Langsung ke konten utama

Harmoni Untuk Kemanusiaan

Hampir seluruh kajian pemikiran maupun filsafat masih terus bergumul di kisaran kemanusiaan. Tak sedikit di antaranya harus mengalami kesimpulan patah, diakibatkan ketidak sanggupannya mengungkap misteri kemanusiaan.

Pun dengan apa yang sedang dan terus kita alami dewasa ini. Sisi kemanusiaan dalam bingkai bernusantara kian dibincang dengan ragam kalimat-kalimat penjelas.

Sebutlah hari ini ketika dunia sedang dibuat linglung akibat ulah sekelompok orang yang hendak memaksakan hasrat ideologisnya. Lalu menjadikan sekian banyak manusia tak berdosa harus menjadi korban kebiadaban itu.

Karena dalih_bukan dalil_ ingin menyeragamkan paham keagamaan, selainnya terdikotomi sebagai kelompok yang tak layak menghirup udara segar di alam syurga. Jelas ini sebuah ironi di tengah sandaran filosofi kebangsaan kita yang mengajarkan pentingnya membumikan pesan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pandangan ini bukan hanya keliru. Tapi juga sedang mencabik-cabik warisan kebhinnekaan sebagai organ fundamental di Negara ini. Dengan begitu, seluruh anak bangsa mestilah melihat fenomena ini sebagai alamat buruk masa depan negeri kita. Sebab harmoni kemanusiaan telah menjadi runtuh sedemikian rupa.

Kita percaya, agama manapun takkan pernah mengajarkan kebiadaban. Agama manapun tak pernah mewariskan kekejaman. Sebaliknya, setiap agama menjanjikan ganjaran kebaikan bagi penganutnya.

Dengan alas pikir harmoni untuk kemanusiaan, tugas kita tidak untuk saling menebalkan lapisan kebencian. Yang terpenting, kita sedang saling berlomba mempersembahkan sikap terbaik atas nama keluhuran agama masing- masing. Bukan karena semua agama sama. Tapi semua agama mengajarkan jalan keselamatan masing-masing dengan cara yang berbeda-beda.

Harmoni Untuk Kemanusiaan merupakan keniscayaan peradaban yang memungkinkan semua kelompok dapat bergerak sempurna dengan kebebasannya.

Akhirnya, hidup dalam kerukunan itu tidaklah cukup. Sebab setelah itu, tugas bersama untuk menjadi bagian dari ikhtiar melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Apakah kita telah menjadi bagian dari ikhtiar itu?

Terbit di Harian Radar Sulbar

Komentar

Roni mengatakan…
Di era yang semakin liberal meningkatkan sisi kemanusiaan kepada siswa sangat penting, dengan contoh langsung dilapangan untuk menumbuhkan kepedulian
Jejak mengatakan…
Terima kasih atas komentarnya.

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa