Langsung ke konten utama

Menang Terhormat

Hajatan pemilu telah mengantar umat manusia berada pada perubahan pola pikir, sikap dan perilakunya. Pesta Demokrasi yang baru saja usai dihelat benar-benar telah menguras energi seluruh kalangan. Tak peduli antara pejabat negeri maupun petinggi penting dalam perusahaan. Semuanya berada dalam firasat yang sama.

Tak hanya di tingkat elit, pemilu juga memasuki ruang-ruang masyarakat pedalaman. Jika dahulu para petani mengisi canda tawa mereka dengan nostalgia cinta ala gadis desa. Kini telah mengalami salto ke arah bincang-bincang politik.

Semua itu telah usai dengan hasil sidang pleno rekapitulasi perolehan suara di tingkat KPU. Bagi mereka yang memenangkan pertarungan super keras ini, pertanyaan reflektif layak didesakkan; benarkah mereka mendulang suara dengan kemenangan terhormat? Ataukah mereka sedang menjadi penerima lencana kebejatan moral dari sudut pandang etika politik?

Pertanyaan ini berkepentingan mengulang kembali masa-masa kampanye yang marak dengan seruan pemilu bersih jujur dan adil. Adakah semua itu benar-benar mampu menetaskan wakil rakyat yang benar-benar bersih sebagai langkah meraih predikat pemenang terhormat?

Dengan meminjam istilah para pemikir filsafat analitik, tak menutup kemungkinan pemilu 2014 telah membuat sisi moralitas tenggelam sedalam mungkin, lalu yang muncul kepermukaan hanyalah pertemuan gagasan bersama (meeting of mind) untuk saling sepakat menegakkan kecurangan.

Oleh Levi Strauss, pemikir Filsafat Strukturalisme telah memetakan dua aspek dalam memandang sikap kebudayaan kita. Katanya, ada struktur luar, yakni tampilan yang terlihat empirikal, terjamah oleh indera banyak pihak.

Sementara struktur dalam adalah fakta yang sesungguhnya atas persepsi serta sikap terhadap realitas itu sendiri.

Dengan merefleksikan alur seluruh tahapan pemilu yang telah terlewati itu, boleh jadi pesan pemilu bersih sedang disepakati bersama untuk diletakkan pada struktur luar. Bahwa apa yang dihembuskan ke permukaan tak lebih dari sekadar ihwal yang tak diseriusi alias main-main belaka.

Sementara di sturuktur dalam, fakta kecurangan itu dilakukan tanpa mengenal area kesadaran subtantif. Entah akan diakui ataupun tidak, struktur dalam ini kerap diterima sebagai trend politik yang tak terbantahkan. Mengikutinya jelas membuka peluang jadi pemenang. Sedang bila diabaikan, jelas hanya akan menimbulkan sikap menggerutu serta sesal tak berujung.

Serupa dengan gagasan Strauss, Erving Goffman menjelaskan konsep dramaturgi dengan melakonkan sikap mendua. Antara panggung depan dan panggung belakang.

Di panggung depan, lakon kesalehan dipertontonkan sedemikian rupa. Julukan terhadap aktornya pun kerap sulit digugurkan oleh hembusan keraguan para penonton. Sebab di panggung depan itu, nyaris tak ada celah untuk menyebutnya sebagai pemain curang.

Maka panggung belakanglah yang akan menjernihkan kebenaran itu. Di saat itulah wajah politik ditemukan dalam wujudnya yang cukup mengerikan. Dengan terbukanya tabir panggung belakang, sentimen positif terhadap aktor-aktor alim akan menyadarkan banyak pemirsa.

Demikian runyamnya realitas panggung belakang itu, sikap menang terhormat akan mudah ditemukan mata rantainya yang terputus di sana-sini. Bahwa pesan-pesan pemilu bersih sungguh sangat jauh dari praktik politik kita untuk sementara waktu.

Atau jika hendak bertutur dalam ucapan yang bergetar: Katakanlah, pemilu ini belum sepenuhnya mampu melahirkan pemenang yang terhormat. Sekalipun itu menjadi maklumat yang belum terhapus dalam memori rakyat.

Politik memang penuh intrik, strategi dan taktik. Tapi bukan berarti politik harus mencemari watak dasar kita sebagai makhluk yang mendambakan ketulusan. Sekali lagi, masih adakah pemenang terhormat di pemilu 2014 ini?

(Telah Diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa