Dalam tinjauan sepintas, sekularisme sebatas dipahami sebagai praktik pelucutan agama dari ruang kehidupan umat manusia. Sekularisme bahkan kerap dipandang senang berhadap-hadapan dengan agama hingga mewujud sebagai bagian dari musuh peradaban sepanjang zaman.
Sebatas pengetahuan tersebut, bagi Muhammad Hasan Qadrdan Qaramaliki memberi pemetaan baru dalam memahami posisi serta konsep Sekularisme. Dalam buku "Alquran dan Sekularisme (2011)", Qaramaliki memetakan sekularisme, atau lebih tegasnya, sekularisme religius dalam empat tipe.
Yakni pemisahan agama dari dunia, pemisahan agama dari politik, pemisahan agama dari pemerintahan, dan pemerintahan agamawan. Bukan Pemerintahan agama.
Jika dilihat dari kutub terbesarnya, sekularisme bersumber dari dua alas. Pertama, alas ateisme. Yakni pengingkaran penuh terhadap konsep di luar dimensi materi. Sehingga bicara soal Tuhan, malaikat serta berbagai bentuk-bentuk kegaiban lainnya, segera akan disanggah sebagai perbincangan ilusi saja. alias tak punya bukti empirik di ruang materi.
Ateisme akan sangat tegas menantang siapapun yang mengagungkan kehadiran Tuhan, serta berbagai makhluk gaib lainnya. Jadilah sekularisme bukan sekedar pemisahan agama dari dimensi duniawi. Tapi jauh lebih mengerikan. Sebab agama justeru dilenyapkan dari denyut nadi kehidupan.
Kedua, alas pikir deisme. Bagian ini seutuhnya percaya pada kehadiran Tuhan. Akan tetapi, deisme menyangkali peran-peran wahyu, risalah dan kenabian. Pada praktiknya, ia menghendaki perilaku salto sekaligus jumping dalam menjalankan tradisi serta mengartikulasi sebuah keyakinan. Mereka amat sangat percaya kepada Tuhan. Namun selainNya, akan ditangkap sebagai hukum kausalitas semata.
Padahal tanpa sadar, sesungguhnya mereka pun sedang melucuti 'kehadiran' agama dari seluruh sendi-sendi kehidupan. Implikasi atas keyakinan model ini, agama hanya akan menjadi komoditas personal yang lumpuh jika dipertaruhkan dengan ruang kehidupan sosial.
Di sisi lain, pintu masuk agar makin menguat gerakan sekularisme ini ada pada gagasan tafsir atas firman Tuhan (baca; al Quran). Mereka menghendaki agar pembacaan terhadap teks wahyu dapat dibaca lebih kritis. Bila perlu, harus dibedah dalam kerangka penuh keragu-raguan. Muncullah konsep Hermeneutika yang digagas oleh Schleiermacher, William Dilthey serta George Gadamer.
Pada gagasan Hermeneutika, pembaca wahyu, terus dipaksa untuk menggugat sang pembuat Teks Wahyu (baca; Tuhan). Alasannya, untuk memastikan maksud dari sebuah teks, diperlukan pisau bedah terhadap persepsi dan preasumsi pembuat Teks Wahyu.
Qaramaliki, sekali lagi, menangkap hal ini sebagai kerangka pikir yang saling tak memiliki titik ketersambungan satu sama lain. Sebab pintu relativisme, sangat mudah diruntuhkan oleh kepastian-kepastian yang dipaparkan melalui wahyu ilahi.
Karena itu, membaca bahkan memetakan sekularisme dewasa ini, titik tekannya ada pada kepentingan alias ideologi untuk membisukan agama dalam dimensi kehidupan. Jika agama bisu atau disumpal, masihkah ada arti berketuhanan?
Komentar