Langsung ke konten utama

Kebahagiaan, Kesucian dan Keabadian

Pernahkah terlintas di benak kita tentang garis pembeda antara kebahagiaan dan kesenangan? Atau boleh jadi keduanya dilebur dalam tangkapan nalar yang sama dan sepadan?

Kebahagiaan dan kesenangan memang seringkali mengalami proses salah ukur dalam dimensi nalar kita. Keduanya dengan mudah dibolak-balik. Bahwa, bahagia sama dengan senang, demikian pula sebaliknya. 

Tahun lalu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Barat, KH. Nur Husain menyajikan tema kebahagiaan dalam dimensi yang cukup sederhana, menukik dan tepat di telinga umat. Sebagaimana lazimnya, seorang ulama tentu lebih akrab mengambil perspektif wahyu dalam menangkap setiap realitas, baik subjektif maupun objektif. 

Ulama kelahiran 10 November 1945 itu memberi simpulan bahwa kebahagiaan seseorang ditandai dengan terlepasnya dari seluruh belenggu kehidupan, termasuk dosa kepada Tuhan. Makin jauh seseorang dari jeratan kesalahan dan dosa, medan kebahagiaan itu pun semakin mudah diraih. 

Dalam perkembangannya kemudian, kebahagiaan mengalami perontokan makna lalu bergeser setara dengan pemenuhan kesenangan syahwatiyah. Tokoh penting Psikologi Positif, Martin EP. Seligman menukilkan pemaknaan yang sangat berbeda dengan pandangan mazhab patologis yang selama ini memandang psikologi sebagai sebagai bengkel manusia rusak. Ia menawarkan konsep psikologi salutis dengan istilah Authentic Happines yang berangkat dari penguatan potensi positif manusia. Ketulusan, kehangatan, cinta, kearifan, keberanian, keadilan dan spiritualitas adalah tema-tema yang akrab diperdengarkan oleh mazhab positif ini. 

Bagi Seligman, kesenangan hanyalah pemenuhan keinginan imajiner (khayali) manusia secara temporal. Pesta pora dunia gemerlap, konsumtivisme, alkoholisme, berjudi, 'main perempuan' dan semacamnya terbukti hanya memberi efek kesenangan. Tapi, sangat sulit menangkap pancaran cahaya kebahagiaan di sana. 

Mengapa? Sebab kebahagiaan merupakan ruang pergumulan intim antara harapan dan keabadian. Walau dalam setiap ritme perjalanan kehidupannya, harus berhadap-hadapan dengan sekian banyak huru-hara dan pilihan pahit yang kompleks. Sebuah praktek kehidupan yang tak menyisakan harapan, terlampau sulit menemukan keabadian sebagai tangga meraih kebahagiaan otentik. 

Keakraban terhadap perilaku bersenang-senang, di samping mengantar seseorang pada sikap jumawa dan memandang diri sebagai sang penakluk kehidupan (baca: serba bisa), juga membuat seseorang mudah terpuruk, jatuh, kecewa dan sakit hati. Sementara kebahagiaan dapat membangkitkan seseorang dari keterpurukan dan menjauhkan diri dari derajat kepongahan.  

Keadaan demikian sesungguhnya sangat penting untuk menemukan peristiwa Epifani. Baik dalam wujud positif maupun negatif. Dalam pengertian yang dipaparkan Denzin (1989), Epifani merupakan peristiwa istimewa dalam kehidupan seseorang yang menjadi titik balik kesadarannya. 

Sebagai misal dari wujud negatif itu, seorang yang gulung tikar dari usahanya seketika mendapatkan epifani lewat kesadaran terdalam. Bahwa bukan hanya dirinya yang menjadi sumber utama sebuah kesuksesan. Melainkan kekuatan transenden ilahiyah yang selama ini boleh jadi terus diabaikan. 

Ada pula seorang anak muda usia produktif tiba-tiba terserang lumpuh karena divonis sebagai korban pusaran angin ilmu hitam. Juga seketika itu tersadar bahwa kekuatan usia muda tak selamanya meniscayakan era keemasan. 

Atau seorang ayah yang selama ini hanya mampu menampilkan jurus kemarahan sebagai model pendidikan terhadap anak-anaknya dengan dalih pendisiplinan anak sejak usia dini. Namun di hari berikutnya seorang anak menghampiri sang Ayah sambil berbisik: Saya berulang tahun hari ini. Dan di hari ini pula, saya berjanji untuk lebih banyak diam. Agar ayah tak lagi menghabiskan waktu untuk memarahi dan menghakimi saya. 

Segera Sang Ayah tercengang. Ia seolah baru saja menerima pukulan keras dari muasal yang diketahuinya. Betapa keceriaan anaknya selama ini ternyata telah direnggut paksa oleh sikap sering memarahi setiap waktu. 

Kesemuanya itu merupakan bentuk-bentuk epifani, kekagetan yang menyadarkan makna kehidupan bagi setiap manusia. Di sinilah titik balik kesadaran seseorang dalam menemukan kebahagiaan. Agama menyebut titik balik itu sebagai petunjuk (Hidayah), atau kembali menuju gerbang kesucian (Fitrah).

Karenanya, makin banyak energi dan perilaku positif yang dilakonkan manusia, pintu kebahagiaan itu kian terbuka lebar. Atau setidaknya, daftar kesalahan dan dosa itu tak lagi bertambah setelah dibukanya tabir petunjuk dari langit. Sebab setelah itu, pancaran makna akan terus menerpa seluruh relung kehidupan kita. Betapapun awan kelabu itu acap kali mengabarkan kegelapan. 

Bukankah mereka yang punya kekuatan 'tembus pandang' dikarenakan kesanggupannya melakoni kehidupan bahagia sekaligus merawat kesucian? Maka, nikmat mana lagi yang mesti didustakan setelah kesucian dan kebahagiaan itu membungkus seluruh watak dan tabiat kita? 

Perkenankanlah kehidupan anda bergerak di pusaran langkah menuju kebahagiaan, kesucian dan keabadian itu. Meski tak harus memaksa diri menghadirkan keajaiban 'kun fayakun' atau muslihat sim salabim. Sebab Tuhan begitu senang kepada mereka yang merangkak tertatih meraih kebahagiaan, kesucian dan keabadian. Wallahu A'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa