Langsung ke konten utama

Lonceng Kematian

Selain soal etape perjalanan spiritual (maqamat), tema seputar kematian tak luput dari sorotan utama para hukama, arif billah, maupun sufi.

Perspektif yang terbangun dari tema ini jelas bukan lagi ditangkap sebatas misteri terpisahnya roh dan jasad. Melainkan telah terbang menjadi 'perdebatan' manis; kematian adalah cara berjumpa dengan Tuhan.

Bukan itu saja, tema kematian seringkali dibenturkan dengan tema Shalat. Pertanyaannya sederhana namun perkasa; untuk mendekati makrifat, manakah yang mesti lebih awal diselami antara Shalat ataukah Kematian?

Bagi kita yang masih awam memang akan selalu menangkapnya sebagai misteri yang sungguh menakutkan. Jika di antara sekelompok manusia diajak mengikuti arisan kematian, pastikanlah bahwa tak satupun bakal berkenan ikut sebagai peserta arisan.

Marilah memerhatikan betapa gegap gempitanya manusia modern hari ini saat merayakan moment ulang tahun. Pesta pora dirayakan, ribuan handai taulan dihadirkan, dan doa-doa dipanjatkan. Kita yang hadir sontak bergembira ria sembari bernyanyi, Panjang Umurnya....

Mari bertanya, apakah kesan ulang tahun itu mensyaratkan pesan panjang umur ataukah sebaliknya? Saya teringat pada pesan Imam Ali bin Abi Thalib. Katanya, setiap tarikan nafas adalah lonceng kematian bagi umat manusia. Makin sering anda menarik nafas, makin berulang pula lonceng kematian itu mengingatkan sisa masa berbakti di muka bumi. Meski pesan ini bukan berarti menyuruh anda untuk menahan nafas. Sebab itu juga bentuk lain dari cara mempercepat kematian.

Ada pesan para Sufi tentang kematian. Bahwa matilah kalian sebelum Mati (Mutu Qabla an Tamutu). Apa maksudnya?

Dalam tangkapan spiritualisme, kematian itu tak melulu dalam satu wujud sederhana. Ada kematian biasa ada pula kematian luar biasa.

Kematian biasa dapat diraih oleh makhluk manapun. Ayam yang melintas di jalan lalu ditabrak mobil, anjing yang mati juga karena ditabrak mobil, keduanya mati 'seadanya'.

Manusia pun ada yang mati seadanya. Tanpa persiapan apa-apa, manusia acapkali melepas diri dari kehidupan dunia ini dengan kematian yang juga 'seadanya'. Sekali lagi, bagi sufi terus bertanya: Lantas apa bedanya kematian manusia dengan ayam maupun anjing yang tertabrak di lintasan jalan?

Ada pula jenis kematian luar biasa. Yaitu kematian yang dinantikan lagi dipersiapkan. Bagi yang memahami ihwal kematian jenis ini, tentu bukan saja tahu kapan dirinya menghadap Tuhan. Tapi yang terpenting, ia tahu seberapa pantas dirinya menghadap Ilahi.

Di sinilah suara lonceng kematian manusia itu berbunyi penuh makna. Dengan kata lain, setiap tarikan nafasnya akan selalu berdecak kagum pada apapun yang disajikan Tuhan sepanjang hayatnya. Ia ridha dengan takdirnya.

Karena itu, bagi siapapun yang berulang tahun, kiranya tak cukup berbangga hati dengan ucapan selamat ulang tahun serta sederet harapan panjang umur. Sebab makna lain dari pesan ulang tahun, ada pada kesadaran terdalam batin kita. Bahwa hidup ini kian mendekati masa pelapukan. Tergantikan oleh kehidupan baru setelah kematian.

Mari memilih di antara keduanya. Mati seadanya ataukah mati dalam kesadaran penuh. Ingat, Tuhan senang kepada setiap hamba yang sempurna merindukan perjumpaan setelah kematian. Semoga seluruh lonceng kematian kita terus berbunyi dalam senandung kerinduan menghadap Tuhan kelak. (...)

Terbit di Harian Radar Sulbar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui