Langsung ke konten utama

Pesan Haji, Pesan Politik

Ibadah Haji, bagi umat Islam merupakan ritual kolosal yang berlangsung setiap tahun. Kepadatan Jamaah hingga daftar tunggu menandakan betapa rukun Islam yang kelima ini sangat didambakan oleh siapapun. 

Namun jangan lupa, di balik kesucian serta janji surga bagi yang berhaji, pesan morilnya tentu jauh lebih penting. Sebaliknya, bagi yang mengabaikan hal itu, dapat dipastikan hanya akan mendapatkan derajat terhina di mata Tuhan. Bukan lagi haji Mabrur. 

Haji, khususnya di Indonesia, telah tampak bukan sebatas ritual belaka. Sebab setelah perjalanan suci itu, status sosial pun drastis berubah, bergeser ke posisi yang serba terhormat di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, sejatinya pesan Haji dapat mengalami artikulasi yang tak bertepi. Dalam artian, mampu menjadi bagian dari akhlak berbangsa. Termasuk di dalamnya akhlak berpolitik.


Setidaknya kita dapat merujuk kepada peringatan Tuhan terhadap larangan dalam berhaji. Pertama, Rafats. Oleh Atha' bin Ali Rabah, mengatakan, Ar-Rafats berarti senggama dan selain itu, misalnya ucapan kotor. Singkatnya, salah satu larangan haji adalah munculnya tutur kata yang beraroma porno serta bentuk-bentuk ucapan kotor lainnya. 

Larangan ini tak ada tawar-menawar di dalamnya. Sehingga bagi siapapun yang terjebak dalam ucapan yang terkategori kotor, maka tandailah diri anda sebagai pelaku haji yang tak dapat mereguk pesan moril di dalamnya. Alias Haji anda tak punya arti apa-apa.    

Kedua, Fusuq. Oleh Muqsim serta ulama lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Yaitu segala perbuatan maksiat. Sedangkan ulama lainnya menuturkan, yang dimaksud al-fusuq disini adalah caci maki. Rasulullah SAW bersabda: Mencaci-maki orang muslim merupakan suatu kefasikan dan memeranginya merupakan kekafiran. 

Dalam uraian Abu Syafwan, bagi Ad-Dhahhak, al-fusuq berarti memberi gelar buruk. Yang benar adalah mereka yang mengartikan al-fusuq disini segala bentuk kemaksiatan. 

Ketiga, Jidal. Mengenai hal ini, terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: Allah telah menjelaskan hal itu secara tuntas dan sempurna, sebagaimana Waqi' menceritakan, dari Al-'Ala' bin Abdul Karim, aku pernah mendengar mujahid membaca "walaa jidala fil haj" seraya mengatakan, Allah telah menjelaskan bulan-bulan haji yang di dalamnya tidak terdapat berbantah-bantahan di kalangan umat manusia. Masih mengenai firman-Nya ini, Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: "Yang dimaksudkan adalah bertengkar dalam berhaji.

Pendapat kedua, yang dimaksud dengan berbantah-bantahan disini adalah perselisihan. Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Abdullah bin Mas'ud, yang dimaksud adalah jika engkau mencaci sahabatmu sampai engkau membuatnya marah.

Selanjutnya, baik Fusuq maupun jidal mungkin relatif mudah dijauhkan walau itu sifatnya sementara. Namun, rafats cukup sulit. Karena selalu muncul setiap saat, tanpa disadari. Mulai dari satu kata (ucapan), kemudian berkembang ke sana ke mari tanpa kendali menjadi ghibah (membicarakan orang lain), namimah (adu domba), dan fitnah (mengatakan sesuatu dari atau bagi orang lain tanpa fakta yang jelas).

Karena itu, sepatutnya pesan Haji ini dapat terjun bebas menjadi pesan Politik. Kita mendambakan hadirnya iklim serta pelaku politik yang mampu menjadi kendali, walau atas dirinya sendiri. Ia mampu berada pada dua zona kepribadian; tahan diri dan tahu diri. Adakah harapan akan wujud nyata dari pesan ini? Entahlah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui