebaik apapun SDM yang kita punya, atau mengimpor dari manapun SDM-nya, kalau sistem tidak dibenahi, tetap saja akan menimbulkan perilaku korup. Dan itu hanya akan terwujud jika leader (pemimpin, red) punya keinginan kuat untuk memperbaiki keadaan,” tegasnya.
Komentar