Keberpihakan atau memilih satu di antara banyak pilihan merupakan keniscayaan. Tidak ada ruang di dunia ini untuk berada pada banyak pilihan dalam ruang dan waktu yang bersamaan. Hukum rasionalitasnya menyatakan demikian.
Alhasil, ada banyak kemungkinan yang bakal terjadi. Salah satunya, dengan kemunculan ragam penonjolan berlebih terhadap siapa pun yang dipandang paling pantas meraih sebuah kemenangan dalam pesta demokrasi kelak. Kompetisi ini sepatutnya dimaknai sebagai arena saling menunjukkan energi positif bagi sebuah proses pembangunan di suatu daerah. Namun tak dapat dielakkan, fakta terkini selalu menampilkan banyak hal yang terkadang lepas dari prediksi dan patronase akal sehat manusia.
Kecenderungan untuk saling menghasut, menonjolkan jagoan, lalu menghinakan lawan nyaris telah dipermaklumkan sebagai tradisi yang wajar diterima. Lebih ironis, itu dianggap sebagai bagian dari dinamika berdemokrasi.
Padahal, watak ketimuran kita sejauh ini tak pernah merestui hal demikian. Masih terlalu banyak pilihan-pilihan lain yang lebih positif dari pada sekedar menampakkan watak kebencian antar sesama.
Penting untuk menjadi patron dasar kita. Bahwa pada dasarnya ada keinginan bersama untuk tetap menjaga marwah, merawat diri sebagai satu identitas orang Mandar yang mengedepankan sinergitas karakter Malaqbi. Antara tutur kata, sikap dan perilaku kita kapan pun dan dimana pun.
Syaikh Muhammad Abduh cukup piawai menjelaskan perbedaan antara penyatuan dan persatuan. Katanya, dalam sebuah negara bangsa, penyatuan bukanlah pilihan yang tepat. Sebab di dalamnya memutlakkan hadirnya penyeragaman dan rumus pukul rata atas segala hal. Penyatuan hanya relevan dalam pada momentum tertentu saja. Namun bukan untuk dipermanenkan sebagai agenda kebangsaan.
Sementara persatuan, visi besarnya bukanlah penyeragaman. Persatuan juteru lebih memunculkan keragaman dengan satu catatan penting; bahwa kita semua sepakat untuk menata bangsa ini agar makin baik.
Karena itu, memahami Pilkada sebaiknya sejurus dengan pilihan kita untuk tetap mengedepankan agenda yang lebih besar. Salah satunya dengan tetap menjaga diri agar terus bahagia. Bukankah agenda kebangsaan kita menghendaki agar setiap rakyatnya bahagia?
Dalam artian, merugilah orang yang meramaikan prosesi menuju pesta demokrasi, sementara dirinya dirundung kegelisahan yang mendalam. Tak ubahnya sesosok manusia yang setiap harinya terus mengelak untuk mengakui kelemahan sembari terus menyalahkan orang di luar dirinya sendiri.
Lalu, dari mana kita memulainya?
Hal terpenting, kata para Psikolog, adalah memulai dengan mengubah sudut pandang (framing) terhadap realitas politik. Bahwa terdapat banyaknya silang pendapat dalam perhelatan ini hendaklan terus dibingkai dalam sudut pandang yang benar-benar berenergi positif. Bukan melulu disandarkan pada ruang-ruang negativitas.
Agenda kampanye damai dalam istilah Personal Branding disebut dengan Omnibus Campaign adalah bagian dari rekayasa sosial. Bahwa kompetisi dalam meraih kekuasaan tak mestilah selalu dibelokkan ke dalam sudut pandang yang picik. Di sini, dibutuhkan orang-orang yang memiliki kecakapan melenturkan kebekuan komunikasi yang boleh jadi muncul setiap saat di antara para kandidat. Kita butuh orang-orang yang mampu melenturkan ruang hampa komunikasi politik.
Di saat yang sama, juga sebaiknya menjauhkan para komunikator politik yang cenderung kegirangan jika menemukan sebuah panggung. Sebab itu cukup berbahaya dalam konteks omnibus campaign. Kecenderungannya tak mampu menjalankan roda diplomasi politik dengan baik.
Di alam transisi menuju pendewasaan berdemokrasi ini, kita membutuhkan stok sumberdaya komunikator politik yang cakap berdiplomasi. Bukan yang justeru melebarkan sayap-sayap permusuhan. Sekali lagi, pemihakan itu niscaya. Di panggung politik, meraih kemenangan itu biasa. Tapi akan lebih luar biasa jika di tempat yang sama, kita mampu meraih kebahagiaan. Jangan lupa bahagia, Bro!!!
Komentar