Langsung ke konten utama

Apakah Metode Iqra Masih Relevan?

Bagi umat Islam, Pendidikan al-Quran merupakan konsekuensi logis terhadap keyakinan. Mengakui diri sebagai umat Islam tanpa mentradisikan al Quran dalam kehidupan, adalah kepalsuan. Sebab bagaimana mungkin seorang menyatakan yakin terhadap sebuah ajaran, sementara panduan memahami ajaran itu tak diselami lebih dalam. 

Di tengah kesadaran akan hal itu, rangkaian pendidikan al Quran menemukan titik terangnya. Di saat para pegiat pendidikan sangat getol berjibaku menarik minat terhadap metode yang tepat digunakan sesuai dengan tuntutan zaman. 

Dalam hitungan 20 tahun silam, kita mengenal metode Baghdadiyah atau metode Tarkibiyah (bersusun). Maksudnya, suatu metode yang tersusun secara berurutan dan merupakan sebuah proses ulang atau lebih kita kenal dengan sebutan metode alif, ba’, ta’. Metode ini adalah metode yang paling lama muncul dan metode yang pertama berkembang di Indonesia. Cara pembelajaran metode ini dalam bentuk Hafalan, Eja, Modul, dan Pemberian contoh yang absolut.

Zaman kemudian berubah, sejak datangnya metode Iqra yang dicetuskan oleh Ust. As'ad Humam dari Yogyakarta. Beliau menyodorkan metode Iqra dengan model Cara Belajar Santri Aktif (CBSA). Melalui sajian Iqra 1 sampai 6, peserta didik diharapkan agar lebih aktif daripada gurunya. Namun kelemahannya, karena bacaan-bacaan tajwid tidak dikenalkan sejak dini. Dalam beberapa hal, metode ini memberi sumbangsih pergeseran terhadap kualitas ilmu tajwid peserta didik. Di antaranya adalah durasi waktu yang mesti ditempuh terbilang cukup lama. Sebab panduannya menganjurkan untuk mengkhatamkan 6 jilid buku Iqra tersebut.

Kedua, dalam hal pelafalan huruf-huruf tebal, metode Iqra keliru. Sebab terlampau berani mengkonversi ke dalam penyebutan huruf O. Misalnya kata Thurab seketika berubah menjadi Thurob; Rabbi menjadi Robbi; Mubarak menjadi Mubarok; Qalbu menjadi Qolbu, Khalaqa menjadi Kholaqo, dan seterusnya. Padahal kita ketahui bersama, tak satupun huruf Arab yang bersinggungan dengan huruf O. Di sini, alih-alih ingin memberi kemudahan dalam pelafalan, justeru menjebak peserta didik dalam keselahan yang sedemikian fatal. 

Kita bersyukur, sebab di antara pengguna metode ini, masih mampu mengajarkan jenis pelafalan yang benar-benar sesuai penyebutannya. Namun akan sangat disayangkan, jika para pembina di TPA/TPQ juga ikut larut dalam jebakan itu. 

Ketiga, lebih disayangkan lagi, penggunaan metode Iqra sama sekali tak menawarkan bahkan tak menganjurkan jenis irama dalam mentartil ayat-ayat suci Al Quran. Dapat dibayangkan, implikasi dari penggunaan metode itu, melahirkan dua kesimpulan patah; Yaitu, sulitnya menemukan anak yang mampu membaca al Quran dengan fasih dan berirama merdu. Untuk tidak menyebut bahwa metode ini secara tidak langsung memundurkan talenta Qari dan Qariah sejak dini. 

Lebih fatalnya lagi, orang tua santri tak jarang berkesimpulan bahwa khatamnya seorang anak hingga ke level Iqra 6 menandai bahwa si anak tersebut telah mahir membaca firman Tuhan. Sehingga wajar jika segera diwisuda serta berhak mendapatkan sertifikat. Padahal, khatamnya seorang anak dari proses Iqra 1 hingga 6 barulah awal mula untuk memasuki tahapan selanjutnya. Yaitu, proses mendaras agar lebih fasih membedakan Shifatul Huruf dalam Al Quran. 

Karenanya, metode Iqra sepatutnya ditinjau ulang. Apakah masih relevan penerapannya saat ini. Ataukah sudah saatnya kita menemukan ragam metode lainnya. Di samping kita mendambakan kefasihan, dewasa ini juga dibutuhkan metode super cepat. Serta yang lebih penting, sumber daya tenaga pengajar benar-benar paham dengan penerapan metode yang digunakannya. Tegasnya, guru mengaji sepatutnya juga mendapatkan perhatian bagi peningkatan kapasitas mereka. 

Di luar dari dua metode di atas masih terdapat jenis metode lainnya. Di antaranya metode Nahdhiyyah, Jibril, Qira'ati, Dirasah, Ummi dan metode terkini disebut Ruba'iy. Pilihan-pilihan ini dimaksudkan agar proses pembelajaran al Quran khususnya bagi usia dini benar-benar berangkat dari kesepadanan dengan konteks yang ada di sekitarnya. 

Kita tak boleh terpaku pada target besar untuk melakukan wisuda santri hingga ribuan anak. Sementara tak pernah menelisik lebih dalam tentang metode apa yang selama ini dominan diterapkan pada sejumlah TPA/ TPQ. Bahkan jika boleh berasumsi, menargetkan wisuda dalam jumlah ribuan hanya akan mewariskan masalah baru di kemudian hari, dan di hari kemudian. Sebab pada hakikatnya, out put yang dilahirkan sebenarnya masih sangat prematur. Dalam artian, mereka diiming-imingi janji parade akbar khatam Al-Quran. Sementara kualitasnya sama sekali belum dapat diandalkan. 

Maka, penelusuran terhadap ketersediaan tenaga pengajar berikut dengan kapasitas yang dimiliki merupakan sebuah keniscayaan yang tak boleh menunggu tanda-tanda hari kiamat. Alias jangan tunggu lama-lama. Sekian. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui