Ihwal kepemimpinan seringkali disoal. Apakah sebuah peristiwa immanen ataukah transenden? Atau keduanya?
Sebelum menjawabnya, sekilas kita masih teringat pada
peristiwa 17 Februari 2016 lalu. Di Sulawesi Barat, Sebanyak 3 Bupati
dan wakilnya telah diambil sumpah untuk periode 2016-2021. Rasa haru dan
gembira turut menyelimuti prosesi pelantikan hari itu. Para simpatisan
yang berjuang maupun sekadar menanti datangnya pemimpin tumpah ruah.
Sesekali di antara mereka berdecak kagum menyaksikan pesona pemimpin,
lengkap dengan lencana yang disematkan.
Dalam tangkapan wacana Demokrasi, ini disebut dengan
selebrasi Demokrasi. Sebuah ekspresi tak terbendung atas lahirnya
pemimpin pilihan mayoritas rakyat.
Tapi rupanya itu tak cukup. Sebab dalam iklim demokrasi
dewasa ini, seringkali diapit oleh tiga faktor yang awalnya hanya
pelengkap. Namun kini nyaris telah menjelma sebagai patronase demokrasi.
Pertama, kata Effendi Ghozali di Mamuju, kemarin, trend
konsumerisme telah memagari seluruh calon pemimpin saat ini. Sebab
sekalipun figuritasnya baik, namun belum tentu dapat memenangkan sebuah
pertarungan. Mengapa? Karena ia tak punya daya tarung finansial.
Sementara medan pemilih semakin terbuka untuk menyatakan selamat datang
di panggung konsumerisme. Singkatnya, Anda mau jadi pemimpin? Siapkan
dulu uangmu!
Kedua, untuk menjadi seorang pemimpin setidaknya memiliki
pesona yang menawan. Konten Visi Misi seringkali terabaikan jauh dari
permukaan oleh sebab pesona calon pemimpin mengalahkan segalanya.
Muncullah kalangan artis sebagai poros alternatif. Fakta ini rupanya
menjadi arus balik di tengah gelapnya ruang kaderisasi dalam Partai
Politik. Karena itu, jika anda telah memiliki dana melimpah serta pesona
menawan, pantaslah anda untuk dihitung dalam kalkulasi politik.
Tapi, itu tak cukup. Sungguh tak cukup. Kita pun harus
tetap menimbang aspek ketiga. Yakni sinisme publik. Setelah sekian waktu
lamanya menawarkan diri bahkan sampai terpilih, di sanalah babak baru
lahirnya sinisme. Janji yang diharapkan pun tak kunjung tertunaikan.
Lalu cukupkah ini disandarkan pada konteks debat demokrasi
saja? Bagi saya itu tidaklah cukup. Mesti disandingkan dengan variabel
transendental. Kepemimpinan harus dikemas dalam bungkusan immanen
sekaligus transeden. Setiap pemimpin yang saat ini telah dilantik telah
nyata adanya sebagai pilihan rakyat, itu Immanen. Adapun sisi
trensendentalnya, bahwa setiap pemimpin tak hanya menjadi pemimpin bagi
dirinya. Melainkan juga karena ada amanat ilahi, bahwa setiap pemimpin
akan dimintai pertanggung jawabannya, kelak.
Dengan kepemimpinan saat ini, bukan hanya rakyat yang akan
menjadi saksi akan goresan kepemimpinannya. Bahkan seekor semutpun harus
diberi jaminan kelangsungan hidup. Dengan pemerintahan yang baru, bagi
semut, tak harus memberinya makan. Karena yang terpenting, semut hanya
butuh untuk dilindungi. Tidak diinjak oleh kaki-kaki manusia yang
sombong, pongah dan jumawa.
Jika semut saja berkehendak hidup lebih layak, rakyat lebih
mendambakan agar pemimpinnya tak mengidap penyakit lupa ingatan.
Semoga....
Terbit di Harian Radar Sulbar
Komentar