Catatan di Balik Penolakan Proyek Pembangunan Embung Baruga Majene (2)
Bagi warga Baruga, pendidikan bukan hanya berurusan dengan hajat hidup duniawi. Tapi juga sebagai terjemahan penting lagi faktawi atas masa depan ukhrawi. Wajar jika Kampung ini identik terhadap dua aspek sekaligus. Yaitu Penguatan Pendidikan dan Pembinaan Keagamaan.
Dua hal ini tampaknya menjadi alur paling mudah untuk mengurai tentang bagaimana sesungguhnya memahami cara pandang warga di sana. Di tempat ini, juga menjadi embrio munculnya sejumlah Muballigh/ Da’i yang piawai mendakwahkan pesan-pesan agama. Jika dilihat alurnya, pendidikan di Baruga dibangun di atas basis kepesantrenan. Sehingga, corak Islam santri_ meminjam istilah Azyumardi Azra_ sedemikian kental dirasakan. Buktinya di kampung ini telah terbangun Pondok Pesantren sejak puluhan tahun silam.
Jaringan keulamannya berangkat dari dua muara. Pertama, dari jaringan Sengkang, Pare-Pare dan Mangkso yang dimotori oleh KH. Muhammad As’ad, KH. Abduh Pabbajah, KH. Daud Ismail (Qadhi Soppeng) dan KH. Abdurrahman Ambo Dalle. Tokoh yang dilahirkan di antaranya, KH. Abdul Hafidz, KH. Nuhun, Kiai Abd. Rahim, Ahmad Shaleh dll. Kedua, dari jaringan Padang Panjang Sumatera Barat. Di antara Kader bentukannya adalah KH. Abdul Hafidz Imran dan KH. Abdul Jalil Musa.
Pertanyaannya? Adakah identitas keagamaan yang lebih mudah dipahami? Atau apakah warga Baruga punya jenis Tariqat tertentu? Setidaknya ada dua jawaban yang diperoleh. Pertama, menurut KH. Ahmad Ma’ruf jalur Tariqat yang digunakan berpijak pada aliran Syadziliyah dan Naqsyabandiyah. Namun menurut KH. Abdul Hafidz, sepanjang sejarah keberagamaan di Baruga, lebih banyak menggunakan metode eklektik. Mengambil sejumlah pijakan esoteris kemudian tersimpul dalam kerangka keagamaan yang tak ternamai (Duunal Musamma).
Dalam catatan Sudirman (2012), Sejak tahun 1937, beberapa orang santri telah menyelesaikan studinya di Madrasah al Arabiyah al Islamiyah (MAI) Sengkang Kabupaten Wajo yang dipimpin oleh KH. Muhammad As’ad. Mereka di antaranya Abdul Waris, KH. Ma’ruf, Kiai Abdul Rahim, KH. Nuhun dan sebagainya.
Dengan melihat keadaan masyarakat di Baruga pada waktu itu mulai tampak adanya gejala kemerosotan Akhlaq generasi muda, sehingga salah seorang tokoh masyarakat, Fatani Tayyeb (Pendiri Usaha Fatani Taylor) berinisiatif mengusulkan pendirian sekolah agama di Baruga dengan menyampaikan ide tersebut kepada para alumni MAI Sengkang dan MAI Mangkoso.
Dalam pertemuan yang dihadiri Abdul Waris, KH. Ma’ruf, Kiai Abdul Rahim, Hasan (Pua’ Raehang), Abdul Waris dan Jalaluddin (Jalunding), tercapailah mufakat untuk mengadakan musyawarah rencana pendirian MAI di Baruga yang akan dirangkaikan dengan acara peringatan Isra Mi’raj.
Setelah peringatan Isra’ Mi’raj pada tahun 1946 M., acara pun kemudian dilanjutkan dengan musyawarah rencana pendirian MAI di Baruga. Dalam pertemuan itu, ternyata sebagian peserta musyawarah meragukan kemampuan yang ada. Bahkan menganggap rencana itu hanya angan-angan belaka.
Mereka yang kurang yakin berargumen dengan merujuk pada pengalaman sebelumnya, di mana Pokkali Majene juga pernah mendirikan sekolah agama yang memiliki tenaga pengajar dari ulama-ulama yang datang dari Mesir, Sumatra dan ulama-ulama Majene sendiri. Sekolah tersebut hanya mampu bertahan dalam waktu singkat, 3 tahun saja.
Karena pernyataan-pernyataan yang bernada pesimis tersebut, sehingga semangat yang menggebu-gebu untuk mendirikan MAI memudar. Akhirnya musyawarah tersebut berakhir tanpa hasil apa-apa.
Komentar