Langsung ke konten utama

ASN di Era Pilkada Langsung

Aparatur Sipil Negara (ASN), dalam setiap perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), selalu menjadi objek yang tak terpisahkan dari diskursus politik. Sebab dipandang sebagai objek kuantitatif yang paling mudah ditebak potensi plus minusnya. Secara garis besar, ada yang berada di posisi struktural, ada pula yang berada pada ruang fungsional. 

Kendati demikian, posisi struktural dipandang sebagai objek paling dipertaruhkan. Sebab di dalamnya mengandung sejumlah kewenangan yang berpotensi menguatkan jejaring kepentingan. Jadilah birokrasi sebagai instrumen tak tertulis, namun gerakannya deras dalam peta politik. 

Terdapat dua hal paling mudah untuk memetakan potensi ASN pada setiap momentum politik. Pertama, ASN merupakan kekuatan mobilisasi paling 'cetar membahana' untuk mewujudkan suatu kepentingan politik. Pada posisi sebagai pejabat eselon misalnya, ia dengan mudah bergerak ke lapangan dengan sejumlah agenda yang dikamuflase. Entah bersifat sosialisasi, koordinasi, monitoring dan sejumlah istilah birokrasi yang sangat mudah direkayasa pertanggungjawaban administratifnya.

Dapat dibayangkan, pada beberapa lembaga survey, ASN menempati segmentasi tertentu untuk ditakar seberapa kuat dijadikan sebagai modalitas awal memulai sebuah proses pencitraan. Jika lemah di mata ASN, waspadalah, kemungkinan besar sang kandidat harus bekerja ekstra hati-hati disertai dengan strategi politik yang mumpuni. 

Kedua, ASN juga berpotensi sebagai 'sapi perah' untuk melembagakan korupsi alias korupsi berjamaah. Komitmen loyalitas terhadap pimpinan merupakan salah satu alasan paling jamak yang menyebabkan merebaknya praktek korupsi. Baik menjelang maupun setelah pilkada itu berlangsung.

Menjelang pilkada, praktik korupsi di birokrasi dikarenakan kepentingan meraup modal finansial yang cukup mahal akibat makin kuatnya model industrial merangsek ke dalam iklim demokrasi. Pun setelah pilkada, korupsi tak terhindarkan akibat banyaknya biaya yang telah digelontorkan demi menunaikan hasrat pragmatisme pemilih. Ditambah lagi jika pimpinan memang tak mau peduli dengan wibawanya sebagai sosok yang seharusnya mewariskan keteladanan. Sekaligus tak punya nyali memberi perlindungan hukum terhadap bawahan. 

Karena itu, tak mengherankan jika rumah tahanan kini berangsur disesaki oleh mereka yang selama ini menduduki posisi sebagai pejabat eselon. Sebuah kehormatan yang harus ditukar guling dengan resiko memalukan sebagai tahanan Tipikor. 

Hidup di era Pilkada langsung, posisi ASN memang diakui serba dilematis. Apalagi jika  person di antara mereka telah didominasi syahwat politik yang tak sejurus dengan kekuatan kompetensi. Sehingga, jalur yang dianggap paling pas adalah memunculkan diri sebagai bagian dari aktor politik dengan bersembunyi di balik jubah ASN. 

Hitung-hitungannya juga sangat beraroma politik. Bahwa kelak jika memenangkan pertarungan, maka ia berhak menerima ganjaran menduduki posisi struktural. Jika perlu, ia menentukan sendiri dimana posisi yang diinginkan. 

Namun sebaliknya, jika kalah dalam pertarungan politik, apa jadinya? Di sinilah, muncul istilah korban politik. Ada yang dimutasi ke posisi 'kering', ada juga yang mengalami demosi, bahkan tak mustahil ada yang harus kembali meniti karir dari zona paling bawah. Yakni sebagai staf biasa. Sekali lagi ini dianggap sebagai fenomena korban politik. 

Jika demikian alurnya, sesungguhnya kurang tepat bila disebut sebagai korban politik. Lebih etis jika dinamai sebagai resiko politik. Menggunakan istilah korban politik memiliki konotasi yang kurang fair; tak seimbang, tak setimbang. Karena ada kesan seolah-olah ASN tak punya andil yang menyebabkan dirinya terlempar dari lingkaran jabatan struktural. Padahal, telah nyata bahwa di balik 'nasib' yang diterima itu, telah lebih awal didahului dengan ragam intrik serta tindakan rela mempertaruhkan segalanya.

Olehnya itu, kembali ke jalan profesionalisme ASN adalah solusi paling jitu. Jika dihadapkan pada tafsir loyalitas bercita rasa kepentingan, pilihlah loyalitas atas nama aturan. Sebab sejatinya ASN hanya bisa loyal pada pimpinan yang menjalankan aturan. Bukan pada pimpinan yang senang memainkan aturan demi memuluskan kepentingannya. Jika tidak, anda juga berpotensi masuk dalam daftar penghuni rumah tahanan selanjutnya. 

Sebaliknya, tak elok jika ada ASN yang kesannya lebih politis dari pada politisi itu sendiri. Tata letaknya tentu sudah jelas. Bahwa politisi bermain di medan kepentingan, sementara ASN berjalan di jalur aturan (profesionalisme). Mempertukarkan keduanya seharga dengan kesiapan diri menerima segala resiko politik. Bukan korban politik. Tegasnya, menganggap diri sebagai korban politik hanyalah alibi sekaligus sikap yang tak memerlukan belas kasih atau balasan dalam bentuk apapun dan sampai kapanpun. Sekian. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui