Langsung ke konten utama

Media dan Pendidikan Politik

Dalam sebuah diskusi dengan sejumlah tim pemenangan (baca: tim sukses), media acapkali menjadi objek perbincangan yang cukup diseriusi. Pertanyaan utamanya; apakah media benar-benar memiliki kontribusi aktif terhadap agenda pendidikan politik? Ataukah ini sebatas sajak-sajak kompromistis agar terhindar dari praktik berhadap-hadapan dengan media.

Sejauh yang kita pahami, media dipandang memiliki posisi strategis dalam proses pencerdasan publik, khususnya di ranah politik. Media dianggap mampu menginjeksi alam berpikir publik dengan sajian konten yang menarik, serta tak luput dari sensasi. 

Namun harus juga diakui bahwa media, khususnya media lokal masih cenderung rigid dalam menciptakan inisiatif serta lompatan berpikir yang diprediksi belum ditangkap oleh nalar publik. Artinya, ketika nalar publik lebih cakap dan tanggap memetakan fakta politik, media akan mengalami mati suri. 

Sebaliknya, jika media mampu berpikir melampaui alur pikir publik, percayalah, itu tak hanya menciptakan letupan informasi. Tapi, juga mampu mengupas kejumudan berpikir publik yang telah terlampau lama berlangsung. 

Contoh paling faktawi atas pemberitaan politk dewasa ini tertuang dalam hasil penelitian salah seorang akademisi Universitas Indonesia (UI), Ibn Hamad. Katanya, terdapat kecenderungan perbedaan konten berita politik di belahan Indonesia Barat dengan Indonesia Timur. Produksi pemberitaan politik yang tersebar di kawasan Indonesia Timur cenderung bersifat kuantitatif. Dalam artian, lebih banyak menghasilkan corak berita politik yang mengedepankan aspek mobilisasi. 

Sehingga wajar ketika dalam sejumlah momentum mobilisasi massa, seringkali diikuti dengan corak pemberitaan yang sangat bombastis dan sensasional. Berikut dengan sajian jumlah massa yang luar biasa banyaknya. 

Adapun di belahan Indonesia Barat, pola kualitatif cenderung lebih ditekankan. Ketika tejadi momentum kampanye politik, pemberitaan seputar mobilisasi massa telah ditinggalkan. Media di belahan Indonesia Barat justeru lebih gandrung mencermati soal apa yang menjadi 'isi kepala' sang Kandidat. Mereka lebih sibuk untuk mengejar seluruh cita-cita visioner para figur publik. Adapun tentang jumlah massa yang mengikuti kandidat, itu relatif diabaikan. 

Alasan pembedaan ini cukup mendasar. Pertama, kepentingan sebaran oplah masih mendominasi kepentingan media di Indonesia Timur. Deviasi antara kepentingan oplah dengan kepentingan redaksi masih relatif senjang. Sementara di Indonesia Barat, kepentingan oplah dipandang sejurus dengan kecerdasan tim redaksi dalam menciptakan isu. Jika isu menarik, oplah pasti meningkat. 

Kedua, pasokan sumber daya manusia (SDM) dalam perusahaan media telah lebih awal dimenangkan oleh mereka yang berada di Indonesia Barat. Misalnya dari sisi standar pendidikan, telah mewajibkan untuk merekrut SDM dengan stadar Strata Satu (S1), cakap dalam Dwi Bahasa, berjejaring, serta memiliki indikator kinerja yang jelas. 

Sebaliknya, pada kondisi yang lain, proses rekrutmen SDM media relatif belum diutamakan. Rumus umumnya, cukup mencari sumber daya yang siap menerima perintah redaksi, siap bekerja di bawah tekanan (under pressure), tanpa harus mengetahui kesiapan mental maupun intelektualnya. 

Lebih miris, ketika diikuti dengan ketidaksiapan perusahaan media untuk memberi kesejahteraan memadai (salary) bagi wartawan. Di sinilah awal mula munculnya oknum wartawan yang terus meminggirkan idealisme bermedia. Independensinya jelas akan mudah terluka, lalu dibalut dengan penawar yang bersumber dari lintas kepentingan yang tak ditakar sebagaimana mestinya. 

Implikasi atas dua pilihan ini pada akhirnya bakal menciptakan sajian pemberitaan politik yang tentu berbeda. Satu di antaranya akan terus berfokus pada kepentingan pendidikan politik. Sementara di sisi lain, kemungkinan masih akan ditemukan banyaknya media yang abai terhadap agenda pendidikan politik. 

Akan lebih arif dan bijaksana, jika media berkenan membangun konsep dan konsensus lintas media dalam meneropong masa depan politik, khususnya di Sulawesi Barat. Lebih jitu lagi jika media mampu 'merekayasa' iklim berpolitik ke arah yang lebih baik. Karena itu, kritislah terhadap apa yang menjadi visi dan misi para Kandidat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa