Langsung ke konten utama

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler.

Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya. 

Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali? 

Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam puing-puing tanpa makna. Selebihnya hanya memenuhi hasrat kepentingan semata. Selepas kepentingan itu diraih, tak ada lagi arti apa-apa. 

Bahkan dalam ruang-ruang penyampai pesan suci ayat-ayat Ilahi. Bukankah semakin terasa bahwa pesan agama kini tak lebih dari sebatas pemenuhan 'syarat sah' saja? Atau telah melebur sebagai medan kompetisi mengejar rating siaran? 

Sadar atau tidak, perjumpaan yang kita lakukan sehari-hari hanya melahirkan kesinambungan berdasarkan tingkat kebutuhan dan kepentingan masing-masing individu. Ia tergambar dalam peristiwa pertemuan antara Bos dengan anak buah, penumpang dan sopir taksi, atau bahkan pembeli dan penjual. 

Dalam konteks ini, patut kiranya menanyakan kembali ihwal perjumpaan kita sesungguhnya dalam peristiwa yang berulang-ulang di atas panggung kehidupan ini. Pertikaian, perselisihan, curiga hingga melahirkan kebencian massal bukan tak mungkin itu dikarenakan krisis kesadaran akan makna kemanusiaan kita. 

Kehidupan tanpa makna itu berbarengan dengan kesadaran palsu yang mengandalkan relasi komunikasi serba tak langsung. Kecanggihan teknologi dengan perangkat serba cepat itu telah menggerus hakikat perjumpaan kita. Imbasnya, teknologi telah berhasil menumbangkan perjumpaan hakiki lalu tergantikan dengan ragam jenis perjumpaan semu.

Bagi Buber, dialog yang ideal hanya terlahir dari subjek yang bertemu langsung dengan subjek. Dalam artian, kehadiran orang lain dikarenakan kebutuhan kita yang saling terpaut, merindukan bahkan mencintai. Penyebutan orang lain hanya dalam wilayah elementer saja. Namun secara esensi, mereka adalah bagian dari jiwa kehidupan kita. 

Adapun dialog yang buruk akan senantiasa terwariskan kepada mereka yang sedari awal membangun tembok penolakan terhadap subjek-subjek yang lain. 

Karenanya, hakekat dari kemanusiaan itu terpancar saat berjumpa dengan orang lain dalam suasana dialog yang melibatkan seluruh elemen diri kita. Serta dibarengi dengan kesiapan untuk berubah dikarenakan proses pertemuan itu. Sebab perjumpaan yang tulus pastilah melahirkan perubahan sikap hidup. Sebagaimana halnya setiap orang yang saling mencintai, perpisahannya selalu menyisakan kerinduan mendalam. Itulah hakikat kemanusiaan kita. Itu pulalah tangga awal bagi mereka yang mendambakan hidayah Tuhan. Sekian. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa