Sisi buram era digital tak dapat terhindarkan. Sebab kehadiran teknologi yang makin canggih nyaris berbanding lurus dengan perubahan drastis di tengah-tengah masyarakat.
Dapat dibayangkan, kecepatan berselancar di dunia maya acap kali memunculkan sikap menegasikan objek yang belum tentu dikenali seutuhnya. Tak jarang kita membenci seseorang hanya karena kebencian yang diciptakan oleh dunia maya.
Sangat sejurus dengan teori hipodermik yang digagas sejak 1930 silam. Nilai kebenaranpun bergeser, menjelma dalam standar rating atau tranding topik. Makin banyak yang mencurahkan komentar, makin tinggi pula nilai kebenarannya. Dengan standar kebenaran beralas tranding topik itu, media sosial ternyata mampu menusuk alam kesadaran manusia, untuk bergerak dengan ragam ekspresinya.
Media sosial juga telah mewujud sebagai alat paling canggih menyajikan persepsi negatif terhadap objek apapun. Di sini, pintu masuk untuk menyerang person sangat mudah. Lebih miris, sebab media sosial telah membuat harmoni kehidupan Bhinneka Tunggal Ika kian rontok.
Indonesia saat ini sedang bertaruh pada hidup matinya Bhinneka Tunggal Ika. Aksi 4 November 2016 lalu menjadi penanda apakah kita masih akan terus menjadi bagian terdepan dari penjaga nilai keragaman, ataukah turut serta membengkokkan sejarah, menjadi catatan buruk atas nasib masa depan bangsa.
Dengan kondisi itu, tatanan bernegara pun akan terus rontok. Mengapa? Sebab gerakan sosial yang lebih awal digembosi melalui media sosial kini telah bertindak sebagai hakim terhadap seluruh hal yang tak disenanginya. Massa yang bergerak atas nama solidaritas, atau bahkan atas nama membela agama, kini merangsek ke dalam dimensi penghakiman sepihak.
Di sisi lain, Negara sedang ditantang agar menyikapi amarah ini dengan cara arif, bijaksana lagi tegas. Dalam artian, Negara harus hadir sebagai pemberi ketegasan atas apa yang tak disenangi rakyat. Jika ada kesan melindungi, atau melepas diri, atau hanya melihat sebatas dinamika politik jelang Pilkada serentak, jelas akan muncul amarah yang tak terbendung. Sekali lagi, kita sedang menanti hadirnya sikap negara yang tegas, bukan bias.
***
Itu dari aspek kepastian bernegara. Selanjutnya, tugas Ormas untuk melakukan formulasi yang lebih terkini dalam menuntun umat ke jalan yang lurus. Ingat, saat ini, keasadaran beragama juga tak lepas dari bergesernya tradisi keilmuan, khususnya ilmu agama. Sudah makin ramai tradisi beragama yang hanya mengandalkan produksi hasil bacaan dunia maya. Padahal belum tentu semua itu memenuhi kaedah beragama yang semestinya.
Gagasan Islam Nusantara maupun Islam berkemajuan sejatinya tak memunculkan persepsi di kalangan awam sebagai realitas beragama yang dipenuhi dengan ragam faksi baru. Baik Islam Nusantara maupun Islam berkemajuan sudah saatnya menjadi berdiri sebagai garda terdepan untuk terus konsisten menjalankan syariat agama sekaligus menjadi benteng peradaban merawat NKRI.
Jika itu telah dimafhumkan bersama, kembalilah untuk menata umat, hingga ke titik kesadaran hakiki. Agar para pembela agama yang berkiblat ke dunia maya tak menjadi hegemoni yang sulit diterabas di kemudian hari.
Dapat dibayangkan, kecepatan berselancar di dunia maya acap kali memunculkan sikap menegasikan objek yang belum tentu dikenali seutuhnya. Tak jarang kita membenci seseorang hanya karena kebencian yang diciptakan oleh dunia maya.
Sangat sejurus dengan teori hipodermik yang digagas sejak 1930 silam. Nilai kebenaranpun bergeser, menjelma dalam standar rating atau tranding topik. Makin banyak yang mencurahkan komentar, makin tinggi pula nilai kebenarannya. Dengan standar kebenaran beralas tranding topik itu, media sosial ternyata mampu menusuk alam kesadaran manusia, untuk bergerak dengan ragam ekspresinya.
Media sosial juga telah mewujud sebagai alat paling canggih menyajikan persepsi negatif terhadap objek apapun. Di sini, pintu masuk untuk menyerang person sangat mudah. Lebih miris, sebab media sosial telah membuat harmoni kehidupan Bhinneka Tunggal Ika kian rontok.
Indonesia saat ini sedang bertaruh pada hidup matinya Bhinneka Tunggal Ika. Aksi 4 November 2016 lalu menjadi penanda apakah kita masih akan terus menjadi bagian terdepan dari penjaga nilai keragaman, ataukah turut serta membengkokkan sejarah, menjadi catatan buruk atas nasib masa depan bangsa.
Dengan kondisi itu, tatanan bernegara pun akan terus rontok. Mengapa? Sebab gerakan sosial yang lebih awal digembosi melalui media sosial kini telah bertindak sebagai hakim terhadap seluruh hal yang tak disenanginya. Massa yang bergerak atas nama solidaritas, atau bahkan atas nama membela agama, kini merangsek ke dalam dimensi penghakiman sepihak.
Di sisi lain, Negara sedang ditantang agar menyikapi amarah ini dengan cara arif, bijaksana lagi tegas. Dalam artian, Negara harus hadir sebagai pemberi ketegasan atas apa yang tak disenangi rakyat. Jika ada kesan melindungi, atau melepas diri, atau hanya melihat sebatas dinamika politik jelang Pilkada serentak, jelas akan muncul amarah yang tak terbendung. Sekali lagi, kita sedang menanti hadirnya sikap negara yang tegas, bukan bias.
***
Itu dari aspek kepastian bernegara. Selanjutnya, tugas Ormas untuk melakukan formulasi yang lebih terkini dalam menuntun umat ke jalan yang lurus. Ingat, saat ini, keasadaran beragama juga tak lepas dari bergesernya tradisi keilmuan, khususnya ilmu agama. Sudah makin ramai tradisi beragama yang hanya mengandalkan produksi hasil bacaan dunia maya. Padahal belum tentu semua itu memenuhi kaedah beragama yang semestinya.
Gagasan Islam Nusantara maupun Islam berkemajuan sejatinya tak memunculkan persepsi di kalangan awam sebagai realitas beragama yang dipenuhi dengan ragam faksi baru. Baik Islam Nusantara maupun Islam berkemajuan sudah saatnya menjadi berdiri sebagai garda terdepan untuk terus konsisten menjalankan syariat agama sekaligus menjadi benteng peradaban merawat NKRI.
Jika itu telah dimafhumkan bersama, kembalilah untuk menata umat, hingga ke titik kesadaran hakiki. Agar para pembela agama yang berkiblat ke dunia maya tak menjadi hegemoni yang sulit diterabas di kemudian hari.
Komentar