Langsung ke konten utama

Masihkah Fatwa MUI Didengarkan?

Mejelis Ulama Indonesia (MUI) tengah menjadi perbicangan publik dewasa ini. Ia bagai artis yang sedang sibuk jumpa pers di berbagai media massa, sesaat setelah launching albumnya. Dan MUI memang baru saja selesai melakukan launching atas fatwa yang menghentak kesadaran publik di negeri ini. Setidaknya, ketika dikaitkan dengan dua persoalan kepastian hukum (agama), yakni status Kopi Luwak dan Kontroversi Tayangan Infotainment.
Kopi luwak menjadi sorotan publik karena dua hal:
Pertama, dunia saat ini sedang meliriknya sebagai potensi besar untuk dijadikan sebagai lahan bisnis kelas kakap. Dapat dibayangkan, ketika usaha kopi luwak menembus pasar internasional, tentu akan meraup omzet yang tak sedikit. Ditambah lagi karena telah menjadi bagian dari perbincangan para pemimpin dunia, tak terkecuali Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono.
Kedua, kehadirannya menyulut kontroversi, karena ternyata kopi luwak yang sebelumnya merupakan kotoran hewan, ternyata telah memiliki lisensi yuridis-teologis (halal), setelah MUI memberi fatwa bahwa Kopi Luwak tersebut. Jelasnya, Halal untuk dikonsumsi, setelah dicuci hingga bersih.
Persoalan lain yang turut menjadi agenda penting bagi MUI adalah fatwa tentang pelarangan siaran yang sarat dengan pembongkaran aib personal seseorang, baik artis, pejabat, maupun sejumlah publik figur lainnya. Meski tak menyorot secara langsung kepada produk tayangan berjenis infotainment, bukan berarti fatwa tersebut tak membuat para pengusaha infotainment kebakaran jenggot. Tanpa proses analitik yang lebih panjang, mereka telah mafhum bahwa fatwa tersebut sedang membidik usaha yang telah membuat finasial mereka makmur.
Namun, pada dua kasus yang difatwakan di atas, terdapat sisi perbedaan yang cukup mengundang tanya di mata publik. Sisi perbedaan tersebut yakni pada sandaran dan argumentasi rasional yang dikemukakan. Tayangan infotainment dinyatakan haram dengan memiliki sejumlah sandaran dan argumentasi yang banyak, sedangkan kopi luwak diputuskan dengan menyisakan segudang tanda tanya, khususnya di kalangan medis.
Tayangan infotainment dianggap haram karena telah mencampuri urusan privasi orang tertentu dan dijadikan sebagai sajian siarannya. Lihatlah misalnya kasus-kasus perceraian dan gugatan harta gono-gini para selebritis, semua diungkap di berbagai stasiun televisi, dengan durasi yang nyaris tak terhenti. Pada tayangan infotainment, setiap artis kerap ditayangkan boroknya. Lebih lanjut, tak jarang menjadi bagian dari headline berita.
Belum lagi dengan tayangan yang menggiring pemberitaan tertentu lalu pada akhirnya menjadi sumber perpecahan rumah tangga para artis. Sebutlah (sebagai misal) kasus asusila yang telah diakui oleh Cut Tari lewat keterangan jumpa pers-nya beberapa waktu lalu. Di saat Cut Tari telah mengakui kekhilafannya, para pekerja infotainment justeru menggiring wacana baru tentang masa depan rumah tangganya, apakah suaminya akan menceraikan dirinya atau tidak. Padahal tak ada sama sekali unsur faktawi yang dapat dijadikan sebagai alasan penguat atas usaha para pekerja infotainmet yang teramat semangat “mengadu domba” rumah tangga Cut Tari.
Bahkan tidak sedikit dari kalangan artis yang urung menyudahi masa lajangnya disebabkan ulah pekerja infotainment yang “menelanjanginya” sebagai orang yang tak memiliki harga diri apa-apa.
Di saat yang sama, para pekerja infotainment dihadapkan pada perdebatan yang cukup alot antara KPI, Dewan Pers dan para wakil rakyat di DPR. Perdebatannya seputar justifikasi apakah tayangan infotainment layak disebut sebagai karya jurnalisktik atau tidak, dan apakah faktual atau non faktual?
Agaknya MUI tidak ingin ikut andil di dalam perdebatan alot tersebut. Dan memang demikian semestinya langkah yang ditempuh oleh MUI. Karena MUI memiliki patronase tersendiri yang tak boleh dicampuri oleh kepentingan, atas nama toleransi belas kasihan ataupun balas budi. Tegasnya MUI memberi fatwa haram terhadap segala bentuk siaran yang sarat dengan nuansa Ghibah (pencemaran nama baik), atau membuka aib personal seseorang sebagai tontonan orang banyak, karena pada dasarnya Ghibah dilarang oleh agama.
Berbeda dengan keputusan halal Kopi luwak. MUI menyatakan halal dikonsumsi tanpa penjelasan lebih lanjut tentang kenapa kopi tersebut dinyatakan halal, dan metode apa yang digunakan sehingga lepas dari jeratan haram? Bagi penulis, fatwa ini terkesan dilahirkan dalam keadaan yang serba penuh tanya. Karena Kopi tersebut tak lagi murni bernama kopi sebagai identitas awalnya, namun telah terbungkus oleh identitas lain yang kemudian dinamai, tinja (feses).
Jika merunut pada anjuran agama tentang standarisasi makanan yang baik, maka paling tidak didasarkan pada dua indikator yaitu Halalan (baik dari sumber maupun prosesnya memperolehnya), dan Thayyiban (memenuhi kadar gizi, higienis atau tidak kotor). Lalu apakah kopi luwak telah memenuhi standar tersebut?
Untuk menjawab hal tersebut, ada dua otoritas yang bertanggung jawab untuk mewadahi dan menjawab keresahan publik atas fatwa kontroversial tersebut. Ulama sebagai otoritas pertama bertanggung jawab untuk melakukan upaya kaji ulang terhadap “kehalalan” kopi luwak, dan pihak medis diberi kewenangan untuk turut memberi “fatwa”, apakah kopi luwak benar-benar dapat dianggap steeril luar dalam setelah dilakukan proses pencucian hingga bersih.
Setelah kedua fatwa di atas, terdapat persoalan krusial yang kini dihadapi oleh MUI sebagai salah satu lembaga otoritas Agama. Bahwa secara formal, MUI tetap diakui sebagai wadah yang relevan untuk memberikan pertimbangan keagamaan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Namun apakah pengakuan tersebut telah berbanding lurus dengan aspek sosiologisnya? Ataukah telah pudar lalu dianggap sebatas “kicauan burung” yang tak memiliki efek apa-apa?
Pertanyaan-pertanyaan ini setidaknya didasarkan pada amatan penulis terhadap setiap hasil fatwa MUI yang dipublikasikan, seperti Fatwa Aliran sesat, nikah beda Agama, Pluralisme, dan liberalisme. Fatwa-fatwa tersebut seolah berlalu begitu saja, tanpa dihiraukan, khususnya kalangan muslim bermerek liberal. Justru mereka malah lebih gencar mengampanyekan apa yang telah diharamkan tersebut. Artinya, MUI di mata publik tak lagi sewibawa di masa silam, sekaligus tak lagi menjadi patron keberagamaan yang layak diteladani.
Hal lain yang turut mendukung timbulnya “mosi tidak percaya” terhadap kredibilitas MUI masa kini, karena hampir tidak ada fatwa yang menyinggung beragam persoalan besar yang sedang menerpa bangsa ini, khususnya fatwa yang bernada kritis terhadap pemerintah. Bahkan turut memberi andil dalam mereduksi makna kebathilan.
Menurut Zuhairi Mishrawi, kebathilan saat ini telah mengalami reduksi besar-besaran. Kebathilan yang melibatkan orang per orang dibesar-besarkan dan difatwakan, sedang kebatilan yang berefek besar, makin lama makin redup, seiring dengan hilangnya minat media massa untuk menyingkapnya. Kasus bank century, Gratifikasi, mark up anggaran, money politik pada setiap perhelatan poltik dan semacamnya, terlewatkan begitu saja, tanpa kehadiran suara ketegasan fatwa dari MUI sebagai pemegang otoritas keagamaan yang diakui. Artinya, fatwa MUI hanya ditujukan pada persoalan yang kecil-kecil dan “membutakan diri” terhadap hal-hal yang berskala besar.
Sampai di sini, agaknya MUI diharapkan sesegera mungkin berbenah diri sebelum ditinggalkan oleh fans-nya, yakni umat Islam. Di saat makin tampak tak berwibawa hingga nyaris tak didengarkan, seharusnya MUI melakukan langkah evaluatif untuk membenahi diri sedini mungkin. Salah satunya, dengan mencoba membangun kerangka kritis terhadap berbagai problem besar yang sedang menghadang, serta berupaya menunggalkan diri dari berbagai pihak, tidak terkecuali penguasa. Opsi ini memang agak memberatkan, namun jauh lebih bermartabat jika dilakukan secepatnya, sebelum segala fatwa yang gelontorkan nantinya dihargai murah oleh banyak pihak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa