Setiap kali menunggu waktu berbuka puasa, setiap saat pula akan diperdengarkan suara adzan. Terdengarnya suara adzan itu menandakan saat berbuka serta masuknya waktu maghrib. Ajaibnya, tak banyak yang mengetahui siapakah yang empunya suara merdu itu? Manusia hanya larut dalam kenikmatan kuliner khas buka puasa.
Dialah Ust. Mahmuddin, seorang pria asal Sulawesi Barat yang berhasil menembus audisi muazzin Ramadhan di Radio Republik Indonesia (RRI) tahun 1994 silam. Sebelumnya, Ust. Mahmuddin bersama Ust. Ahmad Syam dan Ust. Madinun, ketiganya putera mandar pernah bergabung pada sebuah lembaga dakwah al-Ishlah. Sebuah organisasi perkumpulan da’i di Makassar Sulawesi Selatan. Di lembaga ini, setiap saat mampu melayani permintaan distribusi muballigh hingga menembus angka 400-an Masjid setiap Jumat. Termasuk pada malam-malam Ramadhan setiap tahunnya.
Lembaga yang dipimpin oleh KH. Abdullah Badru ini sesungguhnya juga didirikan oleh sejumlah warga Mandar yang telah hidup lama di Kampung Lette, Jalan Rajawali Makassar. Di antara pendirinya adalah: Ust. Abd. Hamid Atjo, Ust. Abdul Malik, dan Ust. Zainul Manaf. Belakangan makin banyak anak-anak muda Mandar yang bergabung sebagai Muballigh di Al-Ishlah ini. Termasuk di dalamnya Ust. Mahmuddin, sang PNS di Kementrian Agama Kabupaten Majene ini.
Semasa kuliah di IAIN Alauddin Makassar, Mahmuddin tinggal di rumah keluarganya di Jalan Nuri, belakang Masjid Jami Mariso. Hanya beberapa meter dari sekretariat al-Ishlah. Wajar saja jika dirinya pernah ditunjuk sebagai Imam Rawatib di masjid yang pernah diketuai oleh tokoh organisasi Darud Da’wah wal Irsyad (DDI), KH. Busyaeri Juddah. Di samping itu, dirinya juga aktif dalam berbagai kegiatan pendidikan al-Quran bagi anak-anak di sekitar kawasan padat penduduk itu.
Pria kelahiran Majene, 3 Juli 1972 itu mengenang kisah masa lalunya sambil berucap: ”Waktu itu pas selesai mengikuti masa Kuliah Kerja Nyata (KKN). Jadi waktu saya ke RRI, proses seleksinya biasa-biasa saja. Tidak ada yang terasa istimewa. Karena saya juga ke sana pada dasarnya hanya ikut meramaikan saja”.
Tak henti-hentinya ia menyebut dua rekannya, Ahmad Syam dan Madinun sebagai saksi kunci atas pengalaman yang nyaris luput dari benak pubik itu. Ia mengisahkan, waktu itu, seluruh peserta diwajibkan mengumandangkan azan sebanyak lima kali dengan berbagai versi lagu.
“Tapi saya ini kan tidak punya dasar memadai soal lagu. Jadi saya hanya azan sesuai selera lagu saya saja. Makanya saya heran juga,” papar Mamuddin yang kini diserahi amanah sebagai Imam Rawatib Masjid Agung Raudhatul Abidin Saleppa Majene, di kediamannya beberapa waktu lalu.
Proses seleksi suara terbaik itu kemudian diserahkan ke seluruh kru RRI. Mereka diperdengarkan satu per satu. “Dan itu mengherankan bagi saya. Kok orang RRI memilih azan saya yang lagunya tidak jelas. Bahkan sampai sekarang kalau saya yang dengar suara azan di RRI itu, saya menilainya tidak bagus,” tuturnya sembari mengenang kejadian yang tak pernah diimpikannya itu.
Bahkan sekiranya akan diminta untuk meniru suara azan itu, ia memastikan bakal tak mampu lagi. “Karena waktu itu saya azan begitu saja. Cuma satu kali dan menurut saya itu asal bunyi. Itulah azan kelima saya,” kenangnya.
Setelah sekian tahun lamanya cerita ini hanya terdengar dari beberapa orang saja, kini Mahmuddin melontarkan harapannya yang belum tertunaikan. Soal royalti, rupanya tak pernah dibicarakan apalagi sampai masuk dalam proses teken kontrak. Suaranya terbang ke angkasa secara gratis. Bahkan telah menggemakan tanda waktu berbuka hingga ke berbagai pelosok dalam bentang waktu yang tak singkat lagi.
“Saya tak ingin mempersoalkan royalti. Tapi saya berharap pihak RRI berkenan memberikan saya sertifikat sebagai tanda bukti. Itu saja,” harapnya.
“Saya tak ingin mempersoalkan royalti. Tapi saya berharap pihak RRI berkenan memberikan saya sertifikat sebagai tanda bukti. Itu saja,” harapnya.
Komentar