Langsung ke konten utama

Pakaian Sebagai Identitas Bathin

Jangan menduga bahwa mengenakan pakaian hanyalah serangkaian upaya manusia menutupi tubuhnya. Baik dari terpaan terik matahari, ataupun dari hujan yang membasahi. 
Dunia fashion hari ini terus bergerak dalam ragam pandangan untuk menyoal sisi terdalam dari  pakaian itu sendiri. Mereka yang concern di bidang ini mengulasnya secara lebih kental.

Tubuh tak cukup jika sekadar ditutupi dengan pakaian. Tapi juga melakukan salto tafsir. Bahwa yang tertutup pun juga bagian dari cara menonjolkan lekuk-lekuk tubuh. Jadilah dunia fashion sebagai panggung ekspresi tubuh yang tertutup sekaligus kentara.

Studi komunikasi menyebutnya sebagai model penyampaian pesan. Saksikanlah apa yang terjadi pada mereka yang berprofesi sebagai Sales Promotion Girl (SPG). Terbukti cukup efektif 'menggoyang iman' pelanggan untuk membeli produk dagangannya.

Tepat kata Malcolm Bernard. Katanya, pakaian adalah bentuk komunikasi non verbal. Sehingga, seluruh desain pakaian dewasa ini diproduksi dengan mempertimbangkan efektivitas, sebagaimana dunia komunikasi sangat mementingkan ihwal berkomunikasi secara lebih efektif dan efisien.

Lain halnya dengan pendekatan budaya. Perspektif ini memandang aspek busana tak lepas dari naluri seni maupun artistik. Corak yang ditampilkan pun dianggap sebagai ekspresi seni.

Sayangnya, perdebatan ini segera menuai pertanyaan besar seiring perkembangan terhadap gagasan budaya itu sendiri. Jika menggunakan rumusan Williams dalam memahami budaya sebagai kerangka intelektual dan karya imajinatif, fashion harus melepas diri dari bagian kerja-kerja kebudayaan.

Kecenderungannya terang. Fashion adalah bagian penting dari pasar kapitalisme. Jika demikian adanya, tak elok jika tak memandangnya sebagai aktivitas sarat nilai, bukan bebas nilai.

Dalam Islam, perintah menutup Aurat lebih substansi dari pada model menutup Aurat. Mengapa? Karena jauh sebelum bicara seputar model, dimensi teologis lebih awal membungkus gaya fashion menurut Islam. Sederhananya, ini bukan soal apa yang dikenakan. Tapi lebih penting, bahwa pakaian pun merupakan hal yang harus dipertanggungjawabkan di hari kemudian nanti.

Maka, apa pun yang kita pakai hari ini, menjadi alamat kesadaran dan kepatuhan bathin kita di hadapan Tuhan. Para Ahli Tasawuf mendendangkan pesan penting: Al Zhahiru dalilu al Bathin. (Apa yang terlihat secara inderawi, menjadi penjelas atas desahan bathin kita). (*)

Terbit di Harian Radar Sulbar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui