Seriuskah kita merawat NKRI dalam bingkai kemajemukan? Pertanyaan ini menyeruak di tengah gencarnya gelaran diskusi seputar tema kebangsaan. Mulai dari institusi di level pusat meluber hingga ke berbagai daerah. Belum lagi dengan inisiasi sejumlah organisasi, turut menambah volume ruang-ruang diskusi tersebut.
Namun, ketika mencermati beberapa forum, terdapat kesan bahwa kita sesungguhnya belum benar-benar memahami konsep tersebut.
Hal serupa terlihat saat pihak Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Sulawesi Barat menggelar kegiatan serupa, Selasa, 4 April lalu. Dari sisi konsep pelaksanaan kegiatan, tampak berkeinginan untuk mengolaborasi antara kepentingan sosialisasi Undang-undang Kewarganegaraan dengan Wawawan Kebangsaan, khususnya yang terkait dengan tema Multikulturalisme.
Saya sebagai undangan yang turut hadir sebagai peserta, mencoba menangkap anasir itu. Namun, sayangnya dari tiga narasumber yang dihadirkan, yakni Pihak Kanwil Kemenkumham, Kanwil Kemenag dan Polda Sulbar, seluruhnya berjalan sendiri-sendiri. Tanpa mencoba untuk memberi titik temu yang kiranya dapat menjadi benang merah dari diskusi tersebut. Imbasnya, respon peserta pun berujung hanya sebatas reaksi terhadap isu-isu terkini.
Misalnya, dari Pihak Kemenkumham lebih fokus bicara tentang Regulasi Kewarganegaraan. Sementara dari pihak Polda memaparkan secara sangat normatif. Bahwa Pancasila merupakan Ideologi Negara. Belum lagi dengan pihak Kanwil Kemenag yang mencoba mengurai seputar Wawasan Kebangsaan dalam Menjaga Keberagaman.
Ketika mencoba mendaratkan dalam kerangka praksis gagasan-gagasan yang dikemukakan itu, tampaklah bahwa diskusi tersebut hanyalah bincang-bincang biasa.
Belum lagi dengan komposisi undangan yang dihadirkan berasal dari sejumlah unsur tokoh agama. Belajar dari kelaziman berdialog dengan para tokoh lintas agama, mereka tak terbiasa berbicara jika tak dipersilakan. Lagi-lagi, gelaran diskusi ini tak menemukan 'kunci pas' untuk memahami kelaziman-kelaziman itu.
Padahal, momentum tersebut dapat menjadi ajang diseminasi gagasan seputar Pancasila dalam lokus dan tempus kekinian yang bersumber dari lintas perspektif Agama-Agama.
Semangat Pancasila pada dasarnya harus disemaikan seiring dengan perkembangan zaman. Misalnya dengan menimbang siklus generasi per 20 tahun. Bahwa pola penerapan nilai-nilai Pancasila jelas takkan memiliki kesamaan penerapan dengan generasi zaman kekinian. Sehingga, untuk memulainya, harus ditarik ulang pada penemuan kembali kerangka filosofis terhadap pancasila itu sendiri. Lalu dikontekstualkan dengan kondisi terkini untuk generasi masa kini. Bukan dengan menggunakan parameter jumlah hapalan lagu-lagu nasional.
Kedua, dengan merujuk pada hasil penelitian Prof. Dr. Musafir Pababari (Rektor UIN Alauddin Makassar sekarang) 2003 lalu, terdapat pergeseran nilai kepatuhan (Patron-Client) yang tak lagi seketat dengan pola sebelumnya. Tokoh-tokoh Transformatif (Social Broker) cenderung tak lagi didengarkan. Selain hanya sebatas kepatuhan dalam ritual-ritual religi dan budaya. Sementara, ketika diperhadapkan pada konsensus Politik, pecahannya bisa dalam kepingan afiliasi politik yang cukup banyak, jika tak ingin disebut semakin liar tak terkendali.
Mari belajar pada kekuatan komunitas Thariqat Qadiriyah. Dalam penelitian tersebut, menunjukkan adanya kepatuhan yang cukup kuat ketika periode KH. Muhammad Shaleh. Namun, setelah wafatnya beliau, kepatuhan Jamaah tak lagi massif dan totalitas. Dalam penelitian itu dinukilkan, saat KH. Muhammad Shaleh berada di Partai Golkar, jamaah dihadapkan pada pilihan penuh tanya. Apakah karena kepatuhan terhadap sang Mursyid mengharuskan kita untuk mengikuti sikap hidup sekaligus sikap politiknya? Ataukah sikap politik sang Guru hanyalah sebatas pilihan personal? Namun karena kuatnya kepatuhan terhadap figuritas Social Broker sekelas beliau, maka saat itu, memilih pilihan politik yang sama (Baca: Memilih Partai Golkar) dengan pilihan Sang Mursyid merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bentuk kepatuhan seorang Jamaah. Alias, inilah terjemahan empirik dari makna sebuat baiat.
Fenomena relasi keagamaan dengan dinamika sosial yang terjadi di Jazirah Mandar ini, menurut saya, itu teramat penting untuk diurai lebih lanjut. Bukan justeru membawa peserta dalam hayalan tingkat tinggi, lalu menginjeksi dengan sejumlah aturan-aturan yang serba mengikat. Sebab, ruang dialektika senantiasa meniscayakan hadirnya nafas kearifan para pendahulu. Biar alurnya terang, dan diskusi kita tak melulu menyisakan kesimpulan yang serba remang-remang. Sekian.
Komentar