Gonjang-ganjing kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini cukup memprihatinkan. Energi para pemimpin habis digunakan untuk meredam dengan caranya masing-masing. Ironisnya, alih-alih mampu menciptakan suasana jeda saja, justeru memunculkan deretan masalah baru hingga berlanjut sebagai polemik tak berujung di kalangan elit.
Pada realitas yang terus berjalan itu, terdapat semacam pesimisme rakyat terhadap komitmen para pemimpin untuk menyelesaikan prahara yang sedang melanda. Kasus dugaan penistaan agama, pelecehan terhadap lambang negara, dugaan munculnya generasi baru dari rahim Ideologi Komunisme adalah bagian dari masalah yang sedang kita hadapi bersama. Sehingga terjadilah proses konsolidasi massif yang terus-menerus memantik perhatian elit untuk sesegera mungkin disahuti sesuai dengan keinginan mereka. Jika tak diamini, brutalisme sosial adalah jawabannnya.
Demikianlah kondisi bangsa dewasa ini. Padahal jika ditarik ke dalam ruang batin ke-Indonesia-an, konsensus berbangsa dan bernegara mestinya lebih awal menjadi alas pikir bersama atas janji kebangsaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Prinsip-prinsip keragaman yang berangkat dari jutaan perbedaan, baik karena agama, budaya, etnis maupun semacamnya bukanlah alasan untuk merobek lembaran janji itu.
Satu hal yang sepatutnya menjadi pegangan seluruh rakyat Indonesia. Bahwa kemajemukan yang dimiliki bangsa ini adalah anugrah Tuhan yang Maha Esa. Tak banyak negara yang mampu merawat bangsanya dengan luas wilayah yang terlampau besar, bersuku-suku, beragam agama dan budaya. Sementara kita, telah nyata memiliki semua itu.
Namun di balik seluruh anugrah itu, bukan berarti bahwa persoalan yang dihadapi telah usai. Frame berpikir rakyat Indonesia tidak semua sama. Masih ada yang bersikukuh berada pada prinsip serba sektarian, merasa paling pantas tanpa melalui proses kompetisi, dan pada akhirnya menganggap yang lain sebagai penumpang gelap saja.
Jangan menduga, fenomena ini hanya menjadi bias Jakarta saja sebagai sentrum kuasa politik dan ekonomi. Di daerah pun mengalami hal serupa. Upaya memunculkan tafsir tunggal atas identitas kebudayaan_ misalnya_ sesungguhnya adalah bagian dari keangkuhan berpikir manusia. Ditambah lagi dengan proses rekayasa pengkultusan otoritas tertentu. Sementara pada entitas yang dianggap berbeda, bakal digarap sebagai kelompok sempalan dan_sekali lagi_ penumpang gelap.
Jika diselami lebih mendalam, di sinilah bibit kekerasan itu bermula, terus berkecambah, saling mencari jejaring hingga membentuk satu komunitas yang punya nada kebencian sama terhadap pihak tertentu.
Pada posisi ini, diperlukan upaya bersama agar tak kehilangan energi pemikiran yang terlahir dari semangat menunaikan janji kebangsaan itu. Tak patut memberi ruang permisif bagi siapa pun yang mencoba merobek lembaran janji itu atas nama apapun.
Maka kehadiran Pancasila sebagai falsafah bernegara, mutlak menjadi rujukan paling awal dalam seluruh aturan yang berlaku di Negeri ini. Persoalannya adalah, aturan kita nyaris seluruhnya bergeser ke dalam genggaman pasar dan kepentingan luar negeri.
Tengoklah sejumlah program perencanaan pembangunan yang acapkali bercita rasa asing. Tanpa harus mendetailkan lebih praksis, itu sangat terasa ketika melacak sejumlah program yang digelontorkan lengkap dengan iming-iming bantuan dana bernilai tinggi. Ajaibnya, kondisi ini menjadi dominan dalam lingkungan para pengambil kebijakan. Melakukan kritik atas semua hal di atas berdampak pada peminggiran ide dengan alasan sudah tidak sesuai zamannya lagi. Dampaknya, warisan kultur tak lagi menjadi basis pijakan.
Sisi gelap ini memerlukan cahaya kearifan. Penguatan nilai-nilai budaya adalah mutlak dijabarkan sebagai akhlak bangsa. Dalam rumus F. Budi Hardiman, prinsip 'aku' sejatinya melebur pada semangat 'kami' dan 'kita'. Dengan begitu, ketika kita dihormati oleh bangsa lain, itu karena mampu menunjukkan sikap sebagai orang bernilai luhur yang tertuang dalam kearifan berbudaya.
Sebagaimana halnya ketika ada yang bertanya siapa anda, maka jawabannya adalah: Saya orang Mandar. Tapi itu hanya pantas dilafazkan oleh mereka yang memang punya konstruksi berpikir serta nafas kearifan sebagai orang Mandar. Sekian
Komentar