Langsung ke konten utama

Rindu Pada Gus Dur

Hamparan tanah Tebuireng Jombang telah memberi kesaksian bahwa ada sosok manusia sakti yang sedang beristirahat di alam kubur. Kepergiannya mewariskan cerita bercita rasa ramalan masa depan. Dialah KH. Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur. Tujuh tahun silam, Ia berpulang diiringi gelar pamungkas lagi pantas dari Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Bapak Pluralisme.

Dialah pria yang berhasil memikat hati Sinta Nuriyah, yang semasa pengembaraan intelektual antara Cairo dan Baghdad, surat-surat cintanya mampu membakar gelora jiwa seorang Gus Dur. Laiknya surat cinta antara Kahlil Gibran dan Salma Karami dalam Novel Sayap-sayap Patah.

Dialah pria yang telah berani menumpahkan kekecewaanya atas kegagalan mengikuti ujian akhir pada pertengahan 1966 di Univesitas al Azhar, Cairo. Dan di tangan Nuriyah, lagi-lagi ia membakar api cinta dengan berkirim surat kepada Gus Dur: "Mengapa orang harus gagal dalam segala hal? Anda boleh gagal dalam studi, tapi paling tidak anda berhasil dalam kisah cinta".

                                                                        ***

"Meski tujuh tahun Gus Dur telah kembali ke pangkuan-Nya, semua yang pernah berhubungan dengannya tetap menjaga kerinduan. Raga tak mungkin bertemu. Tapi Gus Dur mewariskan cahaya nilai kebangsaan yang terjaga kekekalannya," demikian catatan harian Kompas edisi 13 Januari 2017 lalu, yang ditulis Muhammad Ikhsan Mahar. 

Dalam buku Biografi Gus Dur yang ditulis Greg Barton, dinukilkan bahwa saat menjabat Presiden RI, sempat muncul anekdot tentang misteri Tuhan. Bahwa ada tiga misteri Tuhan yang tak bisa dipahami atau diketahui manusia sebelum hal itu terjadi. Yakni Jodoh, Kematian dan Gus Dur.

Bagi orang awam, Gus Dur seringkali dilihat sebagai sosok penuh misteri, tak terduga dan sarat hikmah. Bagi orang sinis, barangkali akan dipahami sebagai orang yang suka memotong jalan orang lain, mengobrak-abrik barisan yang telah atau sedang akan mapan. Juga tak jarang 'ngawur' dan oportunis. 

Bagi Politisi, sikap Gus Dur barangkali akan selalu dikaitkan dengan kepentingan politik diri dan kelompoknya. Sementara bagi intelektual yang berjarak, dia akan menilai sosok Gus Dur sebagai pribadi yang terkadang baik, kadang sangat 'ngawur', tapi punya adrenalin kenekatan luar biasa.

Gus Dur dianggap mampu mengayomi dan menyejukkan kaum minoritas yang ketakutan dan resah terhadap intimidasi dari mayoritas. Sedangkan bagi mayoritas yang dizalimi minoritas elite, Gus Dur menjadi penyambung lidah tanpa mengorbankan integritas bangsa. 

Ulil Abshar Abdalla, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) menuturkan, Gus Dur tampil sebagai sosok yang menjadikan Islam bukan untuk menghancurkan nilai-nilai yang sudah ada di Tanah air. Tetapi sebagai ideologi komplemeter yang menyempurnakan nilai-nilai baik yang sudah lestari di masyarakat Indonesia. 

Dalam diksi yang lebih tajam, Quraish Shihab mengutip kaedah Ushul Fiqh; Al Muhafazhatu alal Qadimis Shalih, wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah. (Merawat tradisi lama yang baik sembari mengambil tradisi baru yang lebih baik). 

Kata Pak Quraish, Gus Dur semasa hidupnya tak hanya mengambil tradisi baru yang lebih baik. "Tapi Gus Dur telah mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi bangsa ini," ucap Pakar Tafsir jebolan Al Azhar Cairo ini. 

Di mata KH. Ahmad Hasyim Muzadi, Gus Dur seringkali dipandang aneh bahkan kontoversi. Ini disebabkan pemikirannya yang juga seringkali melampaui zamannya. Untuk objek-objek yang sangat sederhana sekalipun. Misalnya, terkait skor piala dunia berikut dengan Negara yang bakal membawa pulang piala berbalut emas itu. Hingga pada statemen tegasnya untuk maju sebagai Calon Presiden di saat publik tak pernah membayangkan hal itu benar-benar terjadi di kemudian hari. 

Kerinduan pada sosok Gus Dur sekaligus Kiai kharismatik itu, bukan saja karena candaannya yang selalu mengundang tawa. Tapi yang lebih penting, suara lantang seorang Gus Dur ketika berbicara soal Islam, Humanisme dan Keadilan. 

Karut marutnya kehidupan berbangsa dewasa ini sebab telah sedemikian vulgarnya aroma kebencian disebarkan. Ironisnya, karena para pemimpin tak lagi menegaskan diri sebagai penyejuk. Melainkan ikut menjadi aktor atas makin buramnya arti sebuah kemanusiaan dan keadilan. 

Pada realitas yang lain, tokoh-tokoh yang diharapkan mampu mengurai kembali benang kusut bangsa hari ini, justeru disudutkan pada mainstream yang sangat buruk. Buya Syafii Ma'arif adalah salah satu korbannya. Beliau dicemooh, dicaci maki, bahkan mungkin saja telah dibisukan oleh mereka yang sangat berambisi merebut otoritas agama. 

Para ulama sekelas Quraish Shihab, Umar Shihab, KH. Mustofa Bisri dan lainnya kian diabaikan dari pelibatan menimbang fatwa sebagai ijtihad ulama terhadap kehidupan. Sebaliknya, otoritas agama hari ini telah digenggam habis oleh barisan yang menihilkan prinsip-prinsip muru'ah sebagai identitas hakiki dari para ulama. 

Maka kerinduan pada sosok Gus Dur adalah ekspresi sekaligus ekspektasi manusia masa kini yang sedang dan terus mendambakan cahaya kebangsaan itu bersinar kembali. Sebagaimana syair Sufi dari tanah Persia, Jalaluddin Rumi: "Bukan karena kematian itu kau akan masuk ke alam kubur. Namun karena kematian adalah perubahan untuk masuk ke dalam cahaya". Sekian. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui