Representasi Terorisme di Indonesia dalam Pemberitaan Media
Massa. Demikian judul Disertasi yang ditulis Indiwan Seto Wahyuwibowo di
Universitas Indonesia tahun 2014 lalu. Ia menambah khazanah keilmuan di Negeri
ini setelah para pendahulunya lebih awal mengulas kajian terorisme dalam
lintasan multi perspektif.
Yang menarik dari karya tersebut, sebab telah membedakan
tipikal praktek terorisme di luar negeri dengan corak khas Indonesia. Di luar
negeri, katanya, pelaku teror cenderung menutup diri terhadap kemungkinsan
deteksi pemberitaan media. Sementara di Indonesia, kecenderungannya justru
terdapat peristiwa saling'membutuhkan' antara kepentingan terorisme dengan
media, pada landasan persekutuan antara propaganda dan kekerasan.
Dengan mengutip Behm, pada tingkat ini, teroris menyusun dan
memanfaatkan strategi media. Sementara di pihak lain, media menempatkan
kepentingannya pada aktivitas kelompok teroris. Dalam relasi yang sedemikian
itu, terorisme tidak boleh dipandang hanya sekedar sebagai bentuk kekerasan
belaka, namun terorisme adalah wujud dari kombinasi antara propaganda dan
kekerasan.
Secara umum, berita idealnya hanya bertindak sebagai story
teller (pencerita) dengan menjawab formula 5 W +H ( mencari Who (siapa), What (
apa ), Where (dimana), When (kapan), Why ( kenapa) dan How (mengapa). Juga
menggunakan pertimbangan piramida terbalik, nilai berita dan lead yang memenuhi
standar profesional jurnalistik. Dari konsep peran media ini, setidaknya
kehadiran mediamassa dalam liputan terorisme tetap dipandang sebagai pihak
ketiga.
Idealnya memang demikian. Namun dalam prakteknya, media bisa
saja melakukan pemihakan. Saat terjadi konflik antara kelompok teroris dan
sasaran yang ditarget, persoalan muncul ketika media massa mengambil peran
memihak salah satupihak. Dengan keberpihakan tertentu, sebagaimana diungkap
Behm, media massa cukup layak menuai hujatan. Sepanjang pekerja media tidak
mampu menjaga prinsip kejujuran, verifikasi dan independensi. Serta tidak
sekedar menjaga netralitas, sifat partisan media sulit dibantah. Dan di sisi
lain layanan media untuk kepentingan publik semakin jauh dari kenyataan.
Menurut Pamela Shoemaker dan Reese, media, pada dasarnya
menyajikan isi yang merupakan akumulasi dari pengaruh yang beragam. Kedua ahli
ini mengungkap bahwa ada berbagai faktor yang diduga dapat memengaruhi
pengambilan keputusandalam ruang pemberitaan soal isi media. Di
antaranya:
Pertama, Faktor individual. Faktor ini memengaruhi isi
terkait dengan latar belakang profesional dari pengelola media, khususnya para
wartawan dan editor. Pamela melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal
dari pengelola media, aspek-aspek pribadi dari wartawan ikut mempengaruhi
pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Faktor ini berupa Latar
belakang individu wartawan seperti umur, agama, jenis kelamin, dan perbedaan
individual ini sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media.
Faktor kedua adalah Rutinitas media yang berhubungan dengan
mekanisme dan prosespenentuan irisan berita. Sebab pada dasarnya, setiap media
mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita. Ukuran tersebut
adalah rutinitas yang berlangsung tiaphari dan menjadi prosedur standar bagi
pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan
dengan mekanisme bagaimana berita itu dibentuk.
Faktor ketiga adalah faktor Organisasi media. Level
organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang bisa mempengaruhi
pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam
organisasi berita, ia sebaliknya hanya ornamen kecil dari organisasi media itu.
Masing-masing komponen dalam organisasimedia bisa jadi mempunyai kepentingan
sendiri-sendiri.
Faktor lainnya adalah pengaruh extra media. Pada tingkat
ini, faktor-faktor yangmempengaruhi content media antara lain sumber-sumber
informasi yang dijadikan isi media (seperti kelompok kepentingan dalam
masyarakat), sumber-sumber pendapatan media (seperti pengiklan dan khalayak)
serta institusi sosial lainnya (seperti pemerintah).
Kemudian pengaruh lain, menurut Indiwan, adalah di level
ideologi. Pada tingkat ini, yang ingin diamati adalah bagaimana media berfungsi
sebagai kepanjangan kepentingan kekuatan dominan dalam masyarakat, bagaimana
rutinitas media, nilai-nilai dan struktur organisasi bisa berjalan di dalamnya.
Dari kelima faktor di atas, pertimbangan untuk membaca media
dalam perspektif konstruksi sosial menjadi tak terelakkan. Seperti diketahui,
proses penemuan informasi, pelaporan hingga masuknya ke dapur redaksi sarat dengan
sejumlah subjektivitas. Sebab pada dasarnya, wartawan di level reporter yang
bergerak di lapangan, tak lepas dari jebakan-jebakan subjektivasi.
Peter L. Berger, dan Thomas Luckmann mengatakan, berita
surat kabar bisa dipandang sebagai tahap kedua dalam proses sosial konstruksi
realitas yakni objektivasi. Isi berita pada dasarnya menunjukkan bagaimana
realitas subjektif yang dikonstruksi oleh komunikator atau sumber berita yang
dinilai oleh praktisimedia.
Atau dengan kata lain, bagaimana praktisi media melakukan
objektivikasi dan ataupenilaian terhadap suatu realitas. Dalam hal aksi
terorisme, penilaian awak media itu dilakukan melalui bahasa atau tanda-tanda
sebagai isyarat atau indeks bagi makna-makna subjektif yang sebelumnya sudah
dikonstruksi oleh komunikator.
Apakah ini telah merobek habis prinsip keberimbangan (cover
both side) dalam pemberitaan? Jawabannya. Iya. Memang benar demikian. Namun,
itu bukan berarti bahwa media benar-benar telah menemukan kenikmatan berbulan
madu dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Bukan juga karena tak menjunjung
prinsip profesional dan proporsional. Sebab yang lebih penting di atas prinsip
keberimbangan adalah sejauh mana media berdiri tepat di atas panggung
kepentingan rakyat.
Jika terorisme dipandang sebagai gerakan perusak tatanan
kebangsaan kita, tak ada gunanya bertahan dalam gempuran tuduhan negatif
sebagai pihak yang tidak netral. Sebab media, pada faktanya, memang tidak
netral. Yang lebih tepat adalah, media memiliki independensi cara pandang yang
merdeka terhadap hasil pergumulannya dengan realitas.
Tafsiran terhadap realitas itulah yang menjadi kesimpulan
patut tidaknya media itu mewakili suara publik yang tertindas. Sebagaimana
suara kemanusiaan mengutuk habis perilaku para teroris, seperti itu pulalah
media mengakumulasinya dalam rangkaian narasi pemberitaan. Sekian.
Terbit di www.infosulbar.com
Terbit di www.infosulbar.com
Komentar