Langsung ke konten utama

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing. 

"Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso. 

Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah. Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin. 

Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadikan miskin, hidup sebagai orang miskin, meninggal sebagai orang miskin, dan dikumpulkan bersama orang-orang miskin. 

Sebutan miskin ini, jelas harus dibaca dalam sudut pandang rekayasa batiniyah. Bukan sebagai kelompok penerima zakat fitrah atau pun jenis bantuan sosial lainnya. Di sinilah awal mula mengapa setiap pengantar tulisan dalam kitab-kitab masyhur selalu ditandai dengan kata al-Faqir. 

Kedalaman ilmu para ulama tidak justeru membuatnya harus berdiri sebagai sosok Intelektual yang jumawa. Mereka tetap menunjukkan sikap sebagai al-Faqir sebagai identitas dirinya di hadapan Allah swt. Bahwa Ilmu yang disebarkan hanyalah ibarat tetesan air yang dicelupkan. 

Jauh sebelum kesimpulan ini dicetuskan, tokoh Tasawuf sekelas Ibrahim ibn Adham atau Ibrahim al-Adham (w.777) juga telah mewariskan ajaran yang sama. Bahwa pengakuan diri sebagai sosok yang rendah hati jauh lebih penting dari segalanya. Sebab di titik tertentu, kepatuhan terhadap segala bentuk perintah Ilahi takkan punya arti jika akhirnya harus berbuah rasa bangga. Tak ada gunanya menegakkan ritual jika pada akhirnya nanti hanya akan membuat kita terpeleset, jatuh ke jurang nista dan tak termaafkan. 

Bukankah Tuhan telah mengingatkan bahwa ada sekolompok manusia yang mengidap penyakit hati lagi akut. Jika diingatkan agar tak merusak kehidupan di muka bumi, mereka justeru menyerang balik; Menganggap diri sebagai orang-orang yang sedang melakukan perbaikan. Jika ditunjukkan teladan kebaikan, mereka makin menunjukkan kepongahannya sembari menuding para teladan kehidupan sebagai kelompok orang-orang bodoh (as-Sufaha') (Baca QS. 2: 11-13)

Annemarie Schimmel, sosok perempuan Jerman yang menumpahkan pengembaraan inteletualnya untuk menyibak mata rantai persaudaraan ruhani para Sufi menyebutkan, kefakiran pada tingkat pertama adalah menyatakan diri untuk meninggalkan dan menanggalkan beberapa harta duniawi. Meski tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan menyandang predikat sebagai Tuan Tanah, Paling Tajir, maupun gelar-gelar sejenisnya. 

Tidak ada yang benar-benar menjadi milik manusia. Karena itu, derajat ketakwaaan orang kaya yang mensyukuri nikmat Tuhan sebanding dengan orang fakir yang sabar menjalani kefakirannya. Mengapa? Sebab kesyukuran si Kaya karena ia menyelami hakekat kepemilikan. Bahwa dalam saat kapan pun dan dimanapun, segala yang dimilikinya dapat seketika ditarik kembali oleh Sang Pemilik sejati.

Sementara, kesadaran akan kefaqiran mengantar pada aroma kelezatan batin. Sebab ia sadar bahwa tak ada yang mampu dimilikinya selain kerinduan berjumpa dengan Tuhan. 

Ajaran ini menjadi menarik ketika zaman mutakhir semakin menuntut manusia terus menunjukkan segala bargaining, talenta dan kepiawaian. Tapi eloknya kehidupan ini dikarenakan kesanggupan kita merekayasa diri agar tak terjerumus dalam suasana batin yang serba bergemuruh mengejar ambisi yang tak masuk akal. 

Karena itu, kesadaran sebagai al-Faqir bukanlah halangan bagi siapapun untuk menyandang predikat sebagai orang terhormat. Tapi inilah teladan yang diwariskan bagi setiap generasi agar tak lupa diri dengan seluruh fase kehidupan yang dijalaninya. Dunia ji ini!
--------------------------------------------------------

Komentar

Unknown mengatakan…
Mau tanya jika untuk perempuan sebutannya apakah Al faqir jg ?
Anonim mengatakan…
al faqirah ka, CMIIW

Postingan populer dari blog ini

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui