Langsung ke konten utama

Mengenal Tipologi Muballigh



Jika merujuk pada fenomena Muballigh, setidaknya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipologi. Pertama, Muballigh yang menyampaikan dakwahnya dengan dominasi ayat Al Qur’an dan Hadis serta beberapa pandangan ulama. Tipe ini mewakili unsur Muballigh berlatar belakang dunia kepesantrenan dan alumni timur tengah, serta lekat dengan kefasihan berbahasa Arab. Kelebihan mereka ada pada penguasaan dasar-dasar pemahaman Agama Islam. 

Namun kelemahannya, sistematika penjelasan terkadang monoton. Sehingga jamaah merasa jenuh menyimaknya.

Kedua, Muballigh dengan beragam pandangan dan pendekatan sangat akademik. Tipe ini mewakili unsur yang cenderung kurang mapan pada basic keislaman, namun matang dalam persoalan metodologi dan kajian interdisipliner. Boleh jadi mereka bukan berasal dari basis dunia pesantren, namun obsesi yang kuat mengantar mereka menjadi bagian tak terpisahkan dengan masa depan agama Islam.

Sisi kelebihan tipologi ini, tampak pada beragam pendekatan yang digunakan. Amat terasa betapa ajaran Islam sangat selaras dengan konteks kekinian, menghubungkan lintas pemikiran timur dan barat, dan senantiasa mampu menjawab setiap persoalan umat manusia sepanjang zaman.

Sayangnya, tipologi ini acapkali mengantar pada pemahaman keagamaan menggantung, disebabkan oleh penggunaan kosa kata hiperbolik-metaforis, dengan durasi serba terburu-buru. Hasilnya, tak satupun blue print dari hasil ceramah yang disajikan.

Ketiga, Muballigh yang memiliki basic keislaman standar, serta analisa yang kurang mendalam terhadap setiap persoalan keumatan, namun memiliki kecakapan retorika yang mumpuni. Indeks al-Qur’an-Hadis, pendapat singkat para ulama dan cendekiawan, menjadi referensi subjektif dakwah yang disampaikan. Dan media massa (berita dan infotaiment) dikonsumsi tanpa pendalaman analitik, sebagai referensi objektifnya. Selebihnya, tradisi mengkaji setiap persoalan secara mendalam tak terlihat jelas dalam aktivitas mereka.
Tipologi ketiga ini juga tidak memiliki beban sakralitas dakwah,sebagaimana model para Kiai. Serta tidak terbebani dengan wacana keislaman kontemporer.

Di saat para Kiai tampil dengan aura kekhusyu’an dan daya magic-kharismatiknya, mereka justeru tampil dengan aksesoris yang berdasar pada selera pasar. Di saat para akademisi tampil dengan kosa kata yang kurang populis, mereka justeru tampil dengan gaya kocak dan lucu, sekalipun tidak relevan dengan konten dakwah yang disampaikan.

Di pundak merekalah, istilah Muballigh pop disematkan. Di pundak mereka pula, pameo “Ustaz juga manusia” (baca: harap dimaklumi) terlahir. Bila para Ulama dirindukan Jamaah, maka Muballigh pop dirindukan oleh Fans-nya.

Ajaibnya, dengan modal pop itu, Muballigh dengan tipologi ketiga ini ternyata lebih eksis menembus setiap sudut kota, memberi seruan agama kepada level masyarakat yang secara ekonomi terbilang menengah ke bawah.

Pada merekalah, sejumlah problem keagamaan umat manusia ditangani secara instan, walaupun tak jarang menimbulkan masalah baru.

Di sini, kita menemukan adanya sajian dakwah yang lebih didominasi aspek lelucon plus penggunaan istilah yang kurang etis, dari pada subtansi dakwah yang disampaikan. Para jamaah akhirnya pulang ke rumah hanya berbekal cerita-cerita lucu dari para Muballigh, tanpa ada bekas yang menyentuh ruang batin.

Bila pola dakwah menjadikan “semangat parodi” sebagai subtansi, tentu merupakan mimpi buruk bagi masa depan umat Islam, sekaligus borok yang harus ditanggung oleh seluruh Muballigh.

Saat ini, kita butuh sosok Muballigh alternatif dengan karakter yang melampaui ketiga tipologi di atas. Karakter alternatif yang dimaksud adalah hadirnya sosok Muballigh yang mapan pada basic keislaman, mampu berbicara dalam perspektif interdisipliner, serta lihai memainkan retorika atas nama selera pasar. Juga mampu membidik setiap keresahan jiwa umat manusia, serta tetap kokoh berdiri tegak di tengah kegamangan spiritual.

Dialah muballigh yang senyumnya adalah anugerah, diamnya sebagai teguran dan seruannya sebagai rebutan.
Pada diri Sang Muballigh alternatif, kewaspadaan akan gagalnya dakwah bakal terjawab, dengan ragam untaian kata penuh hikmah, membasahi seluruh padang sahara nurani yang kerontang. Sang Muballigh alternatif, kepadanya kita sematkan harapan untuk mengantar kita menuju karakter bangsa yang Muttaqin.

Terbit di Harian Radar Sulbar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa