Apa yang hilang dari dunia pesantren? Adalah tradisi
literasi. Untuk hal yang satu ini, agaknya kita membutuhkan penalaran reflektif
sekaligus mengakuinya sebagai ‘permata yang hilang’.
Di tengah kegamangan aktivitas literasi itu, pesantren telah ‘dibajak’
oleh kebijakan pemerintah yang melakukan gerakan pukul rata penerapan konsep
pendidikan karakter di tiap-tiap lembaga pendidikan. Termasuk di pesantren.
Apa ini tidak terbalik? Dari mana sejarahnya pesantren
disuguhi kebijakan pendidikan karakter? Mengapa harus serba di-administratif-kan
akhlak bangsa ini? Tidakkah model pendidikan ‘jurus’ pesantren mesti dicopy-paste
sebagai kiblat pendidikan massal dan nasional?
Dapat anda bayangkan hari ini, seluruh lembaga pendidikan
bermerek negeri terus-menerus kecipratan anggaran. Tapi toh buktinya tidak
semakin mencerdaskan anak bangsa. Setidaknya jika diukur dari garis linear
antara kecakapan intelektual dengan kesantunan emosional.
Sebaliknya,
sekolah-sekolah negeri hari ini telah terlanjur masuk dalam arena pemenuhan
target dengan iming-iming dan kalkulasi finansial.
Bandingkan dengan pesantren yang minus anggaran. Di tengah
gempuran sekolah negeri yang ditancapkan di berbagai penjuru mata angin, sikap
bertahannya masih menyisakan generasi siap pakai di tengah umat. Tidak tamat
sekalipun.
Menurut saya, untuk tak berlama-lama dengan kesendirian
pesantren membangkitkan ghirah-nya,
tradisi literasi dapat memberi jawaban sekaligus kekuatan. Iklim tulis-menulis
mesti digalakkan. Pemerintah, media serta seluruh pegiat literasi punya peran
menyemangati bahkan menyokongnya.
Dari sanalah, warisan nusantara ini akan menunjukkan
kesejatiannya sebagai pemasok sumber daya manusia yang bergaransi. Semangat literasi
pesantren akan menjadi corong pencerahan umat. Di tengah wibawa mimbar masjid
yang kian hambar.
Anggaplah ini sebagai keadaan darurat, yang memutlakkan
adanya sikap dan respon serba mendadak. Dengan begitu, tak mengapa jika mendiskusikan
tradisi literasi di dunia pesantren sebagai gagasan daur ulang. Namun yang
terpenting, menyegerakannya sebagai praktek keseharian dalam dunia pesantren. Bukankah
menyegerakan hal baik itu bagian dari pesan agama?
Desakan ini, jelas jauh lebih penting. Dari pada keinginan menggiring santri
pada jurusan-jurusan yang hanya laris-manis pada setiap olimpiade sekolah. Namun
tak punya manfaat kesemestaan bagi kehidupan yang lebih nyata.
Dari
semangat pergumulan literasi, suara pesantren dapat menjelaskan dirinya
sebelum terlalu lama dijelaskan para orientalis. Dari tradisi literasi,
pesantren mampu membungkam, menangkis para
penghujatnya. Dari tradisi literasi, keberkahan itu tercurah membasahi
peradaban
bangsa ini. Wallahul Mustaan...
Terbit di Harian Radar Sulbar
Terbit di Harian Radar Sulbar
Komentar