Langsung ke konten utama

Le Roux, Penelope dan Politik Integritas

Situs BBC.com melansir berita terkait Menteri Dalam Negeri Prancis, Bruno Le Roux, yang mengundurkan diri karena mempekerjakan dua putrinya ketika masih remaja. Dalam konferensi pers, Selasa (21/03), di Paris, ibu kota Prancis, ia menyangkal telah berbuat salah. Namun menyebut masalah itu tetap merupakan tanggung jawabnya.

Le Roux dituduh mempekerjakan kedua putrinya yang sedang terikat dalam kegiatan lain. Pengunduran dirinya ditempuh, menurut Le Roux, karena dia tidak ingin penyelidikan atas kontrak yang berkaitan dengan kedua putrinya tersebut 'mengganggu pekerjaan pemerintah'.

Kedua putrinya mulai bekerja ketika berusia 15 dan 16 tahun untuk total 24 kontrak dengan bayaran sekitar 50.000 Euro atau setara Rp. 790 juta. Tuduhan atas Le Rouz ini terungkap dalam sebuah acara TV Quotidien, Senin (20/03), ketika seorang wartawan bertanya kepada politisi berusia 51 tahun ini tentang pekerjaan pada liburan musim panas yang diberikan kepada putri-putrinya antara tahun 2009 hingga 2016.

Mempekerjakan anggota keluarga merupakan praktik yang bisa di Majelis Nasional Prancis dan tidak melanggar hukum. Bagaimanapun, dua dari kontrak pekerjaan yang diberikan kepada putri Le Roux bersamaan dengan program magang dan kursus yang sedang mereka jalani. 

"Tentu saja, kedua putri saya bekerja untuk saya pada masa liburan musim panas dan liburan sekolah lain, tapi tidak pernah secara permanen," katanya dalam program TV, Quotidien

Masalah mempekerjakan anggota keluarga juga melilit calon presiden dari kubu politik kanan-tengah, Francois Fillon. Dia sedang diselidiki dalam tuduhan membayar istrinya, Penelope, dengan dana umum sebagai asisten -namun diduga pekerjaan itu tidak benar-benar dilakukan oleh istrinya- serta membayar kedua anaknya -Marie dan Charles- sebagai penasehat hukum walau keduanya belum memiliki kualifikasi sebagai pengacara.

Situs VOA menukil bahwa Surat kabar Perancis Le Canard Enchaine edisi Rabu (8/2) memberitakan calon presiden Francois Fillon tidak saja mempekerjakan istrinya untuk melakukan 'pekerjaan yang tidak ada'. Tetapi juga memberinya uang pesangon dua kali.

Menurut surat kabar itu Fillon membayar istrinya Penelope Fillon uang pesangon sebesar 45 ribu Euro (US$48.000) dari dana pemerintah setelah Penelope berhenti bekerja sebagai asisten di Parlemen tahun 2002 dan 2013.

Dua potret di atas menunjukkan hal berbeda. Bahkan saling bertolak belakang. Bruno menampilkan sikap jantan, mengakui dirinya telah keliru. Karena membaurkan antara kepentingan politik dengan kepentingan keluarga. Sementara Penelope justeru ikut meramaikan jagad raya terhadap praktik perselingkuhan yang saling bercampur antara tugas pemerintah dan syahwat kuasa keluarga. 

Ini juga menggambarkan bahwa perihal keberanian menjaga marwah dan wibawa seorang pejabat bukan karena faktor anda di negara maju, sementara kami di negara berkembang. Lagi-lagi kita akan berhadapan dengan pilihan-pilihan pelik saat menyandang predikat sebagai seorang pejabat; integritas. 

Tantangan kita hari ini dikarenakan belum kuatnya political will dalam menerapkan sebuah sistem yang benar-benar tegas garis pembatasnya antara 'ruang kuasa' dan 'ruang keluarga'. Yang terjadi malah sebaliknya. Dua sisi itu bukan hanya bercampur. Yang lebih miris lagi, ketika sejumlah keputusan itu diembargo dikarenakan kepentingan keluarga tak terakomodasi dengan baik. Jika praktek ini tak terbendung, terjadilah perampasan massif terhadap hak-hak publik. 

Sebagai rakyat, kita selalu merindukan 'Bruno' yang lain. Serta di saat yang sama, batin kita selalu berkecamuk saat menemukan 'Penelope' itu sudah terlampau larut mencampuri urusan Negara. 

Ada baiknya kita belajar kepada Imam Ali bin Abi Thalib saat menjabat sebagai Khalifah keempat. Ketika Imam Ali As memegang tampuk kekhilafahan di Kufah dan menguasai baitul mal, pada suatu hari Aqil, saudara Iman Ali menemui beliau dan berkata: "Aku terlilit utang dan tidak mampu membayarnya, tolong tunaikan utangku". 

Setelah Imam Ali mengetahui jumlah utangnya yang 100.000 Dirham itu, mengatakan: "Demi Tuhan, aku tidak punya kekayaan yang dengannya aku dapat melunasi utangmu, sabarlah hingga aku mendapatkan jatahku. Sejauh kemampuan, pasti aku membantumu", 

Aqil berkata: "Ambillah dari baitul mal", namun beliau tidak mau melakukannya dan mendekatkan besi panas pada Aqil yang buta. Ia mengira barang itu uang sehingga menyentuhnya tapi ternyata besi panas, akhirnya ia protes. 

Imam Ali berkata padanya: "Kamu tidak kuat menahan panasnya besi ini, bagaimana aku akan menahan panasnya api neraka dengan menginjak-injak hak-hak masyarakat". Sekian. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa