Kehidupan manusia lebih banyak berada dalam bingkai ketidakpastian. Segala kemungkinan selalu saja ada. Sebelum jauh berada di lingkar kehidupan yang lebih luas, dalam ruang batin pun tetap diliputi oleh konflik kebatinan. Sebelum melerai pertarungan kehidupan di alam makro, meminjam istilah Sachiko Murata, dimensi mikro sepatutnya lebih awal mesti dijinakkan.
Bagi sebagian umat awam, yang jauh dari pusaran kuasa dan kebenaran yang 'diciptakan', suasana kebatinan seperti ini sudah seringkali terjadi. Ditambah lagi dengan maraknya gerakan konspirasi yang terlampau rumit ditarik benang merahnya. Di pentas nasional misalnya, kita sedang dihadapkan pada realitas politik saling sikat.
Sekedar untuk jadi pelakon menjernihkan suasana saja, kita butuh kehati-hatian. Sebab dapat menjadi senjata makan tuan. Sebagai misal, Cendekiawan sekaliber Buya Syafii Maarif dalam usia senjanya harus menerima pil pahit atas hujatan haters yang boleh jadi tak pernah pernah bersua dengannya. Ia dihempaskan dengan begitu kejam oleh senjata kecanggihan teknologi super cepat dengan peluru media sosial. Sungguh, fakta ini telah menghabiskan sekian banyak energi bangsa, lalu mengabaikan agenda yang lebih penting.
***
Sekali lagi, kita harus mengakui bahwa kondisi bangsa saat ini benar-benar berada di titik nadir krisis keteladanan, krisis kepemimpinan. Sudah sangat langka menemukan sosok yang dapat diterima sebagai penyejuk batin dari hingar-bingar perebutan kepentingan. Jika pun ada, mereka diendapkan dalam posisi diam tak berdaya. Mereka diblokir, dijauhkan dari pentas kehidupan kita.
Hasrat menemukan pemimpin yang dapat diteladani nyaris memasuki gerbang kemandulan. Jika tak ingin disebut bahwa kini, umat pun mulai lelah dengan semua ini. Jika ada yang menganggap hanya sebatas dinamika maupun transisi, tentu hanya dapat ditangkap oleh mereka yang berkelas.
Sementara di benak umat, kekecewaan demi kekecewaan kian terbungkus rapi dalam simpulan kesadarannya. Wajarlah, jika pilihan politik di level paling bawah masih gandrung dengan pola keputusan manajemen stress. Yakni, mengambil langkah paling pragmatis, tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Di titik ini, kita sedang bekerja keras agar segera menemukan pemimpin yang mampu mengilhami, menginspirasi kehidupan. Bukan pemimpin yang hanya bermain dengan konspirasi semata. Kita butuh pemimpin negara, pemimpin suatu daerah, bahkan pemimpin agama-agama dan budaya untuk tampil mengilhami etos kehidupan umat.
Bukan sebaliknya, tampil sebagai pemimpin yang mengedepankan jiwa kerdil, penuh intrik lagi sentimen. Jika ada yang mensyaratkan bahwa seorang pemimpin harus selesai dengan dirinya, itu bukan sebatas kemapanannya dalam mematangkan modal ekonomi dan sosialnya. Yang lebih penting sebelum dua hal itu, ia telah mampu menjadi sosok yang mencelupkan energi kebahagiaan bagi segenap umat.
Rakyat akan sengsara jika hidupnya jauh dari rumus kesejahteraan. Akan lebih miris lagi, rakyat akan mati sebelum waktunya jika sedikitpun kebahagiaan tak mampu lagi diraih.
Karena itu, kepada para pemimpin, suguhkanlah secercah harapan, setitik kebahagiaan bagi umat. Bersungguh-sungguhlah untuk peduli, bukan serba menimpali, serba menyangkali. Pesan ini memang terlampau melankoli, sebatas ingin meluapkan jeritan hati. Dari mereka yang merindukan pemimpin penuh inspirasi.
Komentar