Langsung ke konten utama

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin, penghulu kaum perempuan semesta alam.
Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri).
Pernyataan singkat di atas kemudian diabadikan oleh Sang Penasehat Spiritual Gerakan Hamas Palestina, Sayyid Hussein Fadhlullah (W.2010), sebagai doktrin Ideologi yang ditanamkan Fathimah kepada anak-anak yang kelak akan menjadi generasi masa depan.
Sekali lagi, inilah ideology Fathimah. Sebuah doktrin yang sangat mengharukan. Di dalamnya tersimpan pesan filosofis tentang makna keislaman hakiki dari seorang perempuan yang telah dijaminkan surga oleh ayahnya sendiri, Muhammad SAW.
Dalam berbagai riwayat, Fathimah az-Zahra disebut sebagai perempuan yang paling dekat dengan Rasulullah. Dia pulalah yang mendapatkan sejumlah pesan kebijakan dari Rasulullah. Dialah perempuan yang dinikahkan dengan mahar al-Qur’an yang dihafalkan oleh Ali bin Abi Thalib. Yang kehormatannya setara dengan kehormatan Rasulullah. Bukankah beliau SAW pernah bersabda: “Barangsiapa yang menyakiti Fathimah, berarti dia telah menyakiti aku?”.
Dalam riwayat dikisahkan oleh Ibrahim Amini, bahwa sejak dalam kandungan ibunya, Khadijah al-Kubra, Fathimah telah menampakkan sejumlah ketakjuban yang datang silih berganti. Hingga saat ia dilahirkan, dari rahim Khadijah al-Kubra, tersembul cahaya, mendahului lahirnya Fathimah. Sebuah firasat khusus bahwa Fathimah az-Zahra, tak berselimutkan air ketuban, namun dengan cahaya yang terang-benderang.
Sungguh agung pribadi Fathimah. Dialah perempuan yang membersihkan darah ayahnya saat mendapat lemparan kotoran dari para penentangnya, Abu Jahal dan kelompok tiran lainnya. Di pundak dan pelukannya, Ali bin Abi Thalib kerap merebahkan keletihannya dan kesedihannya, setiap ia menghadapi tantangan dari jabatan yang diembannya sebagai Amir al-Mukminin.
Tafsir kontemporer
Apa yang hendak kita raih dari pesan singkat di atas? Atau apa pentingnya untuk masa kekinian? Bukankah untuk sekedar menyerukan pesan di atas, untuk konteks kekinian, bagai halilintar yang menggelegar kemana-mana, atau laksana pedang menyayat jantung? Bukankah pesan di atas telah terlampau jauh untuk ditarik ke masa kini?
Memang benar, suara Fathimah telah lenyap seiring dengan tarikan nafas terakhirnya sebagai tanda ketiadaannya di muka bumi. Namun bukan berarti, ideologi yang dipahatkan pada batang sejarah, akan lenyap begitu saja. Pesan singkatnya bagai darah yang takkan beku sepanjang zaman. Karena ternyata, pesan itu cukup luas dan menembus ke seluruh relung hidup kita.
Kini, seiring dengan makin redupnya “suara” Fathimah, makin subur pula kebiadaban. Makna ke-kita-an, meminjam istilah F. Budi Hardiman, makin menyempit tergantikan oleh makna ke-aku-an. Yang terbangun adalah paradigma kekalahan. Bila yang lain sedang menjabat, kita mengasosiasikan diri sebagai kelompok yang kalah.
Saat bertanding di medan laga untuk merebut kekuasaan, kita menjadi budak kekalahan. Kita takut kalah, atau lebih tepatnya kita takut disebut kalah. Karena ketakutan-ketakutan itulah, akhirnya kita menciptakan arena rimba, arena perebutan, tanpa sopan santun. Di sana diperagakan akrobat saling menipu, di sana digaungkan ikrar sumpah setia atas nama rakyat. Dan di sana pula kita temukan budak-budak keserakahan. Para elit berdiri di panggung politik dengan seribu satu macam senyum yang terpoles, sekedar menutupi kebejatannya. Sebaliknya, rakyat yang bodoh saling mengajak untuk ikut-ikutan bersorak-sorai, pertanda hadirnya kenikmatan yang makin lama makin menyakitkan.
Bagi yang menang, mereka melibas kompetitornya, berikut kroni-kroninya. Bagi yang kalah, mereka luapkan amarah, teror, dan keberingasan. Padahal keduanya, sama-sama berada pada garis yang tak terhormat. Jika menang, bukan dengan terhormat, dan bila kalah juga bukan dengan terhormat.
Benarlah apa yang menjadi petuah Nabi SAW, bahwa Islam itu asing, dan akan datang kembali dalam keadaan asing. Demikianlah hidup yang kita alami dewasa ini. Membicarakan moral terasa amat mahal harganya. Kalaupun dibicarakan, makin terasa rumit untuk mengurai siapa yang paling pantas untuk menyuarakannya. Karena, ternyata di ruang-ruang agama-pun, kini, telah hadir tradisi “rental agama dan ayat-ayat tuhan” demi kepentingan semu. Tak ada lagi patronase yang tepat untuk dijadikan panutan. Moralitas kini makin lama makin tak menarik untuk dibincangkan. Toh, kita semua telah sama berada dalam kubangan lumpur yang menjijikkan, yang saling menjebak, menyuapi sekaligus meracuni.
Benar-benar Islam itu telah menjauh dari ruang kesadaran kita. Islam yang dipermaklumkan saat ini sudah sebatas informasi saja. Karena tak ada lagi getaran batin saat firman-firman Tuhan dikumandangkan, apalagi saat ancaman Tuhan diserukan.
Bagi anda yang sedang mencoba menjauh dari pahaman yang telah lazim ini, anda akan tampak asing, sebagaimana asingnya ajaran yang anda anut. Saat bersamaan, anda bagaikan menggenggam bara api, yang semakin hari semakin menyakiti kulit dan tulang anda.
Jangan kaget, sejumlah perbandingan dari kekotoran dunia akan disodorkan ke hadapan anda. Kotoran-kotoran yang telah lama bersimbah dengan rekan-rekan terdekat anda akan membelalakkan kedua mata anda, bahwa: Orang-orang dekatmupun sudah lebih awal mencemplungkan diri, bahkan telah menjadi terang masa depannya, lalu mengapa kamu masih juga ragu untuk tidak ikut larut di dalamnya?
Sekali lagi, al-Jar Qabla al-Dar. Pesan ini, bukan sekedar sajian agar kita peduli terhadap sesama, tapi juga peringatan bagi siapa saja yang mencoba untuk bermain-main dengan persoalan keadilan. Karena keadilan menyimpan dua sayap, yakni hak dan kewajiban. Sekali anda merobek nilai keadilan, maka sepanjang zaman akan muncul kemurkaan. Anda tak lebih dari seekor kuda yang saat berlari, ia menghentakkan kakinya, lalu menyisakan debu yang kotor bagi siapa saja yang ada di belakangnya.
Senada dengan itu, sekali anda mencoba melukai pesan Fathimah, terluka pulalah hati Muhammad SAW. Demikianlah rantai kemurkaan kita buat sepanjang hayat. Maka halangan apalagi bagi Tuhan untuk tidak menurunkan azabNya? Toh, kita sendiri yang mengundang murka itu datang lebih cepat.
Bukan sok Suci
Setelah menyimak sederet kata-kata yang “tak mengenakkan” di atas, janganlah “melantik” saya sebagai pewaris kebaikan yang maha sempurna. Diri inipun tak lebih dari sebatas serpihan kotoran yang sedang berandai-andai untuk menjadi mutiara dari limbah, seraya mendengungkannya bagi yang lain, agar menolong saya untuk menjadi permata yang utuh. Karena diri inipun belum rela digelari sebagai penyandang predikat kesucian.
Wahai Ibunda Fathimah, setelah engkau doakan saudaraku satu-persatu, ikutkan namaku di akhir senandung doamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui