Langsung ke konten utama

Jangan Biarkan Ibu Hidup dan Mati dalam Kesendirian

Catatan dari Workshop Yasmib-Prakarsa-Brot

Agenda pemenuhan hak warga sesungguhnya belumlah berjalan sesuai harapan. Terdapat berbagai sisi yang saling rumpang, baik kualitas maupun kuantitasnya. Pengambilan kebijakanpun masih terasa sangat dipengaruhi oleh ego sektoral. Terlebih jika dipertatutkan dengan pendistribusian anggaran dengan jumlah besar ke daerah. Pun ketika sampai di level Provinsi, ada gesekan atas keinginan mendominasi kewenangan dengan Kabupaten.

Rantai birokrasi yang terlampau pelik ini tampaknya makin tak disadari bahwa ada banyak sektor yang telah dikorbankan. Kebijakan Kesehatan dalam hal layanan terhadap Ibu dan Anak misalnya, jika dirunut dalam
deret tahun ke tahun, ternyata Indonesia sedang bergerak mundur.

Berdasarkan data Bappenas, perkembangan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami trend naik-turun. Di tahun 1991 misalnya, jumlah AKI mencapai 390 jiwa. Ketika memasuki tahun 1997, Indonesia mampu menekan hingga mencapai angka 334 jiwa.

Kemudian, pada tahun 2003, mampu ditekan hingga menembus angka 307 jiwa. Menyusul tahun 2007, terus mengalami penurunan sampai 228 jiwa saja. Namun keadaan menggembirakan itu tak berlangsung lama. Sebab pada tahun 2012 lalu, AKI kembali meniti ke angka yang sangat memiriskan dengan bertumpu pada angka 359.

Di samping jalur birokrasi yang sedemikian kusut, sektor anggaran juga tak sederas tahun-tahun sebelumnya. Bayangkan, alokasi anggaran untuk pembinaan pelayanan kesehatan ibu dan anak hanya memeroleh porsi
sebesar 0,27 persen atau Rp124 miliar.

Peneliti Kebijakan Ekonomi dan Publik PRAKARSA, Wiko Saputra menuturkan, kondisi ini memberikan gambaran betapa keseriusan untuk  menangani masalah AKI secara Nasional belumlah sepenuhnya menggembirakan. “Program AKI maupun AKB sebenarnya makin mundur hingga 15 tahun ke belakang,” kata Wiko saat menjadi narasumber pada Workshop yang digelar oleh Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib) Sulselbar bekerjasama dengan Prakarsa, belum lama ini.

Hal itu pun diakui oleh Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Prof. Dr. dr. Ridwan Amiruddin turut mengamini hal itu. Menurutnya, Indonesia termasuk dalam kategori negara yang paling buruk tingkat kepedulian terhadap kualitas kesehatan dan lingkungan.

“Ada banyak variabel yang mendukung keadaan itu. Di antaranya soal ketersediaan sumber daya kesehatan di daerah. Biasanya di daerah, pelayanan kesehatan itu mengikuti hari pasar. Kalau lagi pasar, Puskesmasnya terbuka. Kalau bukan hari pasar, puskesmasnya juga ikut tertutup. Ada juga tenaga bidan yang dinyatakan punya kualifikasi pendidikan kebidanan tapi tak punya Bidan Kita. Contoh-contoh seperti yang membuat sistem pelayanan kesehatan di daerah belum tertangani dengan baik,” jelasnya.

Dimensi kultural pun tak kalah menariknya. Kata Ridwan, secara kultural, posisi kaum Ibu selalu ditempatkan sebagai pelengkap semata. Sementara di sisi lain, beban kerja kaum perempuan makin berat, utamanya ketika menyandang predikat sebagai Ibu rumah tangga.

“Ibu itu kadang dibiarkan kerja sendiri. Apa saja harus dikerjakan sendiri. Kalau hamil, ke dokter juga sendiri. Jadi jangan heran kalau AKI meningkat seiring dengan dengan kepergian Ibu ke alam kubur juga dalam kesendiriannya,” ujar putra Soppeng ini.

Padahal, masa depan produktivitas generasi itu mestinya diawali dengan tingkat perhatian utuh terhadap Ibu yang bakal melahiran generasi masa depan. Dengan kompleksitas permasalahan ini, pada dasarnya telah dapat menjadi referensi bagi pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan
kesehatan.

Sudah saatnya prosentase keberhasilan dikesampingkan sembari merujuk pada angka faktual. ”Supaya tak ada satu nyawa pun yang melayang di tengah kebanggan terhadap prosesntase keberhasilan, maka kebijakan yang paling penting dilakukan adalah dengan melihat angka detailnya, serta titik-titik urgen pelayanan kesehatan bagi Ibu. Saya sepakat dengan gagasan ini,” tegas Piterson, kepala Bidang Sosial dan Budaya Bappeda Sulbar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui