Aparatur Sipil Negara (ASN). Dahulu disebut dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Keberadaannya selalu menarik dicermati khususnya setiap kali hajatan politik digelar. Dilema yang terus dihadapi adalah tuntutan agar dapat bersikap profesional, serta netral dalam politik. Tapi di sisi lain, seluruh kebijakan yang dijalankan, adalah bagian yang tak terpisahkan dari 'keringat' politik.
Sesungguhnya, ada sandera kepentingan yang saling tarik-menarik terhadap basis birokrasi ini. Populasinya tentu cukup menggiurkan. Dalam artian, kekuatan birokrasi cukup diperhitungkan.
Tapi di sisi lain, ada ketidak percayaan terhadap mekanisme pengisian jabatan yang terus dituding melompati fase analisis jabatan. Artinya, selalu ada persepsi miring yang menimbulkan kesimpulan negatif. Bahwa selama ini, pola pengisian jabatan tak sepenuhnya profesional. Alih-alih memaksa ASN untuk profesional, toh urusan jabatan saja diterapkan secara tidak profesional.
Dapat dibayangkan, ketika sebuah jabatan diisi oleh personal dengan latar belakang yang sangat jauh dari basic keilmuan dan pengalamannya. Satu-satunya kehebatan yang dimiliki adalah kecakapan memuji atasan di depan umum. Termasuk di dalamnya, ketangkasan dalam memanfaatkan momentum politik.
Di sinilah pintu masuk kegenitan politik para ASN. Bukan hal tabu ketika menemukan ASN secara vulgar menyatakan sikap politik. Itu bukan karena loyalitas yang hendak dipertontonkan. Melainkan bentuk lain dari sikap kegenitan politik para abdi negara. Alias hendak dihitung sebagai bagian dari keringat politik yang memerlukan balasan budi di kemudian hari.
Fenomena ini jelas bukan barang baru. Tidak cukup jika menyorotinya dalam tangkapan normatif semata. Ada dimensi lain yang mesti dicermati lebih serius. Ini soal watak birokrasi. Ini soal kepribadian orang per orang.
Dimensi yang dimaksud adalah terkikisnya mental yang berintegritas, punya dedikasi terhadap profesi yang digeluti. Dari aspek orientasi hidup, kegenitan politik para ASN makin menegaskan satu hal. Bahwa ruang aktualisasi diri di kehidupan mereka belumlah tuntas seutuhnya. Jadilah mereka bagian dari makhluk dengan krisis akut yang melanda batin mereka.
Jadi, jauh sebelum menemukan jawaban seputar netralitas ASN, hal lebih penting adalah menemukan kembali watak asli para ASN itu. Apakah selama ini tulus bekerja sebagai abdi negara? Ataukah memang selama ini hanya menyibukkan diri dengan setumpuk angan-angan merebut jabatan?
Semua itu dapat tercermin dari kegenitan politik mereka di momentum politik.
Komentar