Langsung ke konten utama

Diplomasi Kematian

"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama, Ibrahim berkata: "Wahai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (Qs. As-Shaffat: 102)

Firman Allah di atas menyiratkan tentang kisah Nabi Ibrahim As bersama puteranya, Ismail As. Tak tanggung-tanggung, Ibrahim mendapat wahyu agar putera tersayangnya itu disembelih. Bukan oleh orang lain, tapi dirinya sendiri. 

Naluri seorang ayah tentu tak terbendung. Tak cukup jika sebatas meneteskan air mata. Saat itu, Ibrahim sedang berjuang menghadapi tekanan batin. Ia dihadapkan pada pilihan; patuh kepada Wahyu atau bertahan atas nama kasih sayang terhadap seorang anak. Demikian halnya dengan Ismail As. Ia begitu lugas menjawab dengan kalimat persetujuan, tanda kerelaan menjalani petunjuk Ilahi. 

Mari menyimak kisah ini bukan dalam perspektif mukjizat Sang Nabi. Melainkan sebagai gambaran atas sikap Ibrahim maupun Ismail yang mampu berdiplomasi dengan kematian. Keduanya begitu cepat menangkap pesan kematian dalam bentuk lain. Bahwa tak ada guna jika harus hidup dengan perlawanan terhadap perintah Tuhan.

Rupanya benar pesan para pujangga. Bahwa sebelum menancapkan pesan perdamaian terhadap semesta, yang lebih penting adalah kesiapan untuk bedamai dengan pikiran kita sendiri. Bukankah dalam kehidupan kita seringkali terjajah oleh pikiran, atau lebih tepatnya, sangkaan yang kita ciptakan sendiri?

Anda bisa bayangkan, usia muda seorang Nabi Ismail yang sepatutnya memafaatkan darah mudanya untuk beraktualisasi diri. Justeru di saat itu, ia harus dihadapkan pada keputusan antara mempertahankan kehidupannya, atau melepas segalanya sebagai kentuk ketundukan penuh terhadap pesan suci dari Tuhan. 

Tidak berhenti sampai disitu, Kisah Ibrahim bersama puteranya, Ismail As, kini menjadi sorotan teranyar bagi para motivator, khususnya pelaku bisnis. Temanya hanya satu, yakni seputar makin rumitnya generasi saat ini menemukan jati diri, walau sekedar dalam urusan pengambilan keputusan. Tak jarang ditemukan ada yang berkeinginan hidup dalam suasana serba ganda. Bahkan dalam urusan memilih profesi sekalipun. Akibatnya, walau secuil, tak satupun ditemukan hasil. 

Imbas yang teramat mudah ditemukan atas fakta ini adalah makin padatnya angkatan kerja yang tak memiliki nyali sebagai pemimpin. Lebih banyak yang memilih menjadi karyawan pada sebuah institusi maupun perusahaan. Sebaliknya, hanya sedikit di antara generasi masa kini yang berani memilih jalur sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Lebih dari itu, ia mampu menciptakan medan kerja yang benar-benar baru. 

Oleh Rhenald Kasali, menukilkan bahwa, mungkin kita semua sepakat, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar dalam kehidupan. Sayangnya banyak orang tua yang masih berpikir, kalau anaknya juara kelas, pintar di sekolah, pasti akan pintar menjalani hidup.

Untuk itulah, lanjut Rhenald, sering kita lihat orang tua yang amat protektif, membuat anak merasa sudah belajar walau itu hanya di sekolah. Sedangkan perjalanannya menuju sekolah, pergaulannnya, kebiasaannya mengambil keputusan dalam keadaan sulit, selalu disterilisasi orangtua.

"Apalagi bila orang tua punya kuasa, banyak koneksi, punya uang, maka semua itu akan distrerilisasi lebih luas lagi. Padahal yang membentuk orang tuanya hari ini sukses sudah jelas: orangtua mereka tak seprotektif mereka. Kalau sudah begitu, apa hasilnya? Anda lihat sendiri, banyak anak-anak pandai di sekolah tak berdaya saat di-bully kawan-kawannya, kurang bergaul, dan bila dikejar anjing di kampung, ia tidak bisa melompat, larinya tercekat," tulisnya.

Dan di usia dewasa, ia bisa menjadi sosok yang sulit bagi teman-teman, pasangan dan koleganya. Ia akan merasa terus pandai, seakan-akan kecerdasaannya tetap, tak berubah. 

Inilah tantangan generasi dewasa ini. Jika Nabi Ismail telah berhasil melakonkan diri sebagai karakter yang berani menghadapi maut. Setidaknya anak muda hari ini dituntut agar berani menunjukkan nyalinya memilih sikap hidup yang terang. Resiko tentu ada. Sebab kita masih di dunia. Belum di Surga. Selamat ber-Idul Qurban.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa