Langsung ke konten utama

Agama, Tembok Cinta Ibrahim as dan Siti Hajar

Nabi Ibrahim AS dikenal sebagai bapak Monoteisme. Sebutan itu tak ada kelirunya. Sosok yang satu ini memang dikenal dalam sejarah sebagai pria tangguh dengan keyakinan yang tak ditawar-tawar. Sungguh
kegigihannya membangun peradaban Tauhid di tanah Arab waktu itu tak tertandingi oleh makhluk manapun.

Noktah sejarah membuktikan, demi tegaknya agama Allah, Ibrahim rela dibakar hidup-hidup saat kerajaan Namrudz sedemikian berkuasa. Pun ia rela meninggalkan pujaan hati, istrinya, demi menjawab panggilan
Allah.

Suatu ketika, Ibrahim membawa Hajar dan Ismail, putranya menuju Kota Makkah. Ketika itu, kota Makkah bak Kota mati. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Sebaliknya, yang ada hanyalah tanda-tanda kematian. Waktu itu Nabi Ibrahim membawa Hajar dan Ismail dari palestina di bawa ke Makkah, keduanya tak diberi tahu bahwa mereka akan ditinggalkan di sana. Ibrahim hanya diperintahkan membawa istri dan anaknya ke lembah Makkah tanpa disertai perbekalan yang memadai.

Apa yang terjadi disana? Hanya Allah Yang Maha Tahu. Nabi Ibrahim hanya menjalankan perintah-Nya saja. Sehingga ketika itu Nabi Ibrahim memberikan kepada anak dan istrinya air beserta kurma sekedarnya saja. Setelah itu, ia langsung menunggangi kendaraannya, bertolak menuju Palestina.

Hajar pun bertanya,”Kenapa kau akan tinggalkan kami di sini?” Nabi Ibrahim diam saja, diulang pertanyaan tersebut sampai tiga kali. Ibrahim tetap berdiam saja. Hajar kemudian bertanya: “Allahu amaruka bi hadza (apakah Allah yang perintahkan ini kepadamu)?” Maka Ibrahim memandang ke langit dan mengucapkan “Allah” dengan perlahan. Hajar sontak menghibur suaminya.

“Allah tidak akan menyia-nyiakan kami. Berangkatlah, jangan pikirkan kami. Allah akan menjaga dan tidak akan menyia-nyiakan kami, berangkatlah wahai Ibrahim,” hiburnya kepada Ibrahim.

Setelah itu, barulah Ibrahim mantap meninggalkan istri dan anaknya. Saat tiba di suatu daerah bernama Hudai, Ibrahim kembali menengok ke belakang. Tak ada lagi yang terlihat dari jejak kehidupan Isteri dan
anaknya.  Di sanalah Ibrahim memanjatkan doa dengan linangan air mata.

”Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah tempatkan sebagian dari keturunanku di lembah yang tak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau yang suci. Ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan sholat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia condong kepada mereka, dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur (Q.S Ibrahim : 37).

Usai berdoa, Ibrahim kembali meneruskan perjalanan ke Palestina. Sekian tahun lamanya Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail. Hingga suatu ketika ia mendapat petunjuk dari Allah agar menemui mereka. Kali ini Ibrahim kembali diuji Allah. Boleh mendekat tapi tak boleh turun dari kendaraan. Meski begitu, Hajar tampak sangat bahagia melihat suaminya setelah berpisah selama delapan tahun. Begitu dahsyatnya pertemuan kerinduan itu. Hajar lalu mempersilakan suaminya turun dari kendaraannya dan masuk ke rumah. “Kita sudah punya rumah sekarang. Kita ada telaga zam-zam, ada daging, ada roti, silahkan masuk ke rumah.” Ajak hajar.

Tapi Ibrahim hanya diam saja. “Apakah ini perintah Allah wahai Ibrahim?” tanya Hajar. Lalu dijawablah Ibrahim: “Ya, ini perintah Allah. Aku diperintahkan menengokmu tapi tak boleh turun dari kendaraan,”

Sekali lagi, Ibrahim dan Hajar menampakkan kesejatiannya di hadapan Allah. Keduanya melenyapkan hasrat saling bercinta demi mengharap ridha Ilahi. Perintah dan petunjuk Allah, lebur dalam satu keyakinan.
Agama, telah menjadi Tembok Cinta antara Ibrahim as dan Siti Hajar.

“Wahai Ibrahim, kalau aku membasuh mukamu, membasuh kakimu, membasuh tanganmu, membersihkan tubuhmu dari debu-debu gunakan air zam-zam ini dilarang atau tidak?” tanya Hajar.

Ibrahim pun menjawab bahwa itu tak dilarang. Diambillah air zam-zam lalu bersihkan tubuh Nabi Ibrahim yang ada di atas tunggangannya. Ketika itu Ibrahim tak dapat lagi membendung air matanya. Ia meminta
kepada istrinya untuk membasuhkan air zam-zam dimukanya, agar istrinya tak tahu bahwa air mata sedang membasahi wajahnya. Ibrahim takut menampakkan tangisannya, khawatir bakal melemahkan keimanan Isterinya. Usai dibasuh, Ibrahim kembali menyambut perintah Allah.

Kini, tibalah saatnya untuk bertanya: Sudahkah kita mendahulukan perintah Allah di atas segala ego? Ataukah masih terus mendekam dalam syahwat duniawi yang tak terkira? (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui