Langsung ke konten utama

TV-mu, Kiblatmu

Pertanyaan sederhana yang hingga kini masih relevan diperdengarkan; masihkah Televisi berfungsi manfaat? Ataukah nilai madharatnya telah melambung jauh dari apa yang masih terpikirkan? 

Secara teoritis, televisi merupakan medium informasi yang menggerakan dua alat indera manusia dalam satu sumber yang sama. Ketika mata menyorot televisi, telinga pun tak memerlukan durasi berjangka waktu untuk memahami pesan yang terdengar. 

Tapi itu tak cukup. Sebab di balik layar teknologi canggih itu, tersimpan beragam sajian yang bukan hanya memerlukan analisa mendalam. Tapi juga membutuhkan daya gugat yang tegas. Sebab hampir pasti, otak manusia nyaris bernasib sama dengan sampah ketika seluruh hasil produksi tayangan Televisi telah merasuk ke dalam ingatan.   

Anggaplah ini sebagai Ideologi yang sedang merambat di balik layar. Maka, jangan menduga, masyarakat kita hanya memiliki etos kerja menonton dengan durasi panjang. Sebab setelah itu, hasil konstruksi tayangan televisi akan menjelma sebagai karakter setiap pemirsa. Jika ada orang yang terlampau doyan dengan sinetron, kemungkinan sederhananya akan 'merekayasa' diri sebagai penghuni rumah tangga layaknya aktor sinetron itu. Semua sangat tergantung kepada siapa ia mengidolakan sesuatu. 

Pada tayangan lainnya, saat ini sudah tidak mengherankan jika ada seseorang yang mendadak punya talenta bernyanyi. Kendati dalam daftar riwayat hidupnya tak pernah sedikitpun terungkap. Nyatanya, ketika ditanya muasal bakat yang mendadak itu, ia pun menjawab bahwa itulah hasil dari aktivitas menonton sebuah audisi musik berbulan-bulan lamanya. 

Resonansi hidup yang berkiblat ke Televisi saat ini juga terus bergerak ke kawasan lain. Proses impor Film India saat ini telah terlampau meninabobokan ruang kehidupan tiap-tiap rumah tangga. Mengapa, sebab tak jarang ditemukan, tugas dan tanggung jawab seketika sirna, tergulung oleh rasa penasaran terhadap alur cerita Film dari Negeri Para Dewa itu. 

Pertanyaan penuh gugat kiranya penting digaungkan. Akan bagaimana nasib bangsa ini jika kehidupannya telah bergeser dari kehidupan yang sebenarnya, menuju alam khayali? Dari dunia nyata ke dunia maya? Dari alam aksi ke alam ilusi? 

Beberapa tahun sebelumnya terasa sangat getol program Matikan TV-mu. Tapi dimana kini program bernada propagandis itu? Tampaknya, kita mulai lelah sambil pasrah dengan gempuran tayangan televisi. Rasa-rasanya kita lebih memilih duduk manis di depan televisi sembari melantiknya sebagai kiblat kehidupan kita. 

Pada segmentasi rumah tangga, kehadiran Televisi telah diterima dengan baik. Bukan sebagai tamu yang datang ke rumah. Televisi ibaratnya, telah menjadi tuan bagi rumah kita masing-masing. 

Sekedar menjadi pengendali remote-pun mulai susah. Ingat, memindahkan channel dari satu siaran yang digandrungi oleh seorang Isteri sama halnya membangunkan singa yang sedang tidur. Implikasinya dapat melebar kemana-mana. Sebab sekali lagi, Televisi telah menjadi tuan di rumah kita masing-masing. 

Sebaliknya, tak ada lagi gerakan apalagi gebrakan yang mencoba menyajikan gagasan tanding terhadap ihwal ini. Saya kuatir, jangan-jangan televisi benar-benar telah menjadi kiblat kita. Adapun sajiannya, juga telah nyaris sempurna sebagai 'agama' kita. Anda pun bisa kuatir, sama dengan kekuatiran saya. Tapi, kata Nabi Saw, itulah selemah-lemahnya Iman. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui