Langsung ke konten utama

Membincang Pemilukada, Apakah Terlalu Dini?

Bukan mustahil jika usai perhelatan pemilukada Polewali Mandar 8 Oktober lalu, perbincangan politik bakal dianggap telah usai. Terlebih ketika harian Rakyat Sulbar kembali mengangkat ke permukaan soal pusaran politik pemilukada Mamuju. Pun boleh jadi disebut sebagai objek pemberitaan yang terlampau dipaksakan kehadirannya.

Namun jangan mudah menyimpulkannya. Ada banyak sisi yang hari ini perlu dicermati. Agar kita tak sesat pikir dalam menyimak seluruh penjuru opsi dari politik itu sendiri. Adalah hal yang agak perlu didudukkan dengan cermat, mengapa politik teramat penting untuk dibicarakan secepatnya.

Pertama, tafsir politik tak melulu terkait dengan kontestasi figuritas. Alias politik bukan hanya untuk pilkada saja. Juga bukan sekedar pemanasan mendulang kemenangan pemilu 2014 mendatang. Jika hanya sampai di sini ukurannya, wajar jika masa depan politik hanya melahirkan karakter kepemimpinan karnaval. Kepemimpinan yang hanya diramaikan oleh tim kekuatan hura-hura dan kekuatan huru-hara.

Kedua, perbicangan politik menjadi urgen ketika hari ini wajah lembaga politik (secara de facto bukan yuridis) telah tercemari oleh respon publik yang makin skeptis. Dari sini kita dapat bertanya; masihkah partisipasi pemilih benar-benar muncul dari dorongan nurani pemilih? Ataukah justeru dikarenakan sokongan politik uang dari para kontestan?

Dua pertanyaan ini patut kiranya dipertimbangkan oleh para politisi maupun penyelenggara pemilu di saat makin suburnya ulah transakasi politik.

Ketiga, kita mendambakan wajah perpolitikan ini masuk dalam ruang kesadaran bersama, bahwa dewasa ini ada ruang paradoksal yang menghambat munculnya mental politisi yang bermartabat. Ruang paradoksal itu adalah pertarungan antara keinginan memunculkan figur politisi yang bekualitas di tengah praktik yang mengagungkan pertimbangan kuantitas.

Ketiga point di atas mestinya dikaji lebih mendalam. Sebelum publik kembali mengutuk lembaga-lembaga Negara yang dianggap makin bobrok. Mengapa? Karena sumbu utama persoalan ini ada pada partai politik yang terbilang masih minim memberikan pendidikan politik secara lebih luas. Atau jangan-jangan partai politik sendiri masih terbatas memberi tafsir atas pendidikan politik itu?

Pendidikan politik pada dasarnya tak punya ruang batasan yang terikat. Artinya, kita tak mesti menanti momentum politik untuk menegakkan cita-cita ideal bangsa yang mengagungkan makna sebuah harga diri.

Tugas utama sebuah partai politik adalah menyiapkan stok kepemimpinan yang berkapasitas. Di dalamnya mensyaratkan adanya kecerdasan intelektual kemudian berpadu padan dengan kesanggupan mencetuskan
solusi bagi kemaslahatan bangsa.

Di sinilah kita mendambakan lahirnya inovasi parpol dengan durasi yang yang cukup panjang. Parpol seharusnya melakukan kerja-kerja nyata, khususnya dalam melakukan proses kaderisasi yang baik, terukur dan terarah.

Sebaliknya, selamanya takkan pernah hadir sosok pemimpin yang berkualitas jika masih saja menunda usaha perbincangan politik secepat mungkin. Padahal dalam inovasi itulah tempat paling pas untuk mengukur seberapa jauh tanggung jawab para elit untuk bertemu di panggung gagasan, membiasakan benturan pendapat. Serta bukan tidak mungkin, saling mempertautkan kepentingan satu sama lain.

Tugas demikian itu agaknya masih jarang ditemukan, khsusnya di Sulawesi Barat. Wajarlah jika manajemen stress alias serangan fajar jauh lebih dipersiapkan tinimbang membangun budaya politik yang santun.

Untuk menyemaikan gagasan ini, parpol makin diwajibkan untuk bermain secara terbuka, menebarkan visi politiknya. Jika terpatahkan di kemudian hari, itu artinya harus berkenan mengakui diri bahwa masih ada pihak lain yang lebih berkapasitas. Bukan dengan cara menikam dari belakang. Lalu bergembira dalam kemenangan yang dipaksakan.

Maka dari itu, tak ada lagi alasan bagi partai politik untuk menutup diri, apalagi harus malu-malu kucing dengan bersembunyi di balik alasan politik terlalu dini.

(Telah diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa