Langsung ke konten utama

Stagnasi Toleransi

Gagasan Toleransi akhir-akhir ini tampaknya terus tergerus tanpa daya tangkal. Toleransi di Indonesia terasa memperoleh pukulan telak setelah munculnya kasus dugaan penistaan Agama. Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok diduga telah menistakan agama lewat Qs. Al Maidah: 51.

Pihak Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PB.NU) telah mempermaklumkan bahwa di balik kisruh yang menasional ini, ada jurang besar terhadap masa depan toleransi berbangsa dan bernegara. Sebab di sana, justeru menjadi surga bagi mereka yang telah lama merasa 'hidup sempit-terhimpit' dengan keragaman, toleransi dan multikulturalisme. 

Ajaibnya, kata Yenny Wahid, Direktur Wahid Institute, para pihak yang hari ini concern menjaga dan merawat semangat ke-bhinneka-an juga diseret pada tuduhan sebagai bagian dari partisan salah satu calon Gubernur. Sekaligus diposisikan sebagai agen kekuatan yang harus melawan gerakan radikalisme. 

Dalam tinjauan opini publik, jelas telah mewabah sebagai lemparan informasi yang meluber ke nalar publik, tanpa disertai saringan serta daya tapis yang memadai. Hari ini, untuk sekelas pertemuan arisan saja, tema Penistaan Agama telah mengawali sekaligus mengakhiri seluruh perbincangan yang ada. Padahal nyata bahwa itu merupakan isu ibukota, bukan seperti kita yang mendekam di sudut kota. 

Untuk lepas dari ruang stagnan itu, rancang bangun terhadap toleransi tentu tak cukup jika hanya dikemas sebagai wacana akhlak bangsa. Mesti didesakkan sebagai bagian dari normativisasi bernegara. 

Dalam kajian Setara Institute (2014) memandang, Pertama, pengangkatan personil Kepolisian, Kepala Kantor Kementrian Agama, dan Kepala Badan Kesbangpol harus berasal dari performa bercorak pikir toleran, pluralistik, multikultural, serta berwawasan ke-Bhinneka-an. Jabatan-jabatan ini dituntut agar mampu bergerak utuh menerapkan agenda toleransi, pluralisme, dan multikulturalisme. Di tangan mereka, kita menantikan performa yang meneduhkan lagi menyejukkan agar tak terjadi stagnasi toleransi di tengah-tengah masyarakat. 

Bukan sebaliknya, menjadi bagian dari aktor negara yang mewariskan radikalisme, baik dalam pola pikir maupun sikap hidup serta dalam pengambilan kebijakan. 

Kedua, Ide konstitusi tentang kebebasan beragama seharusnya menjadi azimat mujarab bagi seluruh pemangku kebijakan. Baik di tingkat nasional maupun lokal.  Di sinilah ruang terpenting mengatur tatanan berbangsa agar yang mayoritas mampu memahami toleransi dalam bentuk menahan diri. Sementara bagi yang minoritas lebih menampakkan diri dalam bentuk tahu diri. Sehingga keduanya tak ada sikap dan perilaku sewenang-wenang. 

Ketiga, Negara harus hadir di hadapan aktor-aktor intoleransi. Negara seharusnya, tidak tampil mengakomodasi sejumlah agen yang justeru berimplikasi mengoyak semangat toleransi. Terlebih jika sampai melegitimasi keberadaannya hingga ke tingkat daerah. 

Pembinaan terhadap ormas sepatutnya dilandasi oleh patron toleransi. Sehingga, jika terdapat lembaga atau organisasi yang tidak berpijak pada kerangka di atas, Negara memiliki otoritas untuk membubarkannya. Apalagi jika sampai melakukan tindakan kekerasan, jelas itu bukan hal yang dapat dibiarkan hidup lebih lama.  

Sejumlah poin di atas, kiranya dapat menjadi bagian dari catatan untuk dikaji lebih dalam sebagai refleksi jelang akhir tahun ini. Sekaligus dapat berguna sebagai alas berselancar menjaga martabat bangsa dari sudut manapun. Sekian

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa