Di Indonesia, legitimasi hukum terhadap kebebasan pers bolehlah disebut sebagai anak emas reformasi. Sebab dengan kelahirannya, telah membuka sejumlah tirai kekuasaan yang selama puluhan tahun dianggap tabu, terlarang dan destruktif.
Kendati dalam perkembangannya, klaim kebebasan pers itu sendiri tak berjalan mulus. Ada banyak rantai dan belenggu yang melingkupinya. Tak terkecuali dengan bangunan perspektif yang masih disesaki dengan multi debat. Pers yang bebas diseret dalam perdebatan personal sekaligus institusional; antara kebebasan personal jurnalis dengan kebebasan institusi perusahaan media.
Ajaibnya, masih terasa hangat keseruan perdebatan itu, gempuran luar dan dalam juga tak kalah derasnya. Terkait kesungguhan insan pers untuk berpegang teguh pada kesucian nilai dan idealismenya. Sementara di lain sisi, wajah media tak pernah lepas dari kepentingan industri.
Sikap kecewa berat terhadap perdebatan di atas pun memunculkan kesimpulan patah dengan hadirnya jenis perlawanan baru bagi perusahaan pers yang berskala besar. Yaitu pers bawah tanah (underground press). Pada kesempatan yang sama, juga menampar wajah media konvensional yang dianggap mulai nyaman karena diremas halus oleh sentuhan lembut kekuasaan.
Kata Thomas Pepper, koran bawah tanah tumbuh karena media yang ada dianggap tak lagi menyuarakan banyak elemen di masyarakat. Sayangnya, di antara banyaknya jenis perlawanan bawah tanah itu, justeru menyisakan persoalan yang jauh lebih parah. Sebab di kalangan mereka, kepentingan 'kemakmuran' mendominasi kepentingan dan nilai luhur kehadiran media. Sehingga, umur eksistensi mereka cenderung cepat mati atau setidaknya mampu bertahan dengan sikap melacurkan diri pada kepentingan tertentu.
Adalah Ray Mungo, sebagaimana dikutip Rivers L. William (2008) mengatakan, banyak orang radikal yang begitu fasih menjelaskan alasan pendirian koran kecil mereka, atau perlunya organisasi mereka dibentuk; namun hampir semuanya hanya omong kosong.
"Sebenarnya alasan mereka melakukan semua itu karena mereka pengangguran dan tak punya kegiatan berarti. Sehingga mereka berusaha tampil aneh atau garang sekadar untuk memperoleh sedikit peluang dan keberhasilan......Sebenarnya ini pula alasan kami mendirikan kantor berita. Bukan untuk mendukung koran bawah tanah yang konyol itu, melainkan karena kami tak ada pekerjaan lain," demikian pernyataan Roy Mungo.
Rivers L. William hadir dengan pemikiran yang mencoba menyederhanakan perdebatan seputar kebebasan pers tersebut. Baginya, keberbasan pers ada pada otonomi berpikir para jurnalis yang secara operasional terlihat pada kerja menulis, mengedit, merumuskan kesimpulan berdasarkan pendapatnya sendiri. Atau mengutamakan kebenaran yang dibangun dari premis yang dibangunnya sendiri. Bukan bersandar pada versi pihak lain.
Namun dalam perspektif ini, bangunan otonomi antara media konvensional dengan media perlawanan sangat jauh berbeda. Khususnya dalam merancang rumusan baku terhadap objektivitas sebuah berita. Bagi media konvensional, rumus cover both side relatif dipatuhi sebagai 'panggung kompromi' atas sekian banyak potensi konflik sumber berita.
Sebaliknya, penetrasi pers bawah tanah malah menciptakan tatanan yang cenderung tak terpola. Akhirnya objektivitas, kata Thorne Dreyer dipandang sebagai belenggu yang menghambat gerak kebebasan pers. "Kami sengaja bersikap bias. Penulis kami bebas menulis apa saja," kata Jeff Shero, mantan editor The Rat.
Masih dengan William, tantangan jurnalisme kelompok militan ini cukup merepotkan mazhab cover both side. Sebab di tengah kepentingan pemberitaan yang berimbang, respon pembaca juga cenderung membaca media sesuai keinginan. Bukan pada apa yang seharusnya dibaca.
Kekuatiran itu juga dirasakan Reed Whittemore yang mengemukakan bahwa dampak paling mencemaskan adalah terkikisnya semangat untuk selalu menyesuaikan berita dengan fakta. Maka implikasi dari semua itu adalah memaksa agar fakta menyesuaikan diri dengan berita. "Sampaikan saja beritanya, dan biarkan faktanya menyesuaikan diri," demikian pesan Mungo.
Inilah problem otonomi berpikir jurnalis. Sebab secara tak langsung, telah menjelmakan diri sebagai aktor drama dan novelis. Jadilah setiap berita itu disajikan berdasar 'syahwat' jurnalis. Bukan lagi bergerak dari denyut nadi nurani kemanusiaan.
Kiranya kita semua kuatir, di panggung media masa depan nilai dan makna sebuah kebenaran akhirnya bakal diremehkan. Lalu tergantikan oleh jenis kebenaran yang sengaja diciptakan.
Saya tak ingin terburu-buru menyebut sebagai tanda kehadiran Dajjal, sosok yang dipersonifikasikan sebagai perusak tatanan kehidupan di akhir zaman. Tapi kemunculan fitnah kubra (al fitnatul kubra) itu akan semakin dekat ketika makna kebenaran telah dipermainkan sesuai keinginan, bukan pada apa yang seharusnya. Maka di situlah sebenarnya Dajjal menunjukkan jati dirinya. Dalam wujud rupa kebenaran yang diciptakan? Ya, itu bukan hal mustahil. Sekian.
Komentar