Langsung ke konten utama

Bisakah ASN Netral di Pilgub?


Aparatur Sipil Negara (ASN). Dahulu disebut dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Keberadaannya selalu menarik dicermati khususnya setiap kali hajatan politik digelar. Dilema yang terus dihadapi adalah tuntutan agar dapat bersikap profesional, serta netral dalam politik. Tapi di sisi lain, seluruh kebijakan yang dijalankan, adalah bagian yang tak terpisahkan dari 'keringat' politik.

Sesungguhnya, ada sandera kepentingan yang saling tarik-menarik terhadap basis birokrasi ini. Populasinya tentu cukup menggiurkan. Dalam artian, kekuatan birokrasi cukup diperhitungkan.

Tapi di sisi lain, ada ketidak percayaan terhadap mekanisme pengisian jabatan yang terus dituding melompati fase analisis jabatan. Artinya, selalu ada persepsi miring yang menimbulkan kesimpulan negatif. Bahwa selama ini, pola pengisian jabatan tak sepenuhnya profesional. Alih-alih memaksa ASN untuk profesional, toh urusan jabatan saja diterapkan secara tidak profesional.

Dapat dibayangkan, ketika sebuah jabatan diisi oleh personal dengan latar belakang yang sangat jauh dari basic keilmuan dan pengalamannya. Satu-satunya kehebatan yang dimiliki adalah kecakapan memuji atasan di depan umum. Termasuk di dalamnya, ketangkasan dalam memanfaatkan momentum politik.

Di sinilah pintu masuk kegenitan politik para ASN. Bukan hal tabu ketika menemukan ASN secara vulgar menyatakan sikap politik. Itu bukan karena loyalitas yang hendak dipertontonkan. Melainkan bentuk lain dari sikap kegenitan politik para abdi negara. Alias hendak dihitung sebagai bagian dari keringat politik yang memerlukan balasan budi di kemudian hari.

Fenomena ini jelas bukan barang baru. Tidak cukup jika menyorotinya dalam tangkapan normatif semata. Ada dimensi lain yang mesti dicermati lebih serius. Ini soal watak birokrasi. Ini soal kepribadian orang per orang.
Dimensi yang dimaksud adalah terkikisnya mental yang berintegritas, punya dedikasi terhadap profesi yang digeluti. Dari aspek orientasi hidup, kegenitan politik para ASN makin menegaskan satu hal. Bahwa ruang aktualisasi diri di kehidupan mereka belumlah tuntas seutuhnya. Jadilah mereka bagian dari makhluk dengan krisis akut yang melanda batin mereka.

Jadi, jauh sebelum menemukan jawaban seputar netralitas ASN, hal lebih penting adalah menemukan kembali watak asli para ASN itu. Apakah selama ini tulus bekerja sebagai abdi negara? Ataukah memang selama ini hanya menyibukkan diri dengan setumpuk angan-angan merebut jabatan?

Semua itu dapat tercermin dari kegenitan politik mereka di momentum politik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa